Rangkuman Berita Utama Timteng Jumat 28 Januari 2022

Jakarta, ICMES. Sumber-sumber di Yaman menyatakan bahwa Uni Emirat Arab (UEA) telah mengajukan permohonan kepada pemerintah Yaman kubu Sanaa agar Yaman tidak melanjutkan serangan ke wilayah UEA.

Menhan Yaman kubu Sana, Brigjen Mohammad Nasir Al-Atefi, kepada kantor berita Yaman, Saba, Kamis (27/1), memastikan serangan Yaman ke negara-negara yang mengagresinya, termasuk UEA, akan terus berlanjut selagi agresi itu masih berlanjut.

Lembaga Amnesty International menyatakan bahwa pasukan koalisi pimpinan Saudi telah menggunakan amunisi berpemandu presisi buatan Amerika Serikat (AS) dalam serangan udara pekan lalu terhadap sebuah pusat penahanan di Saadah, Yaman barat laut, yang menurut lembaga Doctors Without Borders, menewaskan sedikitnya 80 orang dan melukai lebih dari 200 lainnya.

Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengaku menentang pembentukan negara Palestina dan penerapaan Perjanjian Oslo.

Berita Selengkapnya:

UEA Diam-Diam “Memohon” kepada Sanaa supaya Yaman Tidak Melanjutkan Serangan

Sumber-sumber di Yaman menyatakan bahwa Uni Emirat Arab (UEA) telah mengajukan permohonan kepada pemerintah Yaman kubu Sanaa agar Yaman tidak melanjutkan serangan ke wilayah UEA.

Kepada situs berita Al-Khabar Al-Yamani, Kamis (27/1), sumber-sumber anonim itu mengatakan, “Para diplomat senior UEA telah mengontak pemerintah Yaman dan “memohon” supaya operasi serangan pasukan Yaman terhadap UEA dihentikan, dan mereka berjanji bahwa UEA akan menarikan pasukannya dari Yaman secara bertahap jika serangan rudal dan drone itu dihentikan.

Menanggapi permohonan itu, pemerintah Yaman di Sanaa menetapkan satu syarat berupa “keluarnya semua pasukan UEA secepatnya dari kancah perang Saudi terhadap Yaman”.

Sumber-sumber menambahkan bahwa media UEA dan semua media berafiliasi dengan pasukan koalisi pimpinan Saudi  â€œmenyembunyikan permohonan memalukan itu” dengan cara membangun opini kemenangan pasukan koalisi.

Seperti diketahui, pasukan Yaman kubu Sanaa telah melancarkan dua gelombang serangan rudal dan drone bersandi Badai Yaman ke wilayah UEA. Gelombang pertama terjadi pada pekan lalu yang dilaporkan telah menghantam komplek kilang minyak Al-Musaffah dan Bandara Abu Dhabi. Sedangkan gelombang kedua terjadi pada awal pekan ini dengan sasaran antara lain Pangkalan Udara Al-Dhafra.

Belakangan ini pasukan Yaman mengaku akan “berpartisipasi dalam pameran” Expo Dubai  karena “ada hal-hal yang bagus untuk dipamerkan”, suatu isyarat bahwa mereka akan menjadikan komplek pameran bergengsi di UEA akan menjadi salah satu target gelombang serangan Yaman selanjutnya. (fna)

Sebut Darah Orang Yaman Tak Murah, Sanaa: Serangan Selanjutnya ke UEA akan Lebih Mengerikan

Menhan Yaman kubu Sana, Brigjen Mohammad Nasir Al-Atefi, kepada kantor berita Yaman, Saba, Kamis (27/1), memastikan serangan Yaman ke negara-negara yang mengagresinya, termasuk UEA, akan terus berlanjut selagi agresi itu masih berlanjut.

Al-Atefi menegaskan bahwa blokade dan serangan koalisi terhadap Yaman yang telah menjatuhkan banyak korban sipil  tak akan pernah dapat menyudahi perang Yaman, dan malah akan memperluas kobaran perang serta menyia-nyiakan kesempatan rekonsiliasi untuk pemulihan keamanan dan stabilitas.

Sembari menyebut AS dan Israel ada dibalik agresi koalisi di Yaman, Al-Atefi menjelaskan bahwa serangan rudal dan drone Yaman ke wilayah UEA dan Saudi merupakan satu pesan supaya pasukan koalisi menghentikan agresi ini.

“Tapi jika mereka tak menangkap pesan ini maka pasukan Yaman memiliki opsi penggunaan sarana yang memadai untuk ‘mendidik’ musuh,” lanjutnya.

Dia juga mengatakan, “Pada tahap mendatang Anda akan menyaksikan gelombang serangan menyakitkan dan mengerikan pada kedalaman strategi militer dan ekonomi musuh di kawasan-kawasan yang tak mereka duga, dan ini merupakan hak rakyat Yaman dalam bingkai operasi Badai Yaman.”

 Al-Atefi lantas bersumbar kepada pasukan koalisi, “Kalian memang telah memenuhi keinginan kalian membunuhi rakyat Yaman, menghancurkan kawasan-kawasan sipil dan memusnahkan keindahan Yaman, tapi jangan harap kalian akan dapat meraih apa yang tak dapat kalian raih dalam tujuh tahun perang. Sebaliknya, hanya kekalahan dan kehinaan yang menanti kalian.”

Secara terpisah Hamid Abdul Kadir Antar, penasehat perdana menteri pemerintah kubu Sanaa, di hari yang sama memperingatkan bahwa jika UEA tidak segera keluar dari koalisi agresor maka Yaman akan terus menyerang wilayah UEA.

“Yaman berhak membalas segala bentuk agresi, dan ini adalah bagian dari sistem pencegahan strategis kami…  Jika UEA tidak mundur dari agresinya maka akan terkena serangan-serangan lebih besar dari Yaman. Mata di balas mata, gigi di balas gigi, darah orang Yaman tidaklah murah, darah orang Saudi dan UEA tidaklah lebih mahal dari darah orang Yaman,” tegasnya.

Pasukan Yaman kubu Sanaa telah melancarkan dua gelombang serangan rudal dan drone bersandi Badai Yaman ke wilayah UEA. Gelombang pertama terjadi pada pekan lalu dengan sasaran antara lain komplek kilang minyak Al-Musaffah dan Bandara Abu Dhabi. Sedangkan gelombang kedua terjadi pada awal pekan ini dengan sasaran antara lain Pangkalan Udara Al-Dhafra. (fna)

Amnesti Internasional: Koalisi Arab Gunakan Senjata Buatan AS dalam Eskalasi di Yaman

Lembaga Amnesty International menyatakan bahwa pasukan koalisi pimpinan Saudi telah menggunakan amunisi berpemandu presisi buatan Amerika Serikat (AS) dalam serangan udara pekan lalu terhadap sebuah pusat penahanan di Saadah, Yaman barat laut, yang menurut lembaga Doctors Without Borders, menewaskan sedikitnya 80 orang dan melukai lebih dari 200 lainnya.

Lembaga ini menyebutkan bahwa penggunaan bom berpemandu laser buatan perusahaan pertahanan AS Raytheon itu merupakan satu bukti baru dari sekian banyak bukti penggunaan senjata buatan AS “dalam insiden yang dapat dianggap sebagai kejahatan perang”.

Selama seminggu terakhir, koalisi pimpinan Saudi  tanpa henti menggempur Yaman utara dengan serangan udara, termasuk ibu kota, Sana’a, hingga menjatuhkan puluhan korban sipil dan menghancurkan infrastruktur dan sempat memutus layanan internet. Eskalasi tersebut menyusul serangan Yaman yang menyasar fasilitas minyak di Abu Dhabi, UEA, pada 17 Januari lalu.

“Gambar-gambar mengerikan yang mengalir keluar dari Yaman meskipun internet padam selama empat hari adalah pengingat yang menggelegar tentang siapa yang membayar harga yang mengerikan untuk penjualan senjata yang menguntungkan negara-negara Barat ke Arab Saudi dan sekutu koalisinya,” kata, Deputi Amnesty International Direktur Timur Tengah dan Afrika Utara, Lynn Maalouf, seperti dikutip situs resmi lembaga ini, Kamis (27/1).

“AS dan negara-negara pemasok senjata lainnya harus segera menghentikan pengiriman senjata, peralatan, dan bantuan militer kepada semua pihak yang terlibat dalam konflik di Yaman. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab untuk menutup pintu bagi semua penjualan senjata yang memicu penderitaan warga sipil yang tidak perlu dalam konflik bersenjata,” lanjutnya.

Maalouf menambahkan, “Dengan secara sadar menyediakan sarana untuk koalisi pimpinan Saudi yang telah berulang kali melanggar hak asasi manusia internasional dan hukum humaniter, AS  bersama Inggris dan Prancis berbagi tanggung jawab atas pelanggaran ini.”

Pakar senjata Amnesty International menganalisis foto-foto sisa-sisa senjata yang digunakan dalam serangan di pusat penahanan tersebut dan mengidentifikasi bom itu sebagai GBU-12, bom dipandu laser seberat 500 pon yang diproduksi oleh Raytheon. (amnestyinternational)

Tolak Perjanjian Oslo, PM Israel: Negara Palestina Tak Akan Pernah Ada

Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengaku menentang pembentukan negara Palestina dan penerapaan Perjanjian Oslo.

“Saya dari sayap kanan, dan posisi saya tidak berubah. Saya masih menentang pembentukan negara Palestina dan membela negara kami,” katanya dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Israel Today, Kamis (27/1).

Dia menjelaskan, “Saya tidak akan mengizinkan negosiasi politik atas garis negara Palestina…  dan saya tidak siap untuk bertemu dengan pemimpin Otoritas (Palestina) mana pun.”

Mengenai Perjanjian Oslo antara Israel dan Palestina pada  tahun 1993, yang mencakup pengakuan Israel atas hak Palestina untuk memerintah sendiri, Bennett mengatakan, “Selama saya menjadi perdana menteri, tidak akan ada (implementasi perjanjian) Oslo.”

Sedangkan mengenai pertemuan belum lama ini antara Menteri Luar Negeri Yair Lapid dan Menteri Pertahanan Benny Gantz dengan pejabat Palestina, Bennett mengatakan, “Mereka (Lapid dan Gantz) tidak memiliki wewenang untuk bertindak atas masalah politik.” (/raialyoum)