Peran Turki dalam Konflik Suriah: Dilema National Interest

turky-alqaedaDina Y. Sulaeman

Mahasiswa S3 Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran,peneliti pada Indonesia Center for Middle East Studies

Catatan: artikel ini ditulis segera setelah AKP kalah dalam pemilu 7 Juni 2015, sehingga ada berbagai perubahan yang terjadi. Tapi ada beberapa hal yang bisa dicermati terkait dinamika politik dalam negeri Turki dan kebijakan Erdogan. Bab kajian teori dan daftar pustaka sengaja tidak ditampilkan karena paper ini akan dikembangkan lagi untuk keperluan publikasi cetak.

ABSTRAK

Dalam pemilu 7 Juni 2015, Justice and Development Party (AKP), mengalami penurunan suara sehingga untuk pertama kalinya sejak 12 tahun yang lalu tidak lagi menjadi partai mayoritas di parlemen Turki. Pada saat yang sama, secara mengejutkan Peoples’ Democratic Party (HDP) yang pro-Kurdi justru melewati electoral threshold untuk pertama kalinya. Situasi ini memunculkan analisis bahwa rakyat Turki tidak lagi mendukung Kebijakan Luar Negeri pemerintah Erdogan dan AKP terkait konflik Suriah yang merugikan national interest Turki dan mengecewakan warga etnis Kurdi. Dalam paper ini, penulis akan mengemukakan argumen bahwa identifikasi national interest Turki sangat terkait dengan preferensi politik Erdogan, Davutoglu, dan AKP. Besarnya dampak buruk yang dialami rakyat Turki akibat kebijakan ini membuat mereka melakukan penolakan melalui jalur demokrasi, sehingga berujung pada kekalahan AKP dalam pemilu.

Kata-Kata Kunci: kebijakan luar negeri, national interest, demokrasi, Turki, konflik Suriah

Pendahuluan

Kekalahan Justice and Development Party (AKP) dalam pemilihan umum anggota parlemen Turki tanggal 7 Juni 2015 tak pelak  mengubah status quo politik negara yang berada di antara dua benua itu. Untuk pertama kalinya sejak tahun 2002, AKP tidak lagi menjadi partai mayoritas di parlemen. Menarik pula diamati, berkurangnya suara untuk AKP seiring dengan meningkatnya suara untuk Peoples’ Democratic Party (HDP) yang pro-Kurdi, kelompok pariah dalam politik Turki. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, HDP berhasil melewati electoral threshold dan mengirimkan wakilnya di parlemen. Hasil mengejutkan yang diraih HDP memunculkan analisis bahwa kekalahan AKP disebabkan karena kebijakan luar negeri Erdogan terhadap Suriah yang telah merugikan kepentingan nasional Turki, antara lain meningkatnya beban pembiayaan pengungsi dan kelompok oposisi Suriah, ketidakamanan akibat meningkatnya arus jihadis,  meningkatnya konflik sektarian di dalam negeri, semakin berkurangnya simpati publik terhadap Ikhwanul Muslimin (gerakan Islam yang menjadi basis AKP), serta semakin tingginya resistensi etnis Kurdi terhadap pemerintah (Abramowitz dan Zarpli, 2013).

Kurdi adalah etnis yang hidup tersebar di berbagai negara, antara lain Iran, Irak, Turki, dan Suriah. Solidaritas di antara kaum Kurdi sangat tinggi dan mereka mencita-citakan sebuah negara Kurdi merdeka. Pemerintah Turki memandang hal ini sebagai ancaman, sehingga kemenangan pejuang Kurdi di Suriah melawan ISIS justru membuat Erdogan gusar. Dalam menyikapi keberhasilan Kurdish People’s Protection Units  (YPG) merebut kembali Tell Abyad pada awal Juni 2015, setelah diduduki ISIS selama dua tahun, Turki justru menyalahkan Barat. Rezim Erdogan menuduh Barat ingin menciptakan perpecahan di Turki dengan cara memperkuat kelompok Kurdi. Direbutnya Tell Abyad oleh pejuang Kurdi membuat ISIS semakin sulit mendapatkan suplai logistik dan pasukan baru, serta mengganggu jalur ekspor minyak illegal oleh ISIS yang melewati Turki (Siebert, 2015).

Kemarahan warga Kurdi Turki kepada Erdogan semakin meningkat akibat kebijakannya menutup perbatasan dan menghalangi warga Kurdi asal Kobani, Shengal, dan Tell Abyad (wilayah Suriah) yang mengungsi dari kebrutalan ISIS. Sebaliknya, pemerintah tetap membuka kota Akcakale (wilayah Turki, yang berbatasan dengan Tell Abyad) sehingga para jihadis dari berbagai penjuru dunia  yang transit di Turki tetap bisa masuk ke Suriah.

Dalam paper ini, penulis akan mengemukakan argumen bahwa peran besar Turki dalam upaya penggulingan Rezim Assad di Suriah merupakan kebijakan yang bertentangan dengan national interest Turki sehingga berujung pada kekalahan AKP dalam pemilu.

National Interest Turki dalam Konflik Suriah

Dalam makalah berjudul Principles of Turkish Foreign Policy and Regional Political Structuring Menteri Luar Negeri Turki, Ahmet Davutoglu, menulis bahwa penegakan demokrasi adalah salah satu national interest Turki. Atas dasar itu, menurut Davutoglu, Turki mendukung gerakan demokratisasi di Arab.

As the region was undergoing such a political earthquake, we aspired  to position ourselves on the right side of the history and decided to make our humble contribution to this epic democratic struggle. When the Turkish government debated what our foreign policy should be, we concluded that we should unconditionally support the demands of the Arab people wherever they are, and whatever the content of their demands are, because it was their right to demand the best for themselves. (Davutoglu, 2012)

Davutoglu mengakui bahwa dengan mendukung gerakan demonstrasi rakyat di jalanan, Turki telah mengambil kebijakan luar negeri yang ‘berani’ tetapi ‘beresiko’. Namun, menurutnya, Turki tidak akan tinggal diam di hadapan para ‘pemimpin otokratis’ dan akan bertindak untuk mengakhiri penindasan para pemimpin tersebut.

Dalam makalah yang sama, Davutoglu menyebutkan kritikannya terhadap Presiden Suriah, Bashar Assad, yang disebutnya “menggunakan kekuatan militer dalam menghadapi demonstran sipil”. Dia menyebutkan bahwa Turki telah berupaya meyakinkan Assad agar melakukan reformasi pada September 2011. Namun karena Assad tidak mematuhi rekomendasi Turki,  Turki pun memulai inisiatif regional dan internasional untuk penyelesaian konflik Suriah.

Davutoglu mengulangi kritikannya itu pada 3 Januari 2013, ketika konflik Suriah sudah sangat tereskalasi dan menimbulkan kerusakan infrastruktur di Suriah serta mengakibatkan gelombang pengungsi yang sangat masif ke negara-negara tetangga, termasuk Turki.

I wish he wouldn’t contravene the 14-article text on which we agreed upon in a seven-hour long meeting only three days after the meeting. Then, these [tragedies] wouldn’t have been experienced in Syria,” kata Davutoğlu di hadapan para duta besar yang bertugas di Ankara.

Lebih lanjut Davutoglu menyatakan bahwa pemerintah Turki akan lebih aktif dalam membentuk jalannya sejarah (from now on we will be more actively present in shaping of the flow of history). Untuk itu Turki siap mengambil segala resikonya. “Turkey would take every risk if necessary, even if it meant they made some mistakes, but would never behave spinelessly.”

Namun pernyataan Menlu Turki ini dikritisi keesokan harinya (4/1/2013) oleh Presiden Abdullah Gül. Gül menekankan pentingnya mempertahankan national interests sebagai landasan dalam diplomasi luar negeri Turki, serta menghindari kebijakan yang  daur (cyclical) dan emosional.

We should calculate what [political] results we will get as Turkish people when the waves settle and fire is extinguished in the countries under transformation [as part of the Arab Spring]. Sooner or later this turmoil will end but what will remain in our hands is very important.

 We should not forget that our main responsibility towards our people is to protect and advance our country’s national interest. While supporting nations on the grounds of humanitarian values and brotherhood in their difficult days, we should not lose our moral superiority either. We should not let any nation or any community misread Turkey’s goodwill policy [of] embracing everyone.

Pernyataan kedua pejabat tinggi Turki ini menunjukkan adanya perbedaan pendapat di antara elit Turki mengenai national interest mereka. Dan mengingat kebijakan luar negeri Turki terhadap Suriah akhirnya berupa pelibatan diri ke dalam konflik dan menimbulkan beban yang sangat berat bagi rakyat Turki, dapat disimpulkan bahwa definisi national interest yang digunakan adalah versi Davutoglu dan partner utamanya, Perdana Menteri Erdogan.

Di Turki, tugas presiden lebih bersifat seremonial, sementara tugas-tugas eksekutif yang berdampak langsung kepada kehidupan rakyat dilakukan oleh Perdana Menteri dan kabinetnya. Perdana Menteri Turki sejak 2003 hingga 28 Agustus 2014 dijabat oleh Erdogan, sementara Davutoglu menjabat Menteri Luar Negeri. Pada 10 Agustus 2014, Turki menggelar pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya setelah 91 tahun (sebelumnya, presiden dipilih oleh parlemen). Erdogan memenangkan pemilu dan kini menjabat sebagai Presiden Turki, sedangkan Davutoglu sekarang menjabat sebagai Perdana Menteri Turki.

Kedua tokoh ini, Erdogan dan Davutoglu, sangat besar pengaruhnya dalam penetapan national interest Turki, terutama terkait Suriah. Argumennya adalah kesesuaian isi makalah Davutoglu (sebagaimana dikutip di atas) dan kebijakan luar negeri Turki terkait Suriah. Selain itu, perubahan kebijakan luar negeri Turki yang mengusung slogan zero problems with neighbours (nol problem dengan tetangga) secara mendadak juga menunjukkan preferensi individual Davutoglu dan Erdogan. Hal ini terlihat dari narasi-narasi agresif yang mereka gunakan dalam pidato-pidatonya. Padahal, setahun sebelum krisis Syria meledak, Erdogan dan Assad bertemu untuk meresmikan proyek pembangunan bendungan sungai Orontes yang dinamai ‘Bendungan Persahabatan’. Kedua negara juga telah memberlakukan kebijakan bebas visa dan melakukan rapat kabinet gabungan, yang menunjukkan betapa dekat hubungan antara keduanya (Sulaeman, 2013).

Dalam pidatonya tanggal 26 April 2012, kepada anggota parlemen yang mengritik kebijakannya terhadap Suriah, Davutoglu berkata,

“A new Middle East is about to be born. We will be the owner, pioneer and the servant of this new Middle East.
“Dealing with Syria is not a matter of choice, but an obligation
.

“The era of policies [such as] ‘wait and see’ and following behind big powers has ended.

“Turkey is no longer a country which does not have self-confidence and is waiting for foreign approval [in its policies].
Turkey now has puissance. …Even your dreams can’t and won’t reach the place where our power has come to.”

Erdogan dalam pidatonya di depan anggota parlemen dari AKP mengatakan, “We will continue to support the struggle of our brothers in Syria at any cost.” Penggunaan istilah “our brother” menjadi indikasi kuat adanya faktor preferensi individual Erdogan, yaitu ideologi Ikhwanul Muslimin. Menurut Kader (2013), sikap keras Erdogan dalam membela Mursi dan Ikhwanul Muslimin, tangisan Erdogan (yang disiarkan di televisi) saat mendengar puisi karya politisi Ikhwanul Muslimin mengenai putrinya yang tewas dalam aksi protes di Kairo, serta peran Istanbul sebagai tuan rumah bagi banyak pertemuan yang membahas langkah-langkah melawan melawan pemerintah baru Mesir yang menggulingkan Presiden Mohammad Mursi, membuktikan keterkaitan Erdogan dengan Ikhwanul Muslimin serta kesamaan interest mereka dalam  mengembalikan ‘kekuasaan Islam’.

Selain itu, Aaron Stein (2015), peneliti dari Center for Economics and Foreign Policy Studies yang berpusat di Istanbul menyebutkan bahwa pada bulan April 2011, AKP memilih untuk mendukung Assad dengan syarat Presiden Suriah itu memberikan konsesi kepada para aktivis Ikhwanul  Muslimin Suriah yang diasingkan untuk kembali ke negara mereka. Usulan ini rupanya ditolak oleh Assad dan faksi Ikhwanul Muslimin menjadi salah satu aktor dalam upaya penggulingan Assad.

Peran Turki dalam Konflik Suriah

Sulaeman (2013:122-123) memetakan faksi-faksi yang berseteru di Suriah sebagai berikut:

  1. Kelompok-kelompok jihad yang berafiliasi dengan Al Qaida. Kelompok yang disebut-sebut paling solid dan paling kuat di antara mereka adalah Jabhah Al Nusrah (JN). JN kemudian terpecah, sebagian berbaiat kepada Abu Bakar Al Baghdadi yang membentuk Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
  2. Kelompok-kelompok pemberontak Syria yang bergabung dalam Free Syrian Army. FSA didukung oleh koalisi oposisi yang didominasi oleh kalangan Ikhwanul Muslimin.
  3. Kelompok oposisi antikekerasan, antisektarianisme, dan anti intervensi militer asing; mereka bergabung dalam koalisi yang bernama National Coordination Body for Democratic Change.

Bila diamati kronologi eskalasi konflik Suriah, terlihat ada perubahan signifikan dari isu yang diangkat oleh kelompok oposisi Suriah, pertama demokratisasi, namun akhirnya berubah menjadi isu Sunni-Syiah dan pendirian khilafah di Syam (Suriah). Pola awal yang muncul di Suriah sangat mirip dengan pola Arab Spring di negara-negara Arab lainnya, yaitu seruan demo anti-rezim melalui facebook  dan twitter, pada Januari 2011. Namun, tidak sebagaimana yang terjadi di Mesir dan Tunisia, aksi demo di Suriah sangat minor. Konflik kekerasan terjadi di Daraa, sebuah kota kecil di perbatasan Jordan-Syria pada Maret 2011, yang menewaskan warga sipil dan polisi (di kedua pihak sama-sama jatuh korban) dan segera di-blow up oleh media internasional. Sebaliknya, media internasional tidak memberitakan bahwa pada 26 Maret 2011 terjadi demo yang sangat masif di berbagai kota besar di Suriah, termasuk Damaskus, untuk menyatakan dukungan kepada Assad. Televisi Suriah meliputnya dari helikopter, memperlihatkan lautan massa yang sangat jauh melampaui jumlah demonstrasi sporadis anti-Assad (Sulaeman, 2013:103-104).

Tidak berhasilnya skenario penggulingan rezim secara “demokratis” akhirnya mendorong kelompok oposisi menggunakan aksi bersenjata. Pada Juli 2011 Kolonel Riad Al Assad mendeklarasikan Free Syrian Army (FSA). Para komandan tinggi FSA bermarkas di Turki dan dari sanalah mereka berusaha mengendalikan pemberontakan bersenjata melawan tentara pemerintah. Pada 18 Juli FSA mengaku bertanggung jawab atas pengeboman di kantor Keamanan Nasional Syria  yang menewaskan delapan pejabat elit militer Syria. Sejak itu pula, kata ‘terorisme’ mulai muncul dalam konflik Syria.

Pada 24 January 2012, kelompok jihad Jabhah Al Nusrah (JN) mendeklarasikan dimulainya ‘perjuangan mendirikan hukum Allah’ melalui rekaman video yang disebarkan di jejaring YouTube. Dalam rentang waktu November 2011-Desember 2012, JN telah mengaku bertanggung jawab atas 600 serangan, termasuk lebih dari 40 serangan bunuh diri dan peledakan dengan bom rakitan di kota-kota Damaskus, Aleppo, Hamah, Dara, Homs, Idlib, dan Dayr al-Zawr. Pada 11 Desember 2012, AS pun menyatakan JN sebagai organisasi teroris.

Pada 24 Agustus 2012, anggota parlemen Turki dari Peoples Republic Party, Mehmet Ali Edipoglu mengecam sikap pemerintah yang “tutup mata” atas datangnya militan dari Libya, Chechnya, Afghanistan, dan negara-negara Afrika ke kota Hatay, dekat perbatasan Turki-Suriah,  sebelum melanjutkan perjalanan memasuki Suriah. Menurut Edipoglu, para militan itu secara terbuka mengaku sebagai anggota Al Qaida telah terjadi banyak konflik antara mereka dengan warga kota Hatay.

Menurut Idiz (2014), bukan rahasia lagi bagi kalangan diplomat di Ankara bahwa Erdogan dan Davutoglu memandang JN sebagai kekuatan paling efektif dalam upaya menggulingkan Assad. Ankara juga memprotes tindakan AS memasukkan JN dalam daftar teroris dengan menyebutnya ‘keputusan gegabah’ karena JN telah membuat banyak kemajuan dalam melawan tentara Suriah. Selain itu, Erdogan juga memanfaatkan JN untuk mencegah kelompok-kelompok Kurdi di Suriah menguasai wilayah perbatasan Turki yang telah ditinggalkan tentara Assad.

Atas tekanan AS,  akhirnya pada pada 3 Juni 2014 (satu setengah tahun setelah AS menyebut JN sebagai teroris) Turki menyatakan JN sebagai teroris. Namun dua pekan kemudian, tanggal 16 Juni 2014, Turki kembali menghapus JN dan afiliasinya dari daftar organisasi teroris. Hingga kini, JN dan afiliasinya masih terus melancarkan serangan terhadap rezim Assad dan mengebom infrastruktur, serta di saat yang sama, berperang melawan ISIS.

Aspek Geopolitik dalam Konflik Suriah

Selain indikasi bahwa national interest Turki di Suriah terkait dengan ideologi Islamis Ikhwanul Muslimin dari Erdogan, Davutoglu, dan Partai AKP, aspek geopolitik juga menjadi salah satu faktor penting keterlibatan Turki. Eskalasi konflik Suriah terjadi bersamaan dengan  ditandatanganinya memorandum di Bushehr (Iran) pada 25 Juni 2011 terkait pembangunan pipa gas Iran-Iraq-Suriah sepanjang 1500 km. Pipa ini dimulai dari ladang gas terbesar di dunia, Asaluyeh (Iran) dan berujung di Damaskus, untuk kemudian disalurkan ke negara-negara Eropa melewati Laut Mediterrania. Proyek senilai 10 milyar USD ini direncanakan dimulai tahun 2014 hingga 2016. Proyek pipa gas ini tidak dikehendaki Eropa dan Turki karena akan menjadi pesaing besar bagi jalur pipa gas Nabucco, yang dirancang membentang dari Irak, Azerbaijan, Turkmenistan, dan Turki. Menurut analisis Minin (2014) dan Sulaeman (2013:148) faktor gas inilah yang membuat Barat sangat menginginkan terjadinya perubahan rezim di Suriah. Karena itu, selain Turki, Inggris, Perancis, dan AS pun menjadi suporter utama bagi kelompok-kelompok oposisi Suriah.

Kesimpulan

Keterlibatan Turki dalam konflik Suriah pada awalnya dipersepsi oleh pemerintah Erdogan akan bersesuaian dengan national interest Turki, yaitu menegakkan demokrasi di Dunia Islam. Kemudian, seiring waktu terungkap adanya dukungan Turki kepada kelompok militan Islam. Di sini, seperti diungkapkan Snyder, Bruck, and Sapin biografi individu para pengambil keputusan perlu dipertimbangkan dalam mendeteksi national interest yang ditetapkan sebuah rezim karena state action is the action taken by those acting in the name of the state, aspek ideologi Ikhwanul Muslimin yang dianut oleh AKP dan Erdogan memiliki peran.

Namun terbukti bahwa national interest yang dipersepsi oleh Erdogan dan AKP bukanlah national interest yang dipersepsi sebagian rakyat Turki. Besarnya anggaran negara yang dihabiskan untuk membiayai pengungsi dan mendukung kelompok oposisi bertentangan dengan national interest yang umumnya dikehendaki rakyat sebuah negara, yaitu penggunaan dana negara semaksimal mungkin untuk kepentingan warga negara. Meskipun adanya peluang meraih keuntungan tangible berupa proyek pipa minyak Nebucco, namun realitas menunjukkan keuntungan ini masih jauh panggang dari api.

Dan karena Turki adalah negara yang relatif demokratis, akses informasi rakyat cukup luas sehingga mampu menganalisis kesalahan kebijakan luar negeri yang dilakukan rezim Erdogan. Mereka juga bisa berperan dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan cara menolak memberikan suara dukungan kepada AKP dalam pemilu7 Juni 2015. Dalam situasi ini, AKP menghadapi dilema, antara mencapai national interest yang dipersepsinya dengan mengakomodasi kehendak rakyat.

—–

Disclaimer: artikel ini dalam proses pengembangan untuk dimuat di publikasi cetak, dilarang untuk dikutip dalam makalah akademis.