Rangkuman Berita Utama Senin 20 Oktober 2025

Jakarta, ICMES. Tentara Israel melancarkan sedikitnya 20 serangan udara di Gaza hingga menggugurkan sedikitnya 42 orang dan mengancam gencatan senjata yang ditengahi AS untuk mengakhiri perang dua tahun.

Otoritas Yaman kubu Ansarullah menahan sekira 20 staf Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah menggerebek fasilitas PBB lainnya di Sanaa, ibu kota Yaman, dan PBB telah mengonfirmasi hal ini.

Berita selengkapnya:

Serangan Israel Gugurkan 42 orang di Gaza, Kedua Pihak Saling Tuding Langgar Gencatan Senjata

Tentara Israel melancarkan sedikitnya 20 serangan udara di Gaza hingga menggugurkan sedikitnya 42 orang dan mengancam gencatan senjata yang ditengahi AS untuk mengakhiri perang dua tahun.

Tentara Israel pada hari Minggu (19/10) mengaku melancarkan “gelombang besar dan ekstensif” serangan terhadap puluhan target dengan dalih bahwa pasukannya diserang oleh pejuang Hamas di Rafah. Tuduhan ini  dibantah oleh Hamas.

Beberapa jam kemudian, tentara Israel mengeluarkan pernyataan bahwa pasukannya mulai “memperkuat” gencatan senjata di Gaza “setelah serangkaian serangan signifikan”. Secara terpisah, seorang pejabat keamanan Israel mengatakan bahwa pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza dihentikan sementara setelah dugaan pelanggaran Hamas.

Namun, laporan terbaru menyebutkan bahwa Israel membatalkan keputusannya untuk menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, menyusul tekanan AS. Tel Aviv berjanji kepada Washington bahwa mereka akan membuka kembali penyeberangan tersebut pada hari Senin.

Saluran swasta Israel, Channel 12, mengutip keterangan seorang pejabat anonim Israel bahwa Tel Aviv “membatalkan keputusannya untuk tidak mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza hingga pemberitahuan lebih lanjut, menyusul tekanan AS.”

Badan Pertahanan Sipil Gaza mengatakan sejumlah serangan udara Israel menggugurkan sedikitnya 42 warga Palestina di Jalur Gaza pada hari Minggu. Selain itu, Kantor Media Gaza mengatakan 97 warga Palestina gugur dan 230 lainnya luka-luka sejak gencatan senjata berlaku pada 10 Oktober.

Tentara Israel mengatakan dua anggotanya tewas dalam “pertempuran” di Gaza pada hari Minggu, dan merespon dengan serangan dan tembakan artileri setelah pasukannya diserang oleh Hamas. Namun, sayap bersenjata Hamas mengatakan pihaknya mematuhi perjanjian gencatan senjata.

“Kami tidak mengetahui adanya insiden atau bentrokan yang terjadi di wilayah Rafah, karena wilayah tersebut merupakan zona merah di bawah kendali pasukan pendudukan (Israel), dan kontak dengan kelompok-kelompok kami yang tersisa di sana telah terputus sejak perang berlanjut pada bulan Maret tahun ini,” kata Brigade Qassam, sayap bersenjata Hamas, dalam sebuah pernyataan.

Serangan Israel di selatan terjadi ketika sumber medis di Rumah Sakit Al-Aqsa Gaza mengatakan bahwa lima warga Palestina gugur dan beberapa lainnya terluka akibat serangan Israel di az-Zawayda di Gaza tengah.

Tiga warga Palestina juga gugurdan beberapa lainnya terluka akibat serangan Israel di kamp pengungsi Nuseirat, kata sumber medis di Rumah Sakit al-Awda, sementara sebelumnya, sedikitnya dua warga Palestina gugur akibat serangan udara Israel di Gaza utara, menurut kantor berita Wafa.

Suasana Berubah di Israel

Serangan Israel terjadi setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengadakan konsultasi dengan para petinggi keamanan dan memerintahkan militer untuk mengambil “tindakan tegas” terhadap pelanggaran gencatan senjata.

Laporan media Israel menyebutkan bahwa Israel bertindak di Rafah untuk melindungi proksi bersenjata di Gaza yang telah didukungnya selama perang, di tengah kekhawatiran mereka menghadapi pembalasan dari Hamas sejak gencatan senjata.

“Ada laporan bahwa mungkin para pejuang Hamas mencoba menyerang milisi itu di Rafah,” katanya.

Odeh mengatakan bahwa begitu laporan tentang bentrokan di Rafah muncul di Israel, suasana di sana berubah “hampir seketika”.

Hamas Bantah Klaim AS

Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri AS mengklaim pihaknya memiliki “laporan kredibel” yang menunjukkan bahwa Hamas akan segera melanggar perjanjian gencatan senjata dengan Israel – klaim yang dibantah Hamas.

“Serangan terencana terhadap warga sipil Palestina ini merupakan pelanggaran langsung dan berat terhadap perjanjian gencatan senjata dan merusak kemajuan signifikan yang dicapai melalui upaya mediasi,” kata departemen tersebut dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu.

Hamas menepis tuduhan AS tersebut dan menilainya ” sejalan dengan propaganda Israel yang menyesatkan dan memberikan kedok untuk melanjutkan kejahatan pendudukan dan agresi terorganisir” terhadap warga Palestina di Gaza.

Hamas menuduh Israel mendukung geng-geng bersenjata yang beroperasi di wilayah yang dikuasai Israel, dan mendesak Washington untuk menekan Israel agar berhenti mendukung geng-geng tersebut dan “memberi mereka tempat berlindung yang aman”.

Secara terpisah, delegasi Hamas yang dipimpin oleh petinggi Khalil al-Hayya tiba di ibu kota Mesir, Kairo, pada Minggu malam, “untuk menindaklanjuti implementasi perjanjian gencatan senjata dengan para mediator, faksi-faksi Palestina, dan pasukan”, kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan.

Trump Tuding Iran

Presiden AS Donald Trump mengatakan pada hari Minggu bahwa tidak ada “jadwal pasti” untuk perlucutan senjata Hamas.

Dalam wawancara dengan Fox Business Channel di AS dia juga mengatakan bahwa mencapai kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Gaza hanya mungkin “setelah penyingkiran Iran dari proses ini dan penghilangan kemampuan nuklirnya.”

Dia menjelaskan bahwa pemerintahannya memantau perkembangan di Jalur Gaza dengan saksama.

Ketika ditanya apakah ada jadwal pasti untuk melucuti senjata Hamas, Trump menjawab: “Tidak ada jadwal pasti, tidak ada jalur yang pasti, tapi kita lihat saja nanti.” (aljazeera/anatolia/raialyoum)

Pasukan Yaman Tangkap 20 Staf PBB

Otoritas Yaman kubu Ansarullah menahan sekira 20 staf Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah menggerebek fasilitas PBB lainnya di Sanaa, ibu kota Yaman, dan PBB telah mengonfirmasi hal ini.

Jean Alam, juru bicara koordinator tetap PBB di Yaman, mengatakan para staf itu  ditahan di dalam komplek di distrik Hada, Sanaa, pada hari Minggu (19/10).

Mereka yang ditahan antara lain sedikitnya lima staf Yaman dan 15 personel internasional. 11 staf PBB lainnya diinterogasi sebentar dan kemudian dibebaskan.

Alam mengatakan PBB sedang melakukan kontak langsung dengan Ansarullah dan berbagai pihak terkait lainnya “untuk menyelesaikan situasi serius ini secepat mungkin, mengakhiri penahanan semua personel, dan memulihkan kendali penuh atas fasilitasnya di Sanaa”.

Seorang pejabat PBB lainnya, yang berbicara kepada AP dengan syarat anonim, mengatakan pasukan Ansarullah menyita semua peralatan komunikasi di dalam fasilitas tersebut, termasuk komputer, telepon, dan server.

Para staf tersebut dilaporkan berasal dari beberapa badan PBB, di antaranya Program Pangan Dunia (WFP), badan anak-anak UNICEF, dan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).

Insiden ini menyusul tindakan tegas berkelanjutan oleh pasukan Yaman terhadap PBB dan organisasi bantuan internasional lainnya yang beroperasi di wilayah kendali mereka, termasuk Sanaa, kota pelabuhan Laut Merah Hodeidah, dan provinsi Saada di utara.

Menurut data PBB, lebih dari 50 anggota staf kini ditahan.

Mata-Mata Israel

Ansarullah telah berulang kali menuduh staf dan karyawan PBB yang ditahan dari LSM dan kedutaan asing melakukan spionase untuk kepentingan AS dan Israel. Tuduhan ini dibantah PBB.

Menanggapi penahanan sebelumnya, PBB menangguhkan operasi di Saada awal tahun ini dan memindahkan koordinator kemanusiaan utamanya di Yaman dari Sanaa ke Aden, pusat pemerintahan yang diakui secara internasional.

Dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu (18/10), juru bicara Sekjen PBB Stephane Dujarric memperingatkan: “Kami akan terus menyerukan diakhirinya penahanan sewenang-wenang terhadap 53 rekan kami.”

Pemimpin Ansarullah, Sayyid Abdul Malik al-Houthi, dalam pidatonya menyatakan pihaknya telah membongkar “salah satu sel mata-mata paling berbahaya”, dengan tuduhan “terkait dengan organisasi kemanusiaan seperti Program Pangan Dunia dan UNICEF”.  Menanggapi pidato ini, Dujarric mengatakan tuduhan itu “berbahaya dan tidak dapat diterima”.

Penggerebekan hari Sabtu terjadi di tengah eskalasi tajam dalam penahanan. Sejak 31 Agustus 2025 saja, setidaknya 21 personel PBB telah ditangkap, bersama dengan 23 karyawan dan mantan karyawan LSM internasional, kata PBB. (aljazeera)