Peran LSM HAM dalam Eskalasi Perang NATO (2)

Oleh: Patrick Henningsen

Soft Power vs Smart Power

Pemerintahan Barat masih membutuhkan opini publik yang mendukung aksi militer apapun yang diambilnya. Pada saat yang sama, kebanyakan masyarakat tidak mampu bijak karena mereka dibutakan oleh kabut liputan media massa dan dibombardir dengan seruan moral yang palsu atau skenario ‘detakan bom’ yang menuntut “kita harus bertindak sekarang untuk menyelamatkan nyawa tak berdosa”. Di sinilah peran agen soft power dalam memberikan jembatan komunikasi bagi kebanyakan intervensi militer yang dilakukan negara-negara Barat.

Yang termasuk agen soft power adalah media dan LSM, dan merekalah yang menyediakan ‘bantal empuk’ untuk tempat bersandarnya narasi kebijakan luar negeri Barat yang terdengar lembut, seperti “intervensi kemanusiaan” dan “tanggung jawab untuk melindungi” (Responsibility to Protect/R2P). Pada kenyataannya, keduanya bukanlah sesuatu yang lembut; keduanya adalah ujung tombak aksi imperialisme Barat meskipun tidak ada peryataaan perang antarnegara. Jika Anda menyurvei warga Timur Tengah, terutama Libya, Suriah, Yaman, dan Irak, mereka tidak akan menyebut  “intervensi kemanusiaan” dan “tanggung jawab untuk melindungi” sebagai sesuatu yang lembut (soft).

Dalam kebijakan Washington, ‘soft power’ telah memberikan jalan untuk penerapan Smart Power. Istilah ini diciptakan oleh Susan Nossel saat bekerja bersama tokoh-tokoh yang seolah “pejuang kemanusiaan” AS, seperti Hillary Clinton, Samantha Power dan Susan Rice, dan agen Washington yang kurang dikenal, Atrocity Prevention Board. Mereka semua telah berhasil melaksanakan konsep pemasaran intervensi model baru ini, termasuk intervensi kemanusiaan dan R2P.

Di era ketika revolusi dipentaskan secara profesional,  seperti Revolusi Berwarna (Balkan) dan Arab Spring, dan perang dimainkan oleh proxy dan pasukan bayaran,  LSM-LSM HAM benar-benar harus mengakui bahwa ada negara dan pemerintahan yang tidak bertahan lama di dunia ini;  mereka harus berjuang untuk kelangsungan hidup mereka. Pemerintahan seperti ini menghadapi tekanan Barat sehingga tidak bisa menyelesaikan sengketa internal dengan baik, atau mengalahkan faksi pemberontak bersenjata dan teroris. Jika pemberontak atau teroris itu yang didukung Barat, atau negara-negara Teluk, kondisi negara tersebut akan semakin parah.

Di saat seperti ini, Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya, atau Israel, masuk untuk ‘membantu’. Mereka tidak akan peduli pada banyaknya korban dalam operasi “intervensi kemanusiaan” yang berlangsung berlarut-larut.

Kasus 1: KONY2012

Poster kampanya Kony 2012 yang disebarkan "Invisible Children"

Poster kampanye Kony 2012 yang disebarkan “Invisible Children”

Tidak ada contoh yang lebih baik tentang bagaimana sebuah organisasi HAM telah dimanfaatkan sebagai alat mencapai kebijakan luar negeri AS, selain dari “Kony 2012”, yang oleh majalah Atlantic disebut sebagai “kampanye video viral yang telah menguatkan ide berbahaya yang telah tertanam berabad-abad di benak masyarakat Barat bahwa Afrika adalah bangsa yang tidak berdaya dan orang Barat harus menyelamatkan mereka.”

Keberhasilan kampanye media sosial Kony 2012 menetapkan standar baru dalam kecepatan dan efisiensi untuk menembus segmen para pemuda Barat. Keberhasilan ini dicapai dengan bantuan media mainstream AS dan dari Gedung Putih. Di sini, soft power diaplikasikan untuk meraih dukungan publik dengan cara membangkitkan emosi mereka melalui distorsi realitas. Sosok fiktif bernama Joseph Kony, komandan Tentara Perlawanan Tuhan dari Uganda, dimunculkan dan Presiden AS diseru untuk mengirim tentara AS agar “menemukan Kony”, demi menyelamatkan anak-anak Afrika yang direkrut menjadi tentara atau dijadikan budak seks oleh Kony. Masalahnya adalah tidak ada yang benar-benar melihat Kony dalam 6 tahun terakhir, dan bahkan banyak rumor menyebutkan bahwa Kony telah meninggal bertahun-tahun sebelumnya.

Masalah ini tidak menghalangi kampanye yang diinisiasi oleh lembaga amal bernama “Invisible Children” ini meraup dana sumbangan sebesar jutaan USD. Invisible Children mengarahkan kampanye dan penggalangan dana ini kepada anak-anak sekolah AS, bahkan termasuk siswa sekolah dasar. Pada akhirnya, proyek ini bubar namun tujuan akhir telah dicapai: suksesnya acara public relations dan kesempatan berfoto di Gedung Putih, dan dikirimnya aset militer AS ke Uganda di bawah operasi “US AFRICOM”.

Aktivis HAM independen, Rick Sterling, menjelaskan betapa seringnya metode membangkitkan emosi seperti ini dilakukan Barat,

“Ada pola pelaporan berita yang sensasional, tetapi tidak benar, yang mengarahkan opini publik agar mengizinkan intervensi militer Barat di berbagai negara. Dalam Perang Teluk pertama, ada berita bahwa pasukan Irak mencuri inkubator dari rumah sakit di Kuwait, meninggalkan bayi-bayi mati di lantai yang dingin. Amnesti Internasional memverifikasi berita ini dengan mengandalkan kesaksian seorang dokter Bulan Sabit Merah. Sepuluh tahun kemudian, ada laporan tentang pengiriman ‘kue kuning’ (uranium) ke Irak untuk pengembangan senjata pemusnah massal. Satu dekade kemudian, ada laporan tentang tentara Libya yang mengkonsumi Viagra lalu memperkosa perempuan dimanapun mereka temui. Pada tahun 2012, penyiar NBC Richard Engel konon diculik oleh milisi “pro-Assad” lalu “dibebaskan oleh para pejuang oposisi Suriah, Free Syrian Army. Semua laporan ini kemudian terbukti rekayasa dan bohong, yang dibuat untuk memanipulasi opini publik, dan mereka berhasil melakukannya. Meskipun konsekuensi dari kebohongan ini adalah bencana yang amat besar, tidak ada pelaku yang dihukum atau membayar denda apapun.”

Kasus 2: Kerjasama Antara NATO, Amnesty dan HRW

Bukan kebetulan bahwa hampir setiap prioritas kebijakan luar negeri AS tercermin dalam aktivitas Amnesty International AS. Departemen Luar Negeri AS bersama-sama dengan Pentagon, juga akan memanfaatkan isu-isu keadilan sosial dalam rangka memajukan tujuan kebijakan luar negerinya. Salah satu isu yang paling ampuh adalah isu gender dalam perspektif Barat yang diistilahkan dengan “hak-hak perempuan”. Dengan memproyeksikan isu ini ke negara yang ‘tak disukai ‘, para pendesain perang Barat dapat dengan cepat membangun sebuah landasan penting dalam menyampaikan pesan kebijakan luar negeri AS.

Sebagai contoh, tahun 2012, Amnesty International AS memasang spanduk-spanduk yang bergambarkan perempuan Afghan yang mengenakan cadar, dengan slogan: “NATO: Keep the Progress Going.” Tidak mengejutkan, pada saat yang sama, media-media Barat menyebut opreasi militer NATO di Afghanistan sebagai“the first feminist war.” Ini adalah sebuah contoh nyaris sempurna jaringan marketing perang yang terjadi antara para “aktor intervensionis”, yaitu Amnesty International, Kementerian Luar Negeri AS, Pentagon, dan media mainstream. Upaya memanipulasi opini publik yang dilakukan Amnesty International, atas nama Pentagon dan NATO, dapat dilihat rekam jejaknya dari sikap patron Amnesty, mantan Menlu AS, Madeleine Albright, yang pada tahun 1990-an pernah  berkata, “Kami pikir, ini adalah harga yang layak,” saat mengomentari matinya setengah juta anak-anak Irak akibat sanksi ekonomi AS.

ken-rothPada awal 2015, Ken Roth, Direktur Human Rights Watch (HRW), men-tweet sebuah foto yang disebutnya foto dari Syria, di mana sebuah kawasan telah hancur menjadi puing-puing. Roth mendeskripsikan foto itu sebagai berikut, “foto dari udara untuk memperlihatkan apa yang telah diakibatkan oleh bom barrel Assad di Aleppo”. Kemudian terbukti bahwa tweet Roth adalah hoax, foto itu sebenarnya adalah kawasan Gaza yang hancur akibat pengeboman tentara Israel. Ini adalah contoh lain dari propaganda tanpa kontrol yang disebarkan oleh LSM HAM terkemuka, yang didesain dengan cepat untuk membunuh karakter sebuah pemerintahan yang ingin digulingkan oleh Washington. Karenanya tidak mengejukan ketika kemudian HRW menunjuk agen CIA Miguel Diaz untuk menjadi anggota Dewan Penasehat, atau Javier Solana, mantan Sekjen NATO dan arsitek pengeboman Yugoslavia tahun 1999 (sebuah perang yang dikutuk oleh HRW sendiri pada tahun 2000) menjadi anggota Dewan Direktur HRW.

Menurut advokat Keane Bhatt, “HRW awalnya disebut Helsinki Watch. Dibentuk pada 1978 selama Perang Dingin untuk mengawasi dan mengkritisi kejahatan yang dilakukan Uni Soviet dan sekutunya. Ideologi Perang Dingin telah lama dimainkan dalam setiap aktivitas HRW.”

(Bersambung)

Bagian pertama

Bagian ketiga