AS Versus Arab di Suriah (3)

Baca Bagian 2

Bagian 3

Mengenal Bashar al Assad

Keluarga Bashar Assad adalah Alawite, sebuah sekte Muslim yang dianggap segolongan dengan Syiah. “Bashar Assad tidak pernah direncankan menjadi presiden,” kata jurnalis senior, Seymour Hersh, kepada saya. “Ayahnya menyuruhnya pulang dari London, dimana ia belajar di fakultas kedokteran, ketika kakaknya, yang direncanakan menjadi pewaris tahta, tewas dalam kecelakaan mobil.”

Sebelum perang, menurut Hersh, Assad justru ingin meliberalisasi Suriah. “Mereka memiliki internet, koran, mesin ATM dan Assad ingin berpindah haluan ke Barat. Pasca teror 9/11, Assad memberi ribuan file berharga mengenai kelompok-kelompok “jihad” kepada CIA karena ia memandang kelompok-kelompok radikal itu sebagai musuh bersama [antara Suriah dan AS].”

Bashar Assad- Asma Assad- Ratu Elizabeth

Bashar Assad- Asma Assad- Ratu Elizabeth

Rezim Assad adalah sekuler dan Suriah adalah negara yang majemuk [beragam agama dan mazhab]. Pemerintah Suriah dan militernya, 80 persen-nya berasal dari kalangan Sunni. Assad mempertahankan perdamaian di antara rakyatnya yang majemuk itu, sedangkan tentara sangat loyal kepada keluarga Assad. Loyalitas itu dijamin oleh para perwira nasionalis yang bergaji tinggi,  aparat intelijen yang cenderung brutal, namun lebih moderat dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah lainnya yang menjadi sekutu kita saat ini. Menurut Hersh, “Yang pasti, Assad  tidak memenggal kepala orang setiap hari Rabu seperti yang dilakukan rezim Saud di Mekkah.”

Jurnalis seniro lain, Bob Parry, memberikan penilaian serupa dengan Hersh. “Tidak ada orang di kawasan Timteng yang memiliki tangan yang bersih. Namun, Suriah jauh lebih baik daripada Saudi,  negeri yang penuh siksaan, pembunuhan massal, pembungkaman kebebasan sipil, dan dukungan pada terorisme.” Tidak ada yang percaya bahwa rezim itu rentan terhadap anarki yang telah membelah Mesir, Libya, Yaman, dan Tunisia. Pada musim semi 2011, ada demo-demo damai di Damaskus memprotes pemerintah. Ini adalah bagian dari Arab Spring yang menyebar secara viral melalui negara-negara Arab lainnya.

Namun, WikiLeaks mengindikasikan bahwa CIA sudah menginjakkan kaki di Suriah sebelum gelombang Arab Spring tiba. Tapi kerajaan-kerajaan Arab dengan kekayaan petrodolarnya menginginkan keterlibatan lebih dalam dari Amerika. Pada tanggal 4 September 2013, Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, mengatakan di sidang Kongres bahwa kerajaan-kerajaan Arab telah menawarkan untuk membayar biaya perang AS di Suriah demi menggulingkan Bashar Assad.

“Bahkan, beberapa dari mereka telah mengatakan bahwa jika Amerika Serikat siap untuk pergi menghabisi Suriah, sebagaimana telah kita lakukan sebelumnya di tempat-tempat lain, mereka akan membayar biayanya,” kata Kerry.

Kerry juga menegaskan tawaran itu kepada senator dari Republikan,  Ileana Ros-Lehtinen, “Sehubungan dengan tawaran negara-negara Arab untuk menanggung biaya (invasi Amerika) dalam rangka menggulingkan Assad, jawabannya adalah ya, mereka memberikan tawaran itu. Tawaran itu ada di atas meja.”

Namun, meski ada tekanan dari Partai Republik, Barack Obama menolak keras mengirimkan pemuda-pemuda Amerika untuk mati sebagai tentara bayaran para konglomerat demi jalur pipa gas. Obama dengan bijak mengabaikan teriakan politisi Republik untuk menempatkan pasukan darat di Suriah atau untuk menyalurkan lebih banyak dana untuk “pemberontak moderat.”

Tapi pada akhir 2011, tekanan Republik dan sekutu Sunni kita telah mendorong pemerintah Amerika terjun ke medan perang. Pada tahun itu, AS bergabung dengan Perancis, Qatar, Arab Saudi, Turki dan Inggris untuk membentuk “Koalisi Teman Suriah” (Friends of Syria Coalition), yang secara resmi mengupayakan penggulingan Assad. CIA menyediakan  6 juta dolar untuk Barada, saluran TV Inggris, untuk memberitakan berita-berita terkait penggulingan Assad. Dokumen-dokumen intelijen Saudi, yang diterbitkan oleh WikiLeaks, menunjukkan bahwa pada tahun 2012, Turki, Qatar dan Arab Saudi mempersenjatai, melatih, dan mendanai pejuang ‘jihad’ radikal dari Suriah, Irak, dan negara-negara lain untuk menggulingkan rezim Assad. Qatar, yang akan paling besar mendapatkan keuntungan jika upaya penggulingan rezim berhasil, menginvestasikan 3 miliar Dolar untuk membangun kekuatan pemberontak dan mengundang Pentagon untuk melatih para petempur ‘jihad’ di pangkalan AS di Qatar. Menurut reportase Seymour Hersh, April 2014, suplai senjata  CIA dibiayai oleh Turki, Arab Saudi dan Qatar.

Ide Perang Sunni-Syiah

randIde mengobarkan perang saudara Sunni-Syiah untuk melemahkan rezim Suriah dan Iran dalam rangka mengontrol sumber daya migas di kawasan itu bukanlah kata/ide baru dalam kamus Pentagon. Sebuah laporan dari lembaga think-tank Rand Corporation yang didanai Pentagon tahun 2008, sudah mencantumkan rancangan detil atas apa sedang terjadi saat ini di Suriah. Laporan itu mengamati bahwa kontrol minyak dan gas negara Teluk Persia akan tetap menjadi sebuah prioritas strategis bagi AS  yang akan “memicu perang jangka panjang.”

Rand menganjurkan untuk menggunakan “aksi rahasia, operasi informasi, perang non-konvensional” untuk menegakkan strategi ‘pecah-belah dan kuasai’ (divide and rule). “Amerika Serikat dan sekutu-sekutu lokalnya bisa menggunakan ‘jihadis nasionalis’ untuk meluncurkan perang proxy,” tulis Rand.

“Para pemimpin AS juga bisa memilih untuk memanfaatkan konflik abadi Syiah-Sunni dengan berpihak pada rezim Sunni konservatif [tepatnya: Wahhabi –pent.] melawan gerakan kebangkitan Syiah di dunia Muslim … mungkin mendukung pemerintah otoritatif Sunni melawan Iran,” demikian tertera di laporan Rand.

Seperti yang diperkirakan, reaksi berlebihan Assad terhadap krisis buatan CIA –yaitu menjatuhkan bom-bom barel ke kubu Sunni dan membunuh warga sipil – [1] telah membuat warga Suriah terpolarisasi antara Syiah dan Sunni [2] sehingga memberi kesempatan kepada AS untuk ‘menjual’ perang demi pipa gas ini di bawah kedok ‘perang demi kemanusiaan’. Ketika tentara-tentara Sunni Suriah mulai membelot tahun 2013, koalisi Barat mempersenjatai Free Syrian Army untuk lebih mengguncang Suriah. [3] Media mencitrakan Free Syrian Army sebagai batalion yang solid dan moderat, namun ini hanya delusi. Mereka bergabung dengan ratusan milisi jihadis lainnya. Kemudian, milisi Al-Qaeda di Irak datang ke Suriah dan bergabung dengan Free Syrian Army, dan banyak dari mereka dilatih dan dipersenjatai oleh AS.

Meskipun media mainstream sukses menggambarkan bahwa milisi pemberontak Suriah adalah kelompok ‘moderat’ melawan Assad ‘si penindas’, agen intelijen AS sudah mengetahui sejak awal bahwa kaki-tangan (proxy) mereka adalah kelompok jihadis radikal yang akan membentuk kekhalifahan Islam di Suriah dan Irak. Dua tahun sebelum ISIS menggorok leher-leher manusia dan tampil di panggung dunia, pada 12 Agustus 2012, sudah ada laporan dari Badan Intelijen Pertahanan AS yang memperingatkan bahwa berkat dukungan AS dan koalisi negara-negara Arab-Turki kepada milisi jihadis, “Salafi, Ikhwanul Muslimin, dan AQI (sekarang ISIS), adalah kekuatan utama yang memicu perang di Suriah.”

“Dengan menggunakan dana dari AS dan negara-negara Teluk, kelompok-kelompok radikal itu telah mengubah aksi demo damai melawan Bashar Assad ke arah konflik sektarian (Syiah vs Sunni),” demikian terungkap dari laporan yang didapat oleh Judicial Watch ini. Laporan ini mencatat bahwa konflik Suriah telah berubah menjadi perang saudara sektarian yang didukung oleh “kekuatan politik dan agama Sunni” [tepatnya, Wahhabi –pent.] ”

Laporan tersebut juga menggambarkan konflik Suriah sebagai perang global untuk menguasai sumber daya di kawasan ini dengan dua kubu yang berseteru, yaitu kubu Barat, negara-negara Teluk, dan Turki yang mendukung pemberontak versus Rusia, Cina, dan Iran yang mendukung rezim. Para penulis laporan 7 halaman dari Pentagon ini bahkan terlihat mendukung prediksi kekhalifahan ISIS, “Jika situasi rumit ini terurai, ada kemungkinan membangun sebuah kerajaan Salafi –baik resmi atau tidak- di Suriah Timur (Hasaka dan Der Zor) dan inilah yang diinginkan oleh kubu pendukung oposisi agar rezim Suriah terisolasi.”

Selanjutnya, laporan tersebut memperingatkan bahwa “Kerajaan baru ini bisa meluas ke perbatasan Mosul dan Ramadi (Irak) dan mendeklarasikan Negara Islam bersama organisasi-organisasi teroris lainnya di Irak dan Suriah. ”

Kini kita melihat, bahwa memang inilah yang sedang/telah terjadi. Bukan kebetulan, daerah-daerah Suriah diduduki oleh ISIS persis mencakup rute yang diusulkan dalam proyek jalur pipa Qatar.

——

Catatan Redaksi ICMES:

[1] Di sini Kennedy amat terpengaruh oleh propaganda “barrel bomb” yang amat dipopulerkan oleh media mainstream, seolah bom ini sesuatu yang luar biasa, bahkan jauh lebih ganas daripada bom-bom cluster, yang mengandung depleted uranium, bom napalm, dan bom fosfor yang biasa digunakan AS dan sekutunya  (antara lain di Libya, Yaman, dan Gaza). Presiden Obama berkali-kali mengangkat topik bom barrel ini untuk menggambarkan kekejaman rezim Suriah. Padahal bom barrel adalah bom ‘rumahan’ atau bom amatiran, dijatuhkan dari helikopter, sehingga orang-orang punya kesempatan melarikan diri saat mendengar suaranya; jauh berbeda dengan bom-bom cluster dan fosfor yang digunakan AS dan sekutunya yang ditembakan dengan roket dari pesawat tempur atau drone.  Penjelasan lebih lanjut : https://consortiumnews.com/2015/09/30/obamas-ludicrous-barrel-bomb-theme/

[2] Polarisasi Sunni-Syiah sama sekali tidak sesuai dengan data demografi di Suriah, yaitu 68,4% Sunni, 12,6% Alawi (berbeda dengan Syiah di Iran), 11,2% Kristen, 9,1% lain-lain (Yazidi, Druze, Yahudi, dll). Yang lebih tepat adalah Islam radikal berpaham Wahabi versus semua penduduk asli Suriah karena yang menjadi korban pengeboman dan pembunuhan massal yang dilakukan milisi pemberontak adalah warga dari berbagai agama dan mazhab (termasuk Sunni).

[3] Ini adalah kesalahan data, FSA dibentuk sejak awal perang, 29 July 2011. Hal ini sesuai dengan isi tulisan Kennedy sendiri bahwa sejak 2009 CIA sudah membiayai pemberontak. Baca: https://en.wikipedia.org/wiki/Free_Syrian_Army

(bersambung ke bagian-4)