[Jurnal] Irak dan Kebijakan Luar Negeri AS di Timur Tengah (2)

[Baca Bagian Pertama]

us-army-withdrewal-iraqKonsekuensi Melibatkan Iran dan Suriah

Keengganan AS untuk bernegosiasi dengan Iran dan Suriah bisa dimengerti. Kedua negara tersebut bisa menggunakan pengaruhnya atas pemberontak dan milisi untuk berhenti menggunakan cara-cara kekerasan dan menggiring menuju solusi politik, bisa mengamankan perbatasan, meningkatkan legitimasi dari inisiatif politik yang lebih luas. Namun konsekuensi bagi AS juga tidak bisa diabaikan. Jika AS harus melibatkan dua negara ‘jahat’ ini dalam pembicaraan diplomatik tentang Irak, maka hal ini bukan saja tersirat sebagai ‘penerimaan’ terhadap kedua negara, tetapi juga melegitimasi taktik antagonis yang digunakan oleh Iran dan Suriah di kawasan dalam hubungan mereka dengan AS. Efeknya, bukan hanya melemahkan soft power AS di kawasan tersebut, tetapi juga di masa depan, kedua negara akan sulit untuk dibujuk ataupun diajak berkompromi. Yang paling signifikan dari keprihatinan ini adalah program nuklir Iran. AS meyakini meskipun mendapatkan penolakan terus-menerus, Iran sebenarnya mencari segala cara untuk mengembangkan senjata nuklir. Sanksi baru-baru ini diberlakukan oleh Dewan Keamanan PBB dalam Resolusi 1737 pada tanggal 23 Desember 2006 adalah bukti nyata. AS telah menyatakan bahwa pihaknya hanya akan berunding dengan Iran jika Iran setuju untuk segera menghentikan semua pengayaan uranium. Iran, yang program nuklirnya telah menjadi kebanggaan nasional, menolak untuk melakukan hal ini.

Bagi AS, jika harus berkompromi sekarang, maka hal ini akan membuat berbagai resolusi dari DK PBB untuk Irak dan kebijakan luar negerinya akan menjadi tidak efektif. Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice telah mengklaim bahwa mengakomodasi Iran akan menelan harga yang terlalu tinggi dalam upaya stabilitasi dan perdamaian di Irak (Kessler dan Wright 2006).

Untuk melihat pentingnya pergeseran dalam kebijakan luar negeri AS, perlu bagi kita untuk memahami konteks di mana kebijakan dikembangkan. Sistem unipolar setelah Perang Dingin telah memberikan kesempatan unik bagi AS untuk beroperasi yang relatif bebas dari kendala. Kurangnya adaptasi dan pembatasan pada tindakan yang disarankan neokonservatif bahwa ‘even if thechances of another assault on world peace is remote, what is at stake is too great to permit complacency or neglect of America’s responsibility as the world’s dominant power’ (Wolfowitz 2000: 37). Ada dua asumsi yang menarik
di sini, terkait sikap para neokonservatif terhadap kebijakan luar negeri AS. Yang pertama adalah keyakinan bahwa hegemoni Amerika tentu berarti bahwa AS memiliki tanggung jawab khusus di dunia; yang kedua adalah bahwa dominasi Amerika terkait langsung dengan melestarikan dan mempromosikan perdamaian dan stabilitas di dunia.

Di semua sisi dari perdebatan tentang perang di Irak, baik kalangan konservatif dan liberal sama saja, memiliki keyakinan yang tersirat bahwa Amerika memiliki misi untuk memimpin dunia. Dalam konferensi pers di Gedung Putih, Bush menyatakan bahwa perannya sebagai presiden adalah untuk ‘memimpin bangsa ini ke dalam membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik (Bush 2004). ‘Perang melawan teror’ dan perang di Irak juga telah digambarkan sebagai manifestasi dari ‘misi suci’ Bush (Jervis 2003: 83). Tentang misi ini, tujuannya di sini adalah tidak hanya sebagai perlindungan kepentingan Amerika, tetapi juga pelestarian dan proyeksi nilai-nilai tertentu.

Tersirat dalam garis pemikiran ini adalah keyakinan bahwa hegemoni Amerika di dalam sistem internasional adalah tujuan itu sendiri. Ide ini mengarah ke asumsi kedua; bahwa ada hubungan langsung antara perdamaian, stabilitas global dan dominasi kekuasaan AS. Keyakinan bahwa Amerika bisa menjadi hegemon jinak didasarkan pada sentralitas nilai dalam kebijakan luar negerinya.

Namun, neokonservatif tidak mampu untuk memahami mengapa negara-negara lain tidak selalu percaya niat baik ini. Fakta bahwa AS telah menyatakan akan tujuannya atas nama ‘niat baik’, dilakukan melalui kebijakan yang fokus pada ketegasan tindakan pencegahan dan unilateralisme lebih besar. AS mempu melakukan perubahan rezim dengan sangat cepat di Afghanistan dan Irak tampaknya mendukung fakta militer Amerika sangat mendominasi. Namun, tugas-tugas yang sulit saat ini dihadapi militer AS di Irak, jumlah korban meningkat drastis, dan tumbuh oposisi yang menyatakan perang kepada AS, dan tentu saja semua ini menimbulkan pertanyaan yang serius tentang ketergantungan yang berlebihan AS pada persepsi militer, dan inilah yang menggerogoti kekuatan AS. Dan bukankah itu artinya, kita harus menyoroti pembuat kebijakan di dalam pemerintahan Bush yang secara konsisten telah mengabaikan komponen fundamental dari kekuatan AS, yaitu legitimasi. Perdebatan tentang legitimasi sangat penting, bahkan neokonservatif sendiri mengakui bahwa legitimasi adalah ‘a fundamentally dangerous place’. Keberlanjutan misi neokonservatif untuk ‘create a balance of power that favours human freedom’ membutuhkan niat baik dan kerjasama antara negara-negara di arena internasional (Kaplan dan Kristol 2003: ix).

Banyak pihak dalam pemerintahan Bush yang akan setuju bahwa legitimasi dari tindakan yang diambil negara adalah sesuatu yang penting, namun mereka umumnya setuju tentang darimanakah legitimasi itu berasal, apakah dari konsesus internasional melalui PBB, ataukah dari warga negara sendiri. Kebanyakan neokonservatif berpendapat bahwa legitimsi rakyat AS diwakili olejh orang-orang di Kongres. Argumen ini menunjukkan bahwa mencari persetujuan PBB untuk mendapatkan ‘kesan’ legitimasi hanyalah berfungsi untuk membatasi kekuatan AS karena harus membuat persetujuan dengan negara-negara lain. Seperti itu yang argumen sesuai dengan perspektif realis dalam menekankan bahwa lembaga seperti PBB hanya merupakan common denominator terendah kepentingan dalam sistem global.

Dalam perdebatan banyak kaum liberal yang percaya bahwa mendapatkan konsensus internasional melalui PBB untuk tindakan tertentu untuk memperkuat tatanan hukum internasional adalah hal yang sangat penting. Sejak 11 September kesenjangan antara retorika dan tindakan AS telah menciptakan ketegangan yang cukup besar dalam hubungan antara AS dengan dan banyak negara, yang secara tradisional dianggap sebagai sekutu. Jantung keretakan ini adalah kekuatan dengan legitimasi, terutama legitimasi internasional.

Kesimpulan

Pemerintahan Bush telah melakukan manuver yang berujung dilema. Irak adalah contoh bencana dari kebijakan luar negeri AS. Semua pilihan yang tersedia bagi AS dalam menghadapi situasi yang membahayakan, telah menempatkan AS ke dalam posisi yang jauh lebih lemah jika dibandingkan dengan sebelum invansi pada Maret 2003. Tanggapan pemerintah terhadap situasi ini menunjukkan keputus-asaan untuk mengubah strategi saat ini. Usulan untuk mengirimkan lebih dari 20.000 tentara ke Irak untuk membantu mengamankan wilayah mungkin hanya akan mampu menciptakan keamanan dalam jangka pendek.

Namun, tanpa komitmen terhadap rekomendasi lainnya, dan kurangnya rencana solusi politik, maka hal ini hanyalah semacam penangguhan atas bencana yang lebih besar kelak. Oleh karena itu, semakin sulit mewujudkan perdamaian dan keamanan, tanpa melibatkan tetangga Irak yaitu Iran dan Suriah. Meskipun biaya berpotensi negatif untuk AS, namun konsekuensi atas kegagalan atas kebijakan AS di Irak akan menyebar ke seluruh kawasan, dan ini tidak bisa diabaikan. Kepemimpinan sejati menuntut refleksi dan fleksibilitas. Jika tidak ada perubahan radikal dalam prioritas kebijakan pemerintah AS saat ini, maka kemungkinan hanya akan membawa Irak ke dalam perang yang lebih lama dan lebih besar, dan negara-negara tetangga akan turut ditarik ke dalam konflik. Akibatnya, keamanan AS akan menjadi lebih rapuh, kepentingan material dan ideologi AS juga mungkin akan terancam.

[1] Benjamin MacQueen is an Australian Research Council postdoctoral fellow in the School of
Political and Social Inquiry, Monash University.Bben.macqueen@arts.monash.edu.au
Kumuda Simpson is a doctoral candidate, School of Political and Social Inquiry, Monash
University.Bksim2@student.monash.edu.au

References:
Balz, Dan, 2006. ‘Sen. Clinton urges UN sanctions against Iran’,Washington Post, 20 December.
Bush, George W., 2002. ‘The National Security Strategy of the United States of America’, 17
September,Bwww.whitehouse.gov/nsc/nss.html.
*/*/ 2004, ‘President addresses the nation in prime time press conference’, 13 April,Bwww.
whitehouse.gov/news/releases/2004/04/20040413-20.html.
*/*/ 2007. ‘President’s address to the nation’, 10 January,Bwww.whitehouse.gov/news/releases/
2007/01/20070110-7.html.
*/*/ and Tony Blair, 2006. ‘President Bush meets with British Prime Minister Tony Blair’, 7
December,Bwww.whitehouse.gov/news/releases/2006/12/20061207-1.html.
ISG Report, 2006. December, Bwww.usip.org/isg/iraq_study_group_report/report/1206/iraq_
study_group_report.pdf.
Jervis, Robert, 2003. ‘The compulsive empire’,Foreign Policy, 137(July/August): 82/7.
Kaplan, Laurence F. and William Kristol, 2003.The war over Iraq: Saddam’s tyranny and
America’s mission(San Francisco: Encounter Books).
Kessler, Glenn and Robin Wright, 2006, ‘Rice rejects overture to Iran and Syria’,Washington
Post, 15 December.
Kissinger, Henry, 2002.Does America need a foreign policy?(New York: Touchstone).
Mendell, David, 2004. ‘Obama would consider missile strikes on Iran’,Chicago Tribune,25
September.
Morgenthau, Hans J., 1993.Power among nations: The struggle for power and peace(New York:
McGraw-Hill).
Project for the New American Century, 1997. ‘Statement of principles’, 3 June,Bwww.newameri
cancentury.org/statementofprinciples.htm.
Wilson, Woodrow, 1918. ‘President Woodrow Wilson’s fourteen points’, speech delivered in Joint
Session to Congress, Washington, DC, 8 January,Bwww.lib.byu.edu/rdh/wwi/1918/14points.html.
Wolfowitz, Paul, 2000. ‘Remembering the future’,The National Interest, 59(Spring): 35/45.