[Jurnal] Irak dan Kebijakan Luar Negeri AS di Timur Tengah

Artikel ini adalah intisari dari jurnal Australian Journal of International Affairs yang berjudul Iraq and the limitations of American foreign policy in the Middle East, yang dipublikasikan secara online pad 22 Mei 2007 di tautan ini http://dx.doi.org/10.1080/10357710701358329. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini

as flagIrak dan Kebijakan Luar Negeri AS di Timur Tengah

Benjamin MacQueen & Kumuda Simpson [1]

Iraq Study Group (ISG) pada tahun 2006 merilis laporan, yang mengidentifikasi masalah utama di Irak dan tantangan yang dihadapi Amerika Serikat (AS) untuk mencegah semakin memburuknya situasi keamanan. Laporan ISG menyoroti buruknya situasi Irak, mulai dari perang saudara, kekerasan yang meluas, korupsi, kejahatan merajalela, lembaga pemerintahan yang lemah dan tidak adanya ketersediaan barang dan jasa pokok.

ISG diketuai oleh mantan sekretaris negara AS James A. Baker III dan mantan anggota Kongres dari Partai Demokrat Lee H. Hamilton. ISG membuat serangkaian rekomendasi kepada pemerintah AS, dengan alasan bahwa mereka perlu untuk mengejar pendekatan ‘internal’ dan pendekatan ‘eksternal’ (ISG Report 2006: 59).

Pendekatan internal meliputi bekerjasama dengan pemerintah Irak saat ini untuk mencapai tonggak penting menuju, dan mendorong rekonsiliasi nasional, membangun keamanan dan meningkatkan tata kelola pemerintahan (ISG Report 2006: 59). Penekanan di sini adalah pada kemampuan pemerintahan baru Irak untuk menangani perpecahan dan kekerasan di negaranya. Dalam hal ini, ada sedikit perbedaan antara laporan ISG dengan pandangan pemerintahan George W. Bush.

Pendekatan ‘eksternal’ lebih kontroversial dan memicu perdebatan. ISG berpendapat bahwa perlu bagi AS untuk melibatkan semua tetangga Irak, termasuk Iran dan Suriah, dalam ‘support structure’ untuk menstabilkan Irak (ISG Report2006: 43). Reaksi Bush untuk poin ini adalah mengakui butuhnya bekerja lebih erat dengan beberapa negara, seperti Arab Saudi dan Mesir. Namun, tetap menolak keterlibatan diplomatik dengan Iran dan Suriah, karena dua negara itu telah secara rutin ditandai sebagai negara ‘jahat’. Inilah kegagalan dari pemerintahan Bush untuk mengakui realitas situasi di Irak dan kompleksitas yang terlibat dalam memecahkan krisis ini. Hal ini juga menyoroti masalah yang jauh lebih besar terhadap kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah, yaitu ketidaktahuan dari sifat konflik dan ketegangan di wilayah tersebut.

Timur Tengah menjadi fokus pemerintahan Bush dalam kebijakan ‘mengkampanyekan demokrasi’. Yang turut menjadi pertimbangan adalah bahwa perang Irak akan memicu sebuah gelombang transformasi demokratis di seluruh wilayah. Namun, alih-alih timbulnya ‘democratisation domino effect’ yang diantisipasi, otoritarianisme malah menjadi lebih mengakar, ideologi radikal telah mendapatkan legitimasi yang lebih besar, dan suara-suara anti-Amerika telah meningkat. Masalahnya terletak bukan pada kampanye demokrasi, melainkan pada metode unilateralisme dan militerisme yang telah digunakan oleh pemerintahan Bush yang didasarkan pada penyederhanaan persepsi wilayah. Seharusnya, pemerintahan Bush menunjukkan sensitivitas politik yang lebih besar, mengakui kepentingan pihak-pihak lain yang terlibat, sabar mendorong dan mendukung reformasi politik. Mendekati Iran dan Suriah mengenai krisis Irak akan berdampak pada pergeseran positif.

Melibatkan Iran dan Suriah

Argumen untuk melibatkan Iran dan Suriah adalah hal yang persuasif. Ada harga mahal yang harus dibayar karena kekerasan di Irak yang berlarut-larut, bukan saja oleh AS, tetapi juga oleh Iran dan Suriah. Kekerasan di Irak rentan menyebar hingga ke perbatasan, yang tentu akan membahayakan bagi internal Iran dan Suriah. Adanya pasukan asing di Irak, dan adanya ketegangan antara Turki, Arab Saudi, Iran, Suriah dan negara-negara lainnya di kawasan, maka konflik Irak bisa menyeret konflik yang lebih luas di Timur Tengah.

Turki secara konsisten menyuarakan keprihatinan atas prospek kemerdekaan Kurdi di wilayah utara Irak, dan hal ini bisa mengancam stabilitas internal Turki yang terus harus mengalami ketegangan dengan etnis Kurdi. Iran memiliki hubungan dekat dengan mayoritas Syiah di Irak, dan diduga memberikan dukungan instrumental untuk partai-partai politik dan milisi Syiah. Suriah juga diduga membantu dan mendukung pemberontakan. Namun posisi kedua negara yang diisolasi oleh masyarakat internasional telah membuat Teheran dan Damaskus berada dalam posisi lemah.

Eskalasi kekerasan di Irak berasal dari ketidakstabilan dan kegagalan negara serta permusuhan Sunni-Syiah. Menurut ISG, AS tidak dapat mencegah hal ini sendirian. Sebaliknya, perlu untuk meminta dukungan dari semua pemain regional ‘dengan bunga’ dalam menstabilkan Irak (ISG Report2006: 9). Tidak hanya masyarakat internasional dan negara-negara regional yang harus diajak bekerjasama dengan AS, tetapi yang paling penting, kerjasama itu harus mencakup dukungan Iran dan Suriah sendiri. Jika bekerjasama dengan Iran dan Suriah, maka akan sangat membantu dalam mewujudkan proses legitimasi politik, bahkan dalam skala yang lebih besar yaitu bantuan keamanan (misalnya mengamankan perbatasan dengan Irak), dan bantuan ekonomi. Tidak ada strategi alternatif bagi AS dan koalisinya jika ingin mengamankan Irak dalam jangka panjang dan mencegah meluasnya konflik. Seluruh dukungan dari pihak luar adalah penting. Namun dukungan dari Iran dan Suriah-lah yang paling penting.

Ironisnya, Iran, Suriah dan Amerika Serikat memiliki kepentingan yang tumpang tindih dalam hal ini. Pemerintah Suriah telah menyuarakan keprihatinan atas membludaknya pengungsi Irak di dalam negerinya, mengklaim bahwa hal itu menyebabkan masalah sosial dan ekonomi yang signifikan. Jika situasi terus memburuk, arus pengungsi hanya cenderung meningkat. Selain itu dikhawatirkan bahwa ketegangan antara Sunni dan Syiah akan menyebar ke seluruh wilayah. Untuk Iran, satu-satunya negara yang maoritas penduduknya adalah Syiah, hal ini dapat menyebabkan peningkatan
ketegangan dengan mayoritas negara-negara Sunni lainnya seperti Arab Saudi.
Namun untuk membujuk Iran dan Suriah untuk membantu bukanlah tugas yang mudah. Sejak tahun 2001, retorika yang dikampanyekan dalam kebijakan ASdi wilayah tersebut adalah promosi demokrasi dan perubahan rezim yang memungkinkan intervensi militer. Selain itu, Iran terus menjadi target retorika antagonistik dari AS. Karena itu, sulit untuk melihat apakah Iran akan bersedia membantu AS untuk memecahkan masalah yang pelik ini. Diperlukan langkah diplomatik yang lihai dan pengakuan kepentingan masing-masing negara , juga pengakuan bahwa semua pihak butuh kompromi pada beberapa masalah. Sayangnya, tampaknya hal ini tidak mungkin terjadi sekarang.

Ada dua saran kunci yang disarankan oleh ISG. Pertama, AS menawarkan berbagai hal untuk Iran, yang meliputi pengakuan terhadap hak Iran untuk mengayakan nuklir dengan tujuan damai (dengan beberapa catatan penting), jaminan bahwa AS tidak akan berupaya untuk mendestabilisasi rezim di Iran dan Suriah, dan membentuk kerangka regional baru yang berdasarkan keamanan kolektif dan bebas campur tangan pihak luar terkait masalah dalam negeri. (ISG Report 2006: 24). Kedua, ISG juga menyerukan untuk ‘new diplomatic offensive’, ISG yang akan menyiapkan berbagai perwakilan dari AS, PBB, dan semua negara yang berbatasan dengan Irak, juga negara lainnya yang memiliki kepentingan atas masa depan Irak (ISG Report 2006: 34). Kelompok ini akan bertindak sebagai forum untuk masing-masing pihak yang terlibat dan tertarik pada situasi di Irak untuk menyatakan opini, dan melalui debat inklusif, mungkin akan menemukan semacam kompromi berdasarkan konsensus.

Namun Washington dengan tegas menolak melibatkan Iran dan Suriah dalam konflik Irak (Bush dan Blair 2006). Pemerintahan Bush telah menandai Iran sebagai bagian dari ‘Axis of Evil’, dan keengganan Iran untuk bernegosiasi dengan AS tentu tidak mengejutkan. Dengan konsistentensi pada nilai-nilai, retorika ideologi politik sebagai pembenaran untuk perang dan melakukan pendudukan Irak, Presiden Bush telah menjadikan sangat mustahil untuk melibatkan Iran dan Suriah tanpa merusak persepsi fundamental dan legitimasi moral AS atas tindakannya di kawasan. Hilary Clinton telah secara konsisten menyerukan opsi garis keras untuk melawan Irak, juga menyatakan bahwa semua pilihan harus tetap di atas meja dalam melawan program nuklir Iran (Balz 2006). Pemerintah AS di masa depan sebaiknya berhati-hati dan menghindari melakukan kesalahan seperti yang dilakukan oleh Bush di Irak. Dengan demikian, mereka harus menemukan cara untuk memikat Iran dan Suriah dalam perundingan.

Nilai-nilai versus Kepentingan AS di Irak.

Perlunya melibatkan Iran dan Suriah adalah poin utama yang dilaporkan oleh ISG. Bagi AS, untuk membendung kekerasan Irak menyebar ke wilayah yang lain maka sangat diperlukan untuk bertindak fleksibel dan menarik dukungan dari non-elit, tokoh oposisi, suara-suara moderasi dan dialog di Timur Tengah. Namun sayangnya, hal ini terhalang oleh batasan-batasan pendekatan kebijakan di Timur Tengah. Di bawah pemerintahan saat ini, keutamaan nilai-nilai AS dilambangkan dengan metode intervensi militer unilateral yang semakin menggerogoti kemampuan AS untuk mengejar kepentingan strategis, dan inilah yang merupakan dilema utama AS. Anarkisme dan kekacauan di Irak bukan saja disebabkan oleh eksekusi yang buruk, tetapi juga tetapi juga karena kebijakan yang keliru.

Dalam mempromosikan demokrasi di Timur Tengah, unilateralisme Washington dan ketergantungan pada solusi militer telah menggerogoti legitimasi AS menyerukan reformasi politik di wilayah tersebut. Isu kebijakan luar negeri yang didorong pada nilai-nilai telah dilakukan oleh para akademisi dan pembuat kebijakan selama bertahun-tahun. Hans Morgenthau mengidentifikasi: the problem of letting moral principles drive foreign policy when he said ‘there can be no political morality without prudence; that is, without consideration of the political consequences of seemingly moral action’ (Morgenthau 1993: 12). Pendekatan universalis untuk moralitas, nilai-nilai dan bahkan perbaikan kondisi hidup manusia sifatnya sangat subyektif. Untuk membuat suatu lompatan dari pengalaman subjektif menuju persepsi kepentingan nasional sebagai legitimasi untuk melakukan pembenaran uniersal jelas sesuatu yang sangat bermasalah. Namun, justru pendekatan inilah yang dijadikan sebagai pijakan kebijakan AS di Timur Tengah.

Nilai-nilai Amerika dan kepentingan strategis dianggap sebagai sebuah sinonim. Dimulai dengan berdirinya bangsa pada prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan, banyak Presiden AS termasuk Franklin D. Roosevelt, Woodrow Wilson, Harry S. Truman dan John F. Kennedy memiliki berbagai cara berusaha
mendefinisikan kepentingan Amerika memiliki keterkaitan erat dengan nilai-nilai. Nilai-nilai yang paling sering diartikulasikan adalah ‘kebebasan’. Wilson mengartikulasikan nilai ‘kebebasan untuk semua’ dalam pidato ‘fourteen points’ yang terkenal di hadapan Kongres pada tahun1918 ketika ia menyatakan bahwa setiap prospek perdamaian di masa depan antara bangsa-bangsa harus berdiri pada ‘prinsip keadilan bagi seluruh manusia dan bangsa, dan hak untuk hidup, menikmati kebebasan dan keamanan antara satu dengan lainnya, tidak peduli mereka kuat atau lemah ‘(Wilson 1918).

Truman menyebut bahwa nilai-nilai dan kepentingan AS terkait satu sama lain, dan ia menegaskan bahwa AS telah menjelma menjadi salah satu kekuatan yang paling besar di muka bumi untuk menjalankan nilai kebaikan, dan karenanya, AS harus tetap memimpin dunia untuk perdamaian dan kemakmuran (Kaplan dan Kristol 2003: 65). Presiden Kennedy menggemakan sentimen ini dan memperkuat persepsi misi AS dalam melindungi prinsip ini. Ia berjanji bahwa orang-orang AS bersedia ‘membayar harga’ dalam bentuk apapun, bersedia menanggung beban, menjalani kesulitan, demi mendukung sahabat dan melawan musuh, demi menjamim keberlangsungan hidup dalam kebebasan (Kaplan dan Kristol 2003: 65). Sejarah panjang presiden AS, baik dari Partai Republik maupun Demokrat, membuktikan fakta bahwa keutamaan nilai-nilai dan moralitas AS merupakan karakteristik mendasar dari kebijakan luar negeri.

Menafsirkan nilai-nilai Amerika dalam kebijakan luar negeri tidak lepas dari peranan neokonservatif. Mereka mempertahankan asumsi bahwa misi AS untuk campur tangan dalam urusan luar negeri bukan saja ketika kepentingannya terancam, tetapi ketika nilai-nilanya terancam. Tak cukup sampai di situ, mereka juga berpendapat bahwa intervensi adalah sesuatu yang dibenarkan untuk mempromosikan nilai-nilai itu. Hasil dari kebijakan ini adalah bahwa ideologi yang dianut oleh aktor tertentu pun bisa dianggap sebagai ancaman AS.

[Lanjut ke bagian dua]