[Jurnal] Assad: Rezim Suriah dan Strategic Worldview (4)

Artikel ini adalah intisari dari jurnal di Comparative Strategy yang berjudul Bashar’s Syria: The Regime and its Strategic Worldview, yang dipublikasikan secara online pada 23 Februari 2007 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/01495930601105412. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

[Baca bagian ketiga]
Bashar Al Assad menanam pohonBashar Sebagai Seorang “Pembaharu”

Sebuah pertanyaan besar yang sering timbul berkaitan dengan Bashar Al Assad adalah komitmennya untuk melakukan reformasi, atau setidaknya, melakukan suatu perubahan bagi sistem politik Suriah. Persepsi umum muncul ketika Bashar naik sebagai Presiden Suriah adalah harapan untuk memulai proses liberaliasi politik dan ekonomi. Tidak ada konsesus di antara pengamat mengenai komitmen Bashar Al Assad terkait reformasi politik. Beberapa orang menjelaskan bahwa Bashar adalah seorang ‘restrained reformer’ yang interaksinya dengan dunia Barat telah meyakinkannya bahwa hanya reformasi politik dan ekonomi yang bisa menjamin keberlangsungan hidup rezimnya. Menurut pandangan ini, ia benar-benar sadar bahwa gambaran Suriah di Barat, kebutuhan untuk melakukan integrasi ke dalam ekonomi dan budaya global – ia menyadari sepenuhnya bahwa hal ini tidak dapat dilakukan tanpa adanya liberalisasi.

Sekembalinya dari London dan setelah seleksi sebagai pewaris, ia gencar melakukan kampanye anti korupsi. Bashar telah dididik ala Inggris, dan pendidikannya di dunia medis dinilai sebagai jalan untuk membuka kecenderungan kepada Barat. Bahkan pernikahannya dengan seorang wanita yang seirama dengan pandangan Barat tentang politik, hak-hak perempuan, dan isu-isu lainnya secara luas ditafsirkan sebagai indikasi kecenderungan reformis. Berbagai pernyataannya yang telah dibuat sendiri, misalnya dalam pidato pelantikannya, Bashar mengemukakan tentang pemikiran demokratis dan toleransi terhadap perbedaan politik, maka ada harapan bahwa ia akan mempromosikan reformasi politik dan liberalisasi. Apalagi, ia juga telah membebaskan tahanan politik yang dipenjara bertahun-tahun tanpa adanya proses hukum yang memadai.

Selain tetap gencar menyuarakan pemberantasan terhadap korupsi, Bashar juga melakukan peremajaan di sektor militer adan keamanan. Ia juga melakukan perubahan di struktur kepartaian dan langkah-langkah lainnya untuk menjamin kepuasan birokrasi.

Sejak Bashar mengambil alih kekuasaan, mayoritas (lebih dari enam puluh persen) dari pejabat rezim, partai, dan pemerintah daerah, juga Parlemen, digantikan oleh orang-orang yang berusia muda. Pejabat di usia enam puluh diharuskan pensiun dan diganti dengan yang lebih muda. Hal ini bertolak belakang dengan masa Hafez yang selama tiga dekade bersifat stagnan. Perubahan ini sangat terasa di internal Partai Ba’th, yang mayoritas pemegang posisi di struktural kepartaian adalah wajah-wajah baru.

Tidak seperti ayahnya, yang melihat ekonomi sebagai ‘sekunder’ untuk tujuan politik nasional, Bashar kebalikannya. Ia meyakini ‘economo-sentris’. Ia mengakui perlunya prioritas untuk modernisasi ekonomi Suriah dan menyadari bahwa untuk melakukannya maka Bashar harus mendapatkan goodwill dari Barat. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa Bashar mewarisi agenda modernisasi dan antikorupsi dari kakaknya, Basil.

Bashar juga secara resmi mendukung proses demokrasi di Suriah dan secara berkala menyebutkan pemilu pada tahun 2007 sebagai kunci untuk proses selanjutnya. Bashar meningkatkan ekspektasi baik di Suriah maupun komunitas internasional untuk berlangungnya revolusi putih atas demokrasi dan liberalisasi di negara tersebut.

Namun ada indikasi bahwa konsep Bashar tentang demokrasi Suriah tidak memiliki elemen penting dari paradigma demokrasi ala Barat. Demokrasi Suriah menurut Bashar, adalah demokrasi yang harus berdiri atas budaya, kepribadian dan sejarah Suriah. Di mata Bashar, kebebasan dan demokrasi hanyalah alat untuk mencapai stabilitas, sedangkan tujuan utamanya adalah kemajuan dan pertumbuhan. Baginya, Suriah masih terlalu rapuh untuk menerima demokrasi instan, dan membuka pintu lebar-lebar bagi kebebasan berbicara sama saja dengan mengizinkan konflik antar komunal dan kekacauan. Karena kesatuan dan kohesi dari rakyat dan stabilitas bangsa adalah hal yang paling mulia dari nilai-nilai dan tujuan nasional, maka pihak oposisi sering dikenakan tuduhan sebagai pelayan kepentingan asing. Dukungan Barat kepada komunitas di masyarakat misalnya, dianggap sebagai upaya untuk menggantikan adat Suriah (yang diatur oleh pemerintah, badan amal dan lembaga suku-suku) dengan konsep asing. Kasus Aljazair sejak awal 1990 dan perang sipil di Lebanon dan Irak setelah jatuhnya rezim Ba’th sering dikutip untuk membuktikan kebodohan demokkratisasi yang tidak terkontrol. Dalam banyak pertemuan dengan perwakilan Barat, Bashar mengisyaratkan bahwa butuh waktu 3-5 tahun untuk mempersiapkan Suriah untuk berdemokrasi, dan karena itu ia meminta agar Barat menjauh, tidak menekan, dan membiarkan proses demokrasi berjalan seirama dengan kemampuan sosial dan ekonomi Suriah.

Para pengamat mengemukakan berbagai versi tentang kepemimpinan Bashar, yang secara garis besar adalah sebagai berikut: (1) Bashar percaya bahwa ia bisa membuka pintu reformasi yang lebih besar, namun ia tidak mengharapkan adanya tuntutan untuk kebebasan penuh. Bashar telah memahami bahwa ekspresi politik adalah sarana untuk ‘melepaskan uap’, tetapi bukan sebagai bentuk partisipasi rakyat di dalam pemerintahan. (2) Tindakan keras mencerminkan keyakinan utama Bashar yang mengarah bahwa masyarakat sipil tidak sesuai dengan kepentingan vital rezim dan kelangsungan hidupnya. (3) Revitalisasi partai dalam tahap ini juga sepadan dengan pernyataan Bashar sendiri bahwa keinginan masyarakat untuk berpartisipasi, dapat dipuaskan dengan penyesuaian struktur politik Partai Ba’th dan PNF. (4) Upaya menciptakan kemiripan proses hukum dalam penangkapan dan dakwaan kepada oposisi, merupakan pergeseran dari otoritarianisme terbuka dan sewenang-wenang manjadi otoritarianisme yang dilembagakan. (5) Slogan-slogan dari periode Bashar di Suriah adalah ‘perubahan dalam kerangka kontinuitas’ dan ‘reformasi dan pembangunan’ – ini adalah indikasi bahwa slogan inilah yang menjadi prioritas di Suriah.

Salah satu argumen yang mendukung penggambaran Bashar sebagai seorang yang reformis adalah fakta bahwa ia dianggap sebagai seorang technophile, bahkan sebelum ia diangkat sebagai presiden. Bashar disebut-sebut sebagai anggota dari ‘generasi internet’ yang muncul dari pemimpin dunia Arab. Ia mengemukakan gagasan sebagai pemimpin model baru. Pendidikan yang dienyamnya di Barat dan kesukaannya kepada teknologi komputer menciptakan kesan abhwa ia akan mempromosikan modernisasi di Suriah di semua tingkatan politik, teknologi, dan ekonomi. Namun, meskipun Bashar seorang technopile, namun tidak berarti ia mendukung budaya bebas dan anarkis yang diwakili oleh revolusi internet. Teknologi tampaknya adalah pedang bermata dua bagi Bashar. Ia menganggap bahwa teknologi sangat dibutuhkan oleh Suriah untuk mengembangkan diri dan menang di dunia modern. Namun di saat yang sama, Bashar menyebutkan,

“…a huge influx of information and ideas made possible by the communications and IT revolution . . . has made room for theories and projects, as well as lifestyles which have overwhelmed Arabs and threatened their existence and cultural identity, and has increased the doubts and scepticism in the mind of young Arabs. The forces behind these events have created an illusory virtual reality . . . which drives us in a direction identified by others. . . . This leads in the end to the cultural, political and moral collapse of the Arab individual and his ultimate defeat even without a fight.”

Bagi Bashar, selain memberikan manfaat, teknologi juga merupakan ancaman yang nyata terhadap budaya dan identitas, serta meningkatkan skeptisme dalam pikiran para pemuda Arab – yang pada akhirnya akan menyebabkan keruntuhan budaya, politik, moral, dan individu.

[Lanjut ke bagian lima]