Rangkuman Berita Utama Timteng Kamis 25 Juli 2019

kapal stena emperoJakarta, ICMES: Presiden Iran Hassan Rouhani mengisyarat saran bahwa jika Inggris membebaskan kapal tanker Iran yang ditangkap pasukan Inggris maka Iran juga akan melepaskan kapal berbendera Inggris yang dicegat dan disita oleh pasukan Iran.

Duta Besar Arab Saudi untuk PBB Abdallah bin Yahya al-Mouallimi menyatakan kesiapan Riyadh untuk penjalinan hubungan kerjasama negara-negara Arab dengan Iran.

Dua sumber diplomatik mengatakan bahwa dengan tibanya musim gugur pada akhir tahun nanti bisa jadi akan dimulai perundingan mengenai perluasan zona gencatan senjata hingga skala nasional.

Militer Sudan mengaku meringkus sejumlah perwira senior terkait dengan kudeta awal bulan ini.

Berita selengkapnya:

Rouhani Isyaratkan Keharusan Saling Membebaskan Kapal Antara Iran dan Inggris

Presiden Iran Hassan Rouhani mengisyarat saran bahwa jika Inggris membebaskan kapal tanker Iran yang ditangkap di lepas pantai Gibraltar pada awal bulan ini maka Iran juga akan melepaskan kapal berbendera Inggris yang dicegat dan disita oleh pasukan Iran pekan lalu.

“Jika Inggris menghindari tindakan yang salah di Gibraltar, mereka akan menerima tanggapan yang sesuai dari Iran,” kata Rouhani dalam rapat kabinet mingguan, Rabu (24/7/2019)

Kapal supertanker Grace-1 yang membawa miyak Iran disita di luar negeri Inggris di pantai selatan Spanyol pada 4 Juli lalu karena dicurigai mengirimkan minyak ke Suriah, negara Arab sekutu Iran yang dikenai sanksi Uni Eropa.

Sekitar dua minggu kemudian, Iran menangkap kapal Stena Impero yang berbendera Inggris di Selat Hormuz sembari mengklaim bahwa kapal itu telah bertabrakan dengan perahu nelayan Iran dan melanggar hukum internasional.

Memanasnya hubungan Iran-Inggris ini terjadi di saat ketegangan antara Iran dan AS juga meningkat di kawasan Selat Hormuz.

Dan baru kali ini Rouhani mengaitkan penyitaan kapal Inggris oleh pasukan elit Iran Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dengan penyitaan kapal tanker minyak Iran oleh Angkatan Laut Inggris. (aljazeera)

Saudi Nyatakan Kesiapannya untuk Kerjasama Arab dengan Iran

Duta Besar Arab Saudi untuk PBB Abdallah bin Yahya al-Mouallimi menyatakan kesiapan Riyadh untuk penjalinan hubungan kerjasama negara-negara Arab dengan Iran.

Dalam sebuah pernyataannya di depan Dewan Keamanan PBB di New York, AS, Rabu (24/7/2019), al-Mouallimi selaku ketua kelompok Arab di bulan ini mengungkapkan hal tersebut sembari menuding Iran mencampuri urusan internal negara-negara regional, dan menyebutkan bahwa hubungan itu harus didasari prinsip kerukunan bertetangga, saling menghormati kedaulatan, dan tidak mencampuri urusan internal.

“Berlanjutnya perilaku negatif Iran di kawasan hanya akan mengacaukan keamanan dan perdamaian antarnegara,” tudingnya.

Dia menuduh Iran demikian antara lain terkait dengan kondisi Selat Hormuz sembari menyatakan negaranya “berusaha memulihkan stabilitas kawasan sedangkan Iran malah mengusik keamanan.”

Dia juga mengatakan, “Ancaman pemerintah Iran menutup Selat Hormuz dan melanjutkan serangan dan penahanan terhadap kapal-kapal dagang mendesak Dewan Keamanan kepada tanggungjawabnya untuk bersikap tegas, menunaikan misi utamanya, dan menjaga keamanan dan perdamaian internasional.”

Dia menambahkan, “Kami berusaha memulihkan keamanan dan stabilitas di kawasan. Jalan yang kongkret dan satu-satunya dalam rangka itu terepresentasi dalam penghormatan semua negara di kawasan kepada prinsip kerukunan bertetangga serta penghindaraan penggunaan ataupun pengisyaratan dengan kekuatan, campurtangan dalam urusan internal negara-negara, dan pelanggaran atas kedaulatan mereka.”

Di bagian akhir pernyataannya itu dia mengecam serangan kelompok pejuang Ansarullah di Yaman terhadap fasilitas sipil dan infrastruktur Saudi, tanpa menyinggung kebrutalan Saudi sendiri di Yaman sejak tahun 2015. (alalam/raialyoum)

Reuters: Sudah Ada Momentum Kongkret untuk Penghentian Perang Yaman

Dua sumber diplomatik mengatakan kepada Reuters bahwa dengan tibanya musim gugur pada akhir tahun nanti bisa jadi akan dimulai perundingan mengenai perluasan zona gencatan senjata yang telah dicapai di bawah pengawasan PBB di kota Hodeidah, Yaman, untuk kemudian menjadi gencatan senjata yang menyeluruh.

Dua sumber itu menyebut hal tersebut dapat menyediakan jalan bagi pelaksanaan negosiasi mengenai kerangka politik untuk menyudahi intervensi militer Saudi dan sekutunya di Yaman. Menurut mereka, pengurangan eksistensi militer Uni Emirat Arab (UEA) secara signifikan di Yaman telah membantu menciptakan momentum bagi penerapan gencatan senjata secara nasional di tahun ini.

Dua narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan karena persoalan yang mereka sampaikan tergolong sensitif itu menjelaskan bahwa ada “momentum kongkret” untuk penghentikan operasi militer pada Desember mendatang, meskipun ada “sejuta sesuatu yang bisa jadi gagal”.

Keduanya juga mengatakan, “Mereka (UEA) tidak ingin terus menerus mendapat kecaman keras akibat perang yang tak dapat mereka menangi.” (alalam)

Beberapa Perwira Tinggi Diringkus Terkait Kudeta Gagal di Sudan

Militer Sudan mengaku telah meringkus sejumlah perwira senior terkait dengan kudeta awal bulan ini, ungkap kantor berita negara ini, SUNA.

Dewan militer, yang mengambil alih negara itu setelah menggulingkan pemimpin lama Omar al-Bashir pada April lalu, mengaku telah menangkap setidaknya 16 perwira militer yang aktif dan pensiunan atas upaya kudeta pada 11 Juli.

SUNA, Rabu (24/7/2019), melaporkan, “Militer telah mengungkap upaya kudeta yang melibatkan Jenderal Hashim Abdel Muttalib Ahmed, kepala kepala staf gabungan, dan beberapa perwira tinggi dari angkatan bersenjata dan Badan Intelijen dan Keamanan Nasional, bersama dengan para pemimpin Gerakan Islam dan Nasional, Partai Kongres .”

Menurut SUNA, mereka telah dipecat dan penyelidikan atas mereka sedang berlangsung agar mereka dapat diadili.

Pembicaraan antara militer dan gerakan pro-demokrasi Sudan telah sampai bagian akhir dan kritis dari kesepakatan pembagian kekuasaan untuk periode transisi negara.

Mengutip pernyataan pihak militer, SUNA menyebutkan bahwa upaya kudeta gagal itu bertujuan “mengandaskan revolusi rakyat yang gemilang, mengembalikan rezim Kongres Nasional kepada kekuasaan, dan mengganggu jalan sebelum ada solusi politik yang diharapkan, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara sipil.”

Ahmed ditunjuk sebagai kepala staf hanya beberapa hari setelah Omar Bashir dicopot menyusul protes jalanan yang telah berlangsung berbulan-bulan terhadap pemerintahan Bashir yang sudah berusia tiga dekade.

Sejak April, Ahmed tampak setia kepada Jenderal Abdel-Fattah Burhan, kepala dewan militer yang berkuasa, dan baru minggu lalu mengunjungi Mesir bersama delegasi tingkat tinggi Sudan.

Para jenderal yang berkuasa di Sudan dan faksi-faksi pro-demokrasi belum menandatangani bagian kedua dan terakhir dari kesepakatan pembagian kekuasaan.

Pada pekan lalu mereka meneken deklarasi politik yang menguraikan kesepakatan, setelah menyetujui dewan kedaulatan bersama yang akan memerintah dalam jangka waktu kurang dari tiga tahun manakala pemilu masih digalang.

Kedua belah pihak mengatakan dorongan diplomatik oleh Amerika Serikat dan sekutu Arabnya adalah kunci untuk mengakhiri perselisihan selama sekian minggu antara militer dan para pemrotes yang menimbulkan kekhawatiran akan pecahnya perang saudara.

Bagian kedua, yang lebih kontroversial dari perjanjian pembagian kekuasaan, yang disebut “perjanjian konstitusional”, dimaksudkan untuk menentukan pembagian kekuasaan selama periode transisi. Tetapi bagian ini sekarang macet.

Para pemimpin gerakan pro-demokrasi, yang dikenal sebagai Pasukan untuk Deklarasi Kebebasan dan Perubahan, telah mengadakan pertemuan di Ethiopia dengan para pemimpin Front Revolusioner, aliansi kelompok pemberontak Sudan yang juga bagian dari gerakan itu.

Front Revolusioner telah menolak kesepakatan pembagian kekuasaan, dengan alasan gagal memenuhi tuntutan mereka untuk perdamaian. (aljazeera)