Peran LSM HAM dalam Eskalasi Perang NATO (1)

1-amnesty-nato-pr-campaignOleh: Patrick Henningsen

Penulis  Stephanie McMillan mendeskripsikan peran baru dari LSM di abad ke-21 sebagai berikut, “Seiring dengan invasi militer dan misionaris, LSM membantu meretakkan negara-negara sampai terbuka seperti kacang matang, sehingga terbuka jalan untuk mengintensifkan gelombang eksploitasi dan ekstraksi [Barat].”

Di abad ke-20 ini gerakan-gerakan  internasional yang progresif  bermunculan bak jamur, namun ada yang melekat pada gerakan ini, yaitu korporasi transnasional. LSM-LSM internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch (HRW), dan Worldwide Human Rights Movement (FIDH) masing-masing memiliki hubungan langsung ke pemerintah pusat, dan mungkin lebih mengejutkan, mereka juga memiliki link yang mengarah langsung ke jantung jejaring industri militer. Mereka menjalin hubungan itu dengan berkedok ‘organisasi amal’ dan mendukung agenda politik AS dan NATO. Selain itu mereka bertindak sebagai public relations untuk menyampaikan rencana militer AS dan NATO ke tengah publik.

Bekerja di balik punggung jejaring industri HAM merupakan komponen kunci dalam mengatur agenda geopolitik. Yang memimpin di depan adalah Gedung Putih dan Departemen Luar Negeri AS. Namun di belakang panggung adalah di mana pekerjaan yang sebenarnya: segudang think tank yang berfungsi sebagai pendukung “seolah-olah akademis” dalam penyusunan perencanaan kebijakan, menggelar strategi besar dan ide-ide besar lainnya. Beberapa nama yang terkemuka dalam industri ini adalah Council on Foreign Relations (CFR), Center for Strategic and International Studies (CSIS), Brookings Institute, Heritage Foundation, American Enterprise Institute (AEI), dan Foreign Policy Initiative (penerus PNAC) . Lembaga-lembaga think tank dan yayasan itu juga disebut sebagai ‘pabrik kebijakan’ karena kemampuan mereka untuk menghasilkan berbagai kebijakan ‘kertas putih’, survei dan kajian strategis yang kemudian disebarluaskan melalui berbagai jurnal, konferensi, dan berbagai acara di Washington DC dan New York City. Lembaga think tank tertentu, seperti the Committee for Peace and Security in the Gulf yang dibentuk pada tahun 1990, untuk mendorong suatu kebijakan luar negeri tertentu, misalnya  memulai perang di Irak. Intinya, di mana pun Anda menemukan perang, Anda pasti akan menemukan sebuah think tank yang menganjurkan perang tersebut.

Ikuti Uangnya

Untuk menemukan benang merah antara think tank, yayasan dan badan amal hak asasi manusia, kita hanya perlu melakukan 1 hal: ikuti aliran dananya.

Banyak dari entitas ini menerima sebagian besar dana mereka dari sumber yang sama, yaitu korporasi transnasional. Salah satu kontributor besar dana tahunan untuk LSM-LSM HAM, termasuk HRW, adalah miliarder kontroversial Wall Street,  George Soros, melalui LSM-nya Open Society Institute. Organisasi HAM lainnya seperti FIDH,  bersama 178 organisasi sejenis dari 120 negara, menerima dana dari Departemen Luar Negeri AS melalui lembaga National Endowment for Democracy (NED). Di sini kita memiliki link keuangan langsung yang membentuk lingkaran pemerintah Barat, LSM, dan badan amal.

Di sini kita bisa berpendapat bahwa jaringan ini memastikan bahwa output, ide, dan strategi pemasaran dari setiap kampanye HAM adalah sejalan dengan narasi dan tujuan kebijakan luar negeri Barat.

Antara LSM dan Departemen Luar Negeri AS

Bukan rahasia bahwa ada “pintu putar” (revolving door) di antara Departemen Luar Negeri AS dan banyak LSM HAM terkemuka dari dunia Barat. Hubungan ini bisa kita lihat antara lain dari dokumen kebijakan CFR yang menyatakan:

“Untuk bergerak dari perbedaan pendapat menuju kepada visi tunggal, para pengambil kebijakan yang progresif harus berpatron kepada model kebijakan luar negeri AS, yaitu internasionalisme liberal, yang menyatakan bahwa sistem global yang liberal-demokratis yang stabil akan lebih terjauhkan dari perang.  …Washington harus menawarkan kepemimpinan tegas di bidang diplomasi, ekonomi, dan militer untuk memajukan secara luas target-target ini: penentuan nasib sendiri, HAM, perdagangan bebas, supremasi hukum, pembangunan ekonomi, dan penggulingan diktator, dan perlucutan senjata pemusnah massal.”

Paragraf tersebut, jika kita letakkan dalam konteks konflik Suriah, mengungkapkan gambaran jelas bagaimana aksi Washington sesungguhnya. Tulisan tersebut karya Suzanne Nossel, penasehat utama Washington di bidang kemanusiaan yang dengan mulus berpindah jabatan dari Wakil dari asisten menteri untuk urusan organisasi internasional pada Kementerian Dalam Negeri AS  menjadi Direktur Eksekutif Amnesty International AS pada 2012. Sebelum bekerja di Kemendagri, Nossel bekerja sebagai pejabat operasional di Human Rights Watch, wakil presiden bidang strategi dan operasional di Wall Street Journal dan konsultan media dan komunikasi untuk salah satu perusahaan pendiri CFR, McKinsey & Company.

Di sini kita melihat jaringan public relations yang kuat, dikombinasikan dengan link yang juga kuat dengan  pusat kebijakan luar negeri Washington, yang pada waktu yang sama, beberapa negara Timur Tengah seperti Libya dan Suriah dipaksa untuk tunduk di bawah tekanan internasional yang dipimpin AS. Memproyeksikan narasi yang disukai Washington adalah hal terpenting dalam upaya multilateral ini dan Nossel merupakan menjadi jembatan kunci dalam membantu menyebarluaskan pesan kebijakan luar negeri AS secara internasional melalui Amnesty Internasional.

Bersamaan dengan itu, Amnesty AS meluncurkan kampanye baru yang menargetkan anak-anak muda dengan menjual narasi geopolitik berikut ini, “TAK ADA MAAF LAGI: Rusia telah memveto dua resolusi Dewan Keamanan PBB sambil terus memasok senjata, menyebabkan kekerasan memburuk.”

Kampanye digital dan cetak ini juga didukung oleh aksi unjuk rasa dan acara live lainnya yang digunakan untuk mempromosikan upaya propaganda anti-Rusia dan anti-Suriah PR mereka. Pada satu acara di tahun 2012, anak-anak sekolah di Nepal terlihat memegang poster-poster yang berbunyi, “Rusia: Hentikan Pengiriman Senjata ke Suriah!” Ketika Anda mengkaji garis kebijakan luar negeri yang berasal dari Departemen Luar Negeri AS, mudah untuk melihat bagaimana slogan seperti ini sangat sedikit kaitannya dengan HAM. Sebaliknya, dengan mudah bisa dilihat bahwa slogan ini adalah upaya untuk mengisolasi pemerintah Suriah dan Rusia secara geopolitik.

Sebenarnya, narasi Amnesty adalah sebuah inversi:  mereka mencoba memposisikan Rusia sebagai pihak yang bertanggung jawab atas eskalasi kekerasan di Suriah, padahal di saat yang sama, negara itu dihancurkan oleh puluhan ribu militan asing yang menjadi proxy (perpanjangan tangan) AS, yang memperoleh senjata dari perdagangan ilegal, bersama dengan aset dari CIA dan negara-negara asing lainnya.

Amnesty International: Kampanye untuk NATO

Pada bulan Mei 2012, NATO mengadakan konferensi puncak tahunan di Chicago. Di dekat lokasi, Amnesty International AS bersamaan menggelar konferensinya sendiri, Shadow Summit yang menghadirkan sejumlah aktivis hak-hak perempuan Afghanistan. Pada pekan yang sama, Amnesty juga melancarkan kampanye secara luas di kota itu, dengan kalimat utama “HAM untuk Perempuan dan Anak di Afghanistan – NATO: Lanjutkan Kemajuan!”.

amnesty-nato

Blogger pro-Amnesty, Wina Colucci membela kampanye ini sebagai berikut, “Tekait kebijakan, Amnesty tidak mengambil posisi mendukung atau menentang NATO.” Hal yang kontradiktif dengan kampanye di Chicago itu. Di sini terlihat bahwa Amnesty menjalankan public relations yang luas: dengan gambar perempuan ultra-konservatif Afghan yang mengenakan burka dan tulisan “Keep the Progress Going!”, mereka ingin membuat publik percaya bahwa aktivitas NATO di Afghanistan semata-mata demi HAM. Kampanye ini bersamaan dengan perdebatan panas di Washington DC tentang apakah AS harus menarik pasukannya di Afghanistan.

Web jurnal terkemuka, Consortium News, menerbitkan sebuah editorial yang ditulis oleh aktivis antiperang dari Code Pink, Ann Wright dan Colleen Rawley, yang menggambarkan betapa suatu kepentingan yang saling bertentangan, telah diselesaikan melalui kemitraan public relations antara Amnesty dan NATO. Mereka menulis, “Ketika LSM, bahkan yang baik sekalipun, bekerja sama dengan mesin perang AS /NATO, tidakkah mereka berisiko kehilangan kredibilitas independensi mereka?” (bersambung ke bagian kedua)

sumber