AS Versus Arab di Suriah (1)

Mengapa Orang-Orang Arab Tidak Menyukai Kehadiran AS di Suriah?

Oleh:  Robert F. Kennedy Jr.

Pengantar redaksi: Robert F. Kennedy Jr adalah keponakan dari Presiden AS, John F. Kennedy. Robert F. Kennedy Jr. adalah anak dari Senator Robert F. Kennedy (adik Presiden AS John F. Kennedy). Pada usia 14 tahun, ia mendapati ayahnya dibunuh saat berkampanye dalam Pilpres 1968. Ia telah menulis 3 buku politik, antara lain berjudul “Crimes Against Nature: How George W. Bush and His Corporate Pals Are Plundering the Country and Highjacking Our Democracy.” (2005). Dalam tulisan ini ia menguraikan bahwa AS dengan kebijakan perangnya sebenarnya telah mengkhianati nilai-nilai luhur bangsa AS; dan bangsa Arab sebenarnya tidak membenci AS sebagai ‘ras’ melainkan membenci pengkhianatan yang dilakukan AS terhadap nilai-nilainya sendiri.

Karena amat panjang, tulisan ini dibagi 4 bagian.

BAGIAN 1

Karena ayah saya telah dibunuh oleh seorang Arab, saya termotivasi untuk meneliti dampak dampak kebijakan AS di Timur Tengah, khususnya faktor-faktor yang terkadang membangkitkan reaksi haus darah dari dunia Islam terhadap AS. Saat kita fokus pada munculnya ISIS dan mencari akar dari kebrutalan yang mengambil begitu banyak nyawa tak berdosa di Paris dan San Bernardino, kita mungkin ingin mencari penjelasan mengenai agama dan ideologi. Seharusnya, kita perlu mencari penjelasan yang lebih kompleks dari sejarah dan minyak – dan kemudian kita akan menemukan bahwa pada akhirnya penjelasan itu akan menunjuk ke muka kita sendiri.

Catatan buruk Amerika dalam konfliki Suriah – hal ini hanya sedikit diketahui orang Amerika, namun sangat dipahami orang Suriah – menebar tanah subur bagi tumbuhnya paham ‘jihad’ Islam yang sekarang mempersulit pemerintah kita dalam mencari cara efektif untuk menghadapi ISIS. Selama masyarakat dan pembuat kebijakan Amerika tidak menyadari masa lalu ini, intervensi lebih jauh adalah hanya mungkin untuk memperbanyak krisis. Menlu AS, John Kerry minggu ini mengumumkan gencatan senjata “sementara” di Suriah. Tapi karena daya tawar dan kewibawaan AS di Suriah kecil – dan gencatan senjata tidak mencakup milisi utama seperti ISIS dan al Nusra – rencana gencatan senjata pasti akan gagal.

Demikian pula Presiden Obama melakukan intervensi militer di Libya – serangan udara AS menargetkan kamp pelatihan ISIS minggu lalu – terlihat lebih memperkuat alih-alih memperlemah kelompok radikal ini. New York Times melaporkan pada 8 Desember 2015, di halaman depan, para pemimpin politik dan perencana strategis ISIS  berupaya untuk memprovokasi intervensi militer Amerika. Mereka tahu dari pengalaman bahwa intervensi justru akan memicu semakin banyak datangnya jihadis, menenggelamkan suara moderat dan menyatukan dunia Islam melawan Amerika.

Untuk memahami dinamika ini, kita perlu melihat sejarah dari perspektif Suriah dan khususnya benih konflik saat ini. Jauh sebelum pendudukan AS di Irak tahun 20013 memicu pemberontakan Sunni yang kini telah berubah menjadi ISIS, CIA telah menumbuhkan paham jihad kekerasan [di Afghanistan] sebagai senjata Perang Dingin dan hal ini memuat hubungan AS/Suriah bagaikan tas berisi racun.

Ini tidak terjadi tanpa adanya polemik di dalam negeri. Pada bulan Juli tahun 1957, menyusul kegagalan kudeta di Suriah oleh CIA, paman saya, Senator John F. Kennedy, orang-orang Gedung Putih, para pemimpin kedua partai politik dan sekutu Eropa kita menyampaikan pidato-pidato mendukung hak pemerintahan sendiri di dunia Arab dan mengakhiri campur tangan imperialis Amerika di negara-negara Arab. Sepanjang hidup saya, dan khususnya selama perjalanan berkali-kali ke Timur Tengah, orang-orang Arab selalu mengingat kembali pidato itu, yang merupakan pernyataan idealisme AS yang berkomitmen pada nilai luhur negara kita, sebagaimana ditulis dalam Piagam Atlantik. Ini adalah janji resmi bahwa semua bekas koloni Eropa akan memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri setelah Perang Dunia II. Franklin D. Roosevelt memiliki Winston Churchill dan para pemimpin negara Sekutu lainnya untuk menandatangani Piagam Atlantik itu pada tahun 1941 sebagai prasyarat untuk dukungan AS dalam perang Eropa melawan fasisme.

Tetapi terima kasih banyak kepada Allen Dulles dan CIA, yang melakukan intrik-intrik kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan dari negara ini, bertentangan dengan idealisme Piagam Atlantik. Pada tahun 1957, kakek saya, Duta Besar Joseph P. Kennedy, duduk di komite investigasi rahasia untuk menyelidiki kejahatan rahasia CIA di Timur Tengah. Dia menandatangani “Bruce-Lovett Report” yang menjelaskan aksi kudeta CIA di Yordania, Suriah, Iran, Irak dan Mesir. Ini semua sudah jadi pengetahuan umum di jalanan Arab, namun nyaris tidak diketahui oleh orang Amerika yang percaya saja pada kata-kata pemerintah. Laporan itu menyatakan bahwa CIA telah bersalah melakukan intervensi yang bertentangan dengan nilai-nilai AS dan telah menggadaikan kepemimpinan internasional AS dan otoritas moral tanpa sepengetahuan rakyat AS. Laporan ini juga mengatakan bahwa CIA tidak pernah mempertimbangkan bagaimana bila negara asing juga melakukan intervensi di negara kita.

Ini adalah sejarah berdarah, yang diabaikan oleh para intervensionis modern seperti George W. Bush, Ted Cruz dan Marco Rubio ketika mereka membacakan kalimat narsis mereka; “nasionalis Timur Tengah membenci kebebasan kita”. Sebaliknya, mereka sebenarnya membenci cara kita mengkhianati kebebasan itu – cita-cita kita sendiri – di tanah air mereka.

Dulles bersaudara

Sejarah AS dalam Penggulingan Damaskus

Untuk memahami apa yang terjadi, orang Amerika harus mempelajari beberapa bagian sejarah buruk bangsa ini. Selama tahun 1950, Presiden Eisenhower dan saudara Dulles  bersaudara (Direktur CIA Allen Dulles dan Menteri Luar Negeri John Foster Dulles) – menolak proposal perjanjian Soviet mengenai zona netral Timur Tengah dalam Perang Dingin dan membiarkan orang-orang Arab mengatur negara mereka sendiri. Selanjutnya, mereka mendalangi perang klandestin melawan nasionalisme Arab – yang disebut Allen Dulles sebagai komunisme – terutama ketika keberadaan pemerintah Arab independen mengancam suplai minyak untuk AS. Mereka memberikan bantuan militer rahasia kepada tiran di Arab Saudi, Yordania, Irak dan Lebanon melalui ideologi Jihadis konservatif yang mereka anggap sebagai penawar ampuh melawan Marxisme Soviet. Dalam pertemuan di Gedung Putih antara direktur perencanaan CIA, Frank Wisner dan John Foster Dulles pada bulan September tahun 1957, Eisenhower memberikan saran kepada CIA, “Kita harus melakukan segala kemungkinan untuk menekankan sisi ‘perang suci’,” menurut memo yang dicatat oleh staf sekretarisnya, Jenderal Andrew J. Goodpaster.

CIA mulai aktif campur tangan di Suriah pada tahun 1949 – sekitar setahun setelah pembentukan agen intel ini. Patriot Suriah telah menyatakan perang terhadap Nazi, mengusir pemerintah kolonial Perancis, Vichy, dan membuat pemberintahan demokratis sekuler yang rapuh meniru Amerika. Namun pada Maret 1949, presiden Suriah yang dipilih secara demokratis, Shukri-al-Quwatli, ragu-ragu untuk menyetujui jalur pipa Trans-Arab, sebuah proyek Amerika yang dimaksudkan untuk menghubungkan daerah minyak dari Arab Saudi ke pelabuhan Lebanon melalui Suriah. Dalam bukunya, Legacy of Ashes, sejarawan CIA Tim Weiner menceritakan bahwa sebagai pembalasan atas sikap Al-Quwatli ini, CIA merekayasa kudeta al-Quwatli lalu digantikan oleh pemimpin diktator yang ditunjuk CIA sendiri, yaitu seorang penipu yang pernah dihukum bernama Husni al Za’im. Al-Za’im hampir tidak punya waktu untuk membubarkan parlemen dan menyetujui jalur pipa Amerika karena rakyat segera menggulingkan kepemimpinannya, empat setengah bulan setelah ia berkuasa.

Pasca beberapa kontra-kudeta, rakyat Suriah mencoba lagi berdemokrasi pada tahun 1955, dan al-Quwatli dan Partai Nasional-nya terpilih kembali. Al-Quwatli masih menjadi orang netral dalam Perang Dingin, namun belajar dari pengalamannya dikudeta Amerika, ia pun bersandar ke kubu Soviet. Itu adalah posisi yang menyebabkan Direktur CIA, Dulles, menyatakan bahwa “Suriah harus dikudeta” dan dia mengirim dua orang pengkudeta, Kim Roosevelt dan Rocky Stone, ke Damaskus.

Mosaddeg, Perdana Menteri Iran yang terpilih demokratis, digulingkan oleh CIA

Mosaddeg, Perdana Menteri Iran yang terpilih demokratis, digulingkan oleh CIA

Dua tahun sebelumnya, Roosevelt dan Stone telah mendalangi kudeta di Iran melawan Presiden Mohammed Mosaddegh yang dipilih secara demokratis, setelah Mosaddegh mencoba melakukan negosiasi ulang kontrak antara Iran dengan perusahaan minyak Inggris, Anglo-Iranian Oil Company (saat ini menjadi British Petroleum-BP). Mosaddegh adalah pemimpin pertama yang terpilih lewat pemilu dalam sejarah 4.000 tahun Iran dan tokoh populer bagi demokrasi di seluruh negara berkembang. Mosaddegh mengusir semua diplomat Inggris setelah mengungkap kudeta yang dilakukan oleh perwira intelijen Inggris bekerjasama dengan BP. Mosaddegh, bagaimanapun, membuat kesalahan fatal. Ia melawan usul penasihatnya untuk mengusir CIA, yang diduga terlibat dalam kudeta Inggris. Mosaddegh memandang AS sebagai negara panutan untuk demokrasi baru di Iran dan mengira AS tidak mungkin berkhianat. Meskipun CIA (Dulles) mendesak, Presiden Harry Truman telah melarang CIA bergabung dalam aksi kudeta Inggris. Ketika Eisenhower menjadi presiden pada Januari 1953, ia langsung mengizinkan Dulles melakukan apa saja. Dulles pun mendepak Mosaddegh dalam “Operasion Ajax” melalui tangan Stone dan Roosevelt; keduanya memilih Shah Reza Pahlevi, yang disukai perusahaan minyak AS. CIA juga mendukung Pahlevi menindas rakyat Iran selama dua dekade CIA sehingga akhirnya memicu revolusi Islam 1979 yang telah menyulitkan kebijakan luar negeri AS selama 35 tahun.

Pasca kesuksesan Operasi Ajax, Stone tiba di Damaskus pada April 1957 dengan 3 juta dollar untuk mempersenjatai dan menghasut militan Islam dan menyuap perwira militer Suriah dan politisi untuk menggulingkan rezim sekuler yang terpilih di masa al-Quwatli. Hal ini diungkap dalam buku Safe for Democracy: The Secret Wars of the CIA karya John Prados. Bekerja dengan Ikhwanul Muslimin dan uang jutaan dolar, Rocky Stone bersekongkol untuk membunuh Kepala Dinas Intelijen Suriah, Kepala Staf Umum dan Kepala Partai Komunis, serta menciptakan konspirasi nasional dan berbagai provokasi bersenjata di Irak, Lebanon, dan Yordania untuk kemudian mengkambinghitamkan Partai Ba’ath Suriah. Dalam buku Legacy of Ashes, Tim Weiner menjelaskan bagaimana rencana CIA dalam menggoyahkan pemerintah Suriah dan menciptakan dalih untuk invasi Irak dan Yordania yang pemerintahannya sudah di bawah kendali CIA. Kim Roosevelt meramalkan bahwa pemerintah baru yang dilantik CIA akan “mengandalkan pada tindakan represif dan kekuasaan yang sewenang-wenang,” menurut dokumen CIA yang dilaporkan di koran The Guardian.

Tetapi uang CIA gagal menyuap para perwira militer Suriah. Tentara melaporkan upaya penyuapan CIA kepada rezim Partai Ba’ath. Sebagai balasan, tentara Suriah menyerbu Kedutaan Besar Amerika, menahan Stone. Setelah diinterogasi, Stone membuat pengakuan di televisi mengenai perannya dalam kudeta Iran dan upaya penggulingan pemerintahan Suriah. Pemerintah Suriah mengusir Stone dan dua staf  Kedutaan AS – pertama kalinya diplomat AS diusir dari negara Arab. Eisenhower Gedung Putih menyangkal pengakuan Stone sebagai “rekayasa” dan “fitnah,” penyangkalan diterima seluruh pers Amerika, yang dipimpin oleh New York Times. Orang-orang AS mempercayai propaganda pemerintah mereka, sebagaimana Mosaddegh dulu juga meyakini idealisme AS. Suriah memecat semua politisi pro-AS dan mengeksekusi semua perwira militer yang terlibat dalam upaya kudeta.

AS pun melakukan aksi pembalasan dengan memindahkan Armada Ke 6-nya ke Mediterania, mengancam perang, serta memprovokasi Turki untuk memerangi Suriah. Turki mengumpulkan 50.000 tentara di perbatasan Suriah dan mundur hanya karena menghadapi pasukan Liga Arab yang para pemimpinnya marah pada intervensi AS. Bahkan setelah pengusiran, CIA terus berupaya secara rahasia untuk menggulingkan pemerintah Ba’ath Suriah yang terpilih secara demokratis. CIA bersekongkol dengan M16 Inggris untuk membentuk “Komite Pembebasan Suriah” dan mempersenjatai Ikhwanul Muslimin untuk membunuh tiga pejabat pemerintah Suriah, yang telah membantu mengungkap persekongkolan Amerika. Demikian diungkap Matius Jones dalam “The ‘Preferred Plan’: The Anglo-American Working Group Report on Covert Action in Syria, 1957.” (Rencana Terpilih: Laporan Kelompok Kerja Anglo-Amerika tentang Aksi Terselubung di Suriah, 1957). Kejahatan CIA ini malah mendorong Suriah semakin menjauhi AS dan melanjutkan aliansi dengan Rusia dan Mesir.

Setelah upaya kudeta kedua di Suriah, kerusuhan anti-Amerika mengguncang Timur Tengah dari Libanon hingga Aljazair. Salah satu gaungnya adalah kudeta 14 Juli 1958, yang dipimpin oleh gelombang baru perwira Angkatan Darat anti-Amerika yang menggulingkan monarki pro-Amerika Irak, Nuri al-Said. Para pemimpin kudeta menyiarkan dokumen rahasia pemerintah, mengekspos Nuri al-Said sebagai boneka yang dibayar CIA. Untuk membalas pengkhianatan Amerika, pemerintah Irak yang baru mengundang diplomat dan penasihat ekonomi Soviet ke Irak dan memunggungi Barat.

bersambung ke bagian 2