Peran LSM HAM dalam Eskalasi Perang NATO (3)

1-avaaz-safe-zone-scam

salah satu poster kampanye ‘no fly zone’ dari Avaaz.org

Oleh: Patrick Henningsen

 

Kasus 3: Peran LSM dalam Perang Suriah

Salah satu contoh yang paling mengerikan dari sebuah LSM yang digunakan untuk memperkuat narasi geopolitik pimpinan AS adalah Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), dibuat pada tahun 2006. Di luar nama megahnya, ‘organisasi’ ini pada dasarnya adalah sebuah one-man show, dioperasikan oleh satu orang dari apartemen satu kamar tidur di Coventry, Inggris. Orang tersebut bernama Osama Ali Suleiman, yang biasa dikenal di media sebagai “Rahmi Abdul Rahman”. SOHR telah memainkan peran kunci dalam membuat cerita “fakta di lapangan” untuk poros Washington-London-Paris yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah di Damaskus melalui kebijakan ‘perubahan rezim’ di Suriah. Hampir setiap laporan utama di media mainstream AS dan Eropa telah mengutip SOHR sebagai sumber data dengan melewatkan pemikiran mengenai akurasi dan kredibilitas sumber, dan bagaimana kategorisasi angka korban jiwa yang disodorkannya.

Terlepas dari kenyataan bahwa SOHR berafiliasi erat dengan oposisi Suriah dukungan AS dan Inggris, data yang diberikannya sering memasukkan jumlah korban dari ‘pasukan pemberontak’ (yang sering mencakup petempur asing) ke dalam jumlah korban sipil. Angka-angka yang meragukan juga digunakan oleh sejumlah badan PBB, serta organisasi-organisasi HAM terkemuka. Demikian pula, pejabat Eropa Amerika Serikat, Inggris sering menyebutkan angka 250.000 untuk “kematian warga sipil di Suriah akibat dibunuh oleh rezim”. Satu minggu, seorang pejabat Barat akan mengutip angka 150.000, dan minggu depan dia menyebut 350.000. Akibatnya, sebagian besar laporan media arus utama menyebut jumlah korban Suriah dengan bias dan menggunakan metodologi yang inkonsisten, dan sebagai hasilnya tampaknya tidak ada yang benar-benar tahu angka yang sebenarnya. Semakin besar jumlahnya, semakin antusias permohonan intervensi militer Barat.

Bahkan Dewan Hubungan Luar Negeri (CFR) menulis bahwa angka yang dikutip oleh orang-orang seperti John McCain tidak bertambah. Micah Zenko dan Amelia M. Wolf CFR mengakui pada 2014 bahwa, “sebagian besar kematian yang dilaporkan di Suriah tidak dilakukan oleh pasukan di bawah komando Bashar al-Assad.” Sementara itu, media Barat, politisi, dan organisasi HAM secara rutin mengabaikan fakta bahwa lebih dari 100.000 korban tewas sejak 2011 adalah tentara Suriah dan aparat keamanan yang dibunuh oleh militan dan teroris yang didukung asing. Zenko kemudian menambahkan bahwa, “jenis intervensi [militer oleh Barat] yang diserukan oleh para pemberontak… hampir tidak ada hubungannya dengan bagaimana rakyat Suriah non-milisi sebenarnya dibunuh.”

Meskipun adalah kenyataan bahwa konflik Suriah sangat tragis dan penuh kekerasan yang brutal, yang mempengaruhi semua pihak yang bertempur, pembaca harus mencatat bagaimana Barat melakukan disinformasi yang halus, rapi, dan tanpa henti melalui kebijakan ‘perubahan rezim’ yang dilancarkannya dan diwujudkan dalam permintaan retoris “Assad harus pergi.”

John Glaser dari Antiwar.com menulis, “Proposal kebijakan yang diajukan Barat untuk mengurangi penderitaan massal di Suriah adalah membantu para pemberontak dan menggulingkan rezim Assad. Ini adalah skema yang menggelikan, bila kita melihat data-datanya.”

Hal yang harus dicatat adalah bahwa SOHR menerima dana secara langsung dari Uni Eropa, dan juga menikmati dukungan besar dari Kantor Luar Negeri Inggris – dua pihak yang secara aktif berusaha menggulingkan pemerintah di Suriah melalui gerilya proxy. Setidaknya ini bisa digambarkan sebagai konflik kepentingan. The SOHR bukanlah lembaga non partisan dan lebih mungkin digunakan sebagai alat untuk memproduksi konsensus bagi terwujudnya ‘intervensi kemanusiaan’ di Suriah.

Pemasaran “Intervensi Kemanusiaan” Digital

Intervensi kemanusiaan seolah terdengar baik. Namun ketika ‘dipasarkan’ secara online oleh para aktivis, kita perlu memperhatikannya dengan seksama. Salah satu kata kunci dalam ‘intervensi kemanusiaan’ adalah ‘No Fly Zone’. Frasa ini menjadi terkenal selama perang NATO di Yugoslavia (Perang Balkan), Perang Koalisi AS di Irak (Perang Teluk),  dan serbuan NATO di Libya. Menciptakan No Fly Zone adalah penting dalam program intervensi, di mana wilayah tertentu tidak boleh dilalui oleh pesawat manapun, kecuali oleh pesawat milik Barat.  Barat ‘berhak’ menembak pesawat milik pemerintah, padahal itu adalah wilayahnya sendiri.

Dalam opini publik Barat, kata No Fly Zone masih memiliki konotasi negatif karena perannya di masa lalu yang berkaitan dengan agresi militer Barat. Teknologi digital yang baru diperlukan untuk mengemas ulang merk itu.  Internet dan jejaring sosial menyediakan sarana pengemasan ulang itu, antara lain melalui petisi online.  Organisasi yang terdepan dalam aksi ini adalah Avaaz.org, yang didirikan tahun 2007 oleh Res Publica and Moveon.org, dan salah satu sumber dananya adalah George Soros. Pendiri dan pemain kuncinya adalah Tom Perriello, Ricken Patel, Tom Pravda, Jeremy Heimans, David Madden, Eli Pariser, dan Andrea Woodhouse, masing-masing pernah bekerja dengan PBB dan Bank Dunia, dan berkoordinasi dengan institusi yang dikontrol AS, seperti Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM PBB.

Menurut website Avaaz , misi mereka adalah “mengorganisasi masyarakat sipil untuk menjembatani kesenjangan antara dunia hari ini dengan dunia yang didambakan semua orang.”

Avaaz mengaku sebagai lembaga non profit, tetapi bekerja intens dengan perusahaan profit bernama Purpose yang berbasis di New York, sebuah perusahaan public relation.

Penting dipahami bahwa menurut pengakuan mereka sendiri, organisasi-organisasi semacam Avaaz  ini tidak dimaksudkan untuk menjadi murni sosial, melainkan merupakan perusahaan bisnis juga. Dalam artikel berjudul “Munculnya Pengusaha Aktivis dan Dampaknya pada Bisnis”, penulis Allison Goldberg menjelaskan ‘ide besar’ yang digunakan sebagai pembungkus bagi organisasi sosial gadungan mereka:

“Munculnya teknologi baru telah secara drastis menurunkan penghalang dalam menciptakan organisasi pergerakan dan memberikan alternatif bagi lembaga-lembaga mapan. Hal ini sebelumnya dipandang sebagai jalan untuk reformasi. Organisasi-organisasi ini tidak mengandalkan institusi pemerintah atau organisasi mapan, yang sering membebani secara birokrasi. Mereka memanfaatkan kekuatan media sosial untuk memobilisasi massa yang mendukung perubahan dalam skala besar. Hasailnya, organisasi seperti Avaaz.org, yang mendefinisikan dirinya sebagai “komunitas kampanye untuk membawa kekuatan politik rakyat untuk mempengaruhi keputusan politik di seluruh dunia” sekarang memiliki tujuh juta anggota di seluruh dunia.”

Avaaz dan perusahaan PR, Purpose, bersama-sama menciptakan bahasa dan alat konsensus online. Di samping mempertahankan ilusi para aktivis akar rumput bahwa mereka sedang mengadvokasi HAM, fungsi inti dari kampanye PR mereka adalah menggiring opini publik agar mendukung lembaga multilateral seperti IMF dan NATO untuk melaksanakan program-program seperti sanksi ekonomi, atau intervensi militer.

Pada 2012 dan 2013, kampanye Avaaz menampilkan sejumlah petisi online besar yang menuntut badan-badan internasional (seperti PBB) mengirim 3.000 pemantau internasional ke Suriah dan agar kekuatan militer Barat (seperti NATO) memberlakukan ‘No-Fly Zone’ demi menyelamatkan “nyawa tak berdosa”. Salah satu petisi itu berbunyi demikian:

“Kepada Liga Arab, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Friends of Syria: Sebagai warga global, kami mengajak Anda untuk mengambil tindakan segera untuk menghentikan teror mematikan di Suriah. Cukup adalah cukup. Kami meminta Anda untuk segera menuntut gencatan senjata untuk menghentikan pertumpahan darah sehingga pihak-pihak terkait dapat datang ke meja perundingan untuk menyepakati jalan keluar. Sampai gencatan senjata tercapai, kami mengajak Anda untuk bekerja sama dan dengan masyarakat internasional untuk menegakkan No Fly Zone untuk menghentikan pemboman warga sipil Suriah dan memastikan bahwa bantuan kemanusiaan mencapai mereka yang paling membutuhkan. ”

Dalam website Avaaz, selama kampanye No-Fly-Zone, muncul statemen ini:

Pesawat militer Suriah menjatuhkan bom gas klorin kepada anak-anak. Tubuh-tubuh kecil mereka terengah-engah dalam tandu, sehingga petugas medis pun menahan air mata, dan melihat mereka mati lemas.

Persoalannya, insiden tersebut tidak pernah benar-benar terjadi. Kampanye Avaaz sangat jelas mencerminkan kebijakan luar negeri AS dan Pentagon.

Rick Sterling menjelaskan, “Banyak yang bermaksud baik saat menandatangani petisi Avaaz, tetapi mereka sesungguhnya masyarakat yang naif dan sedang ditipu dengan menggunakan informasi yang salah. Jika kampanye berhasil mengarahkan PBB untuk memberlakukan No Fly Zone, perang, kekacauan, dan pertumpahan darah akan semakin jauh meningkat.”

Organisasi ‘relawan’ yang dikedepankan oleh Avaaz dalam kampanyenya adalah the Syrian Civil Defense atau ‘White Helmets‘. Avaaz menampilkan WH sebagai pihak yang berada di lapangan dan menolong para korban ‘kekejaman Assad’. Bila ditelusuri, WH pun organisasi bentukan Barat.

Jurnalis independen Vanessa Beeley menjelaskan panjang lebar tentang White Helmets dalam tulisannya War by Way of Deception. Antara lain ia menyebutkan bahwa dalam laporan USAID Juli 2015 secara jelas dicantumkan, mereka memberikan dana lebih dari 16 juta dollar kepada WH.

Rekam jejak USAID sebagai fasilitator bagi keinginan Pemerintah AS / CIA untuk melakukan perubahan rezim telah didokumentasikan secara luas. Dari Amerika Selatan ke Ukraina dan di Timur Tengah, USAID melayani keinginan jahat AS. Mereka merusak negara-negara berdaulat yang ingin keluar dari hegemoni AS, atas nama kebebasan dan demokrasi.

Yang lebih penting lagi, ada bukti yang menghubungkan White Helmets  dengan kelompok teroris di Suriah, termasuk Front al Nusra (al Qaeda). Meskipun hal ini tidak menunjukkan lebih detil bentuk hubungan keduanya, bukti ini signifikan bila kita mempertimbangkan fakta bahwa kedua organisasi itu menerima dukungan keuangan dari negara-negara yang sama, yaitu AS dan koalisinya []

Diterjemahkan bebas dari An Introduction: Smart Power & The Human Rights Industrial Complex oleh Dina Y. Sulaeman.

Bagian 1

Bagian 2