[Jurnal] Assad: Rezim Suriah dan Strategic Worldview (3)

Artikel ini adalah intisari dari jurnal di Comparative Strategy yang berjudul Bashar’s Syria: The Regime and its Strategic Worldview, yang dipublikasikan secara online pada 23 Februari 2007 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/01495930601105412. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

[Baca Bagian Kedua]Bashar al assadSuriah di Bawah Kepemimpinan Bashar Al Assad

Enam tahun setelah kematiannya, warisan Hafez Al Assad masih jelas dalam struktur kerja rezim yang ia dirikan. Unsur-unsur rezim Assad seperti ‘penjaga tua’, perwira militer, birokrat partai, check and balance, berbagai layanan keamanan, peran masyarakat Alawite, dan keterlibatan dari elit-elit Sunni. Di bawah rezim Bashar, anaknya, rezim juga mengambil peranan penting dalam menentukan kebijakan.

Bashar naik sebagai Presiden Suriah setelah kematian ayahnya pada bulan Juni 2000 pada usia 35 tahun. Saudaranya, Basil, yang lebih disukai sebagai pengganti ayahnya, tewas dalam kecelakaan mobil.

Meskipun memiliki citra sebagai seorang individu yang muda dan kebarat-baratan, namun pemikiran Assad yang ‘kebaratan’ tidaklah dalam. Ia mulai masuk sekolah Suriah pada awal-awal berkuasanya rezim Ba’th. Ia banyak mendapatkan pengetahuan tentang sejarah, hubungan internasional, dan politik, yang menunjukkan dua dimensi yang terdiri atas orang-orang Arab yang berani dan mulia, dan konspirasi kekuasaan kolonial dan Yahudi.

Sebelum kematian saudaranya, Basil, Bashar tidak terlalu dikenal oleh masyarakat Suriah. Fakta bahwa ia tidak mendapatkan pelatihan militer sebelum melakukan studi kedokteran (profesi yang merupakan cita-cita ayahnya namun ditinggalkan bagi karir militer), juga menunjukkan bahwa ia tidak dipersiapkan atau tidak diharapkan, dan hanya memainkan peran kecil di dalam dunia politik (berbeda dengan monarki seperti Yordania, yang semua putra dan putri dari keluarga kerajaan yang dipersiapkan untuk berkecimpung di dunia politik). Para pengamat mencatat bahwa Bashar adalah pilihan kedua dan ia sendiri tidak terlalu dekat dengan ayahnya. Ia tidak menyebut ‘ayah saya’ bagi Hafez, melainkan menyebut sebagai ‘Presiden Suriah Hafez Al Assad’, bahkan dalam pernyataan yang bersifat pribadi.

Sebelum resmi menjadi Presiden Suriah, satu-satunya posisi resmi yang ditempati Bashar adalah Ketua Syrian Computer Society. Namun, ia mulai dipropagandakan sebagai sosok yang sederhana, introvert, intelektual, sopan, pecinta teknologi dan ilmiah di bawah pengawasan ayahnya. Bashar dibuatkan sebutan yang puitis sebagai ‘Lion Club’ yang mengacu pada namanya sendiri yang berarti singa. Tentu saja, kiasan yang bernafaskan Islam juga turut mewarnai keberadaan Bashar. Dalam sebuah artikel dari Al Thawara, ketika memuji Presiden Hafez, mereka melukiskannya dengan ‘You remain forever and Bashar, the Hope, is your replacement (khalifah)’ – Bashar adalah sebuah harapan.

Penobatan Bashar sebagai presiden tentu tak ubahnya dengan suksesi kerajaan. Sehari sebelum kematian ayahnya, ia tidak memiliki jabatan baik di dalam partai maupun di struktur pemerintahan. Untuk mengesahkan suksesi Bashar, maka konstitusi pun diubah. Awalnya ada klausul nomor 83 yang mengatur bahwa usia minimun untuk menjadi presiden adalah 40 tahun. Sementara saat suksesi, Bashar baru berusia 34 tahun.

Media Suriah menggambarkan bahwa naiknya Bashar adalah wujud dari kontinuitas yang diberikan oleh Hafez pada rakyat Suriah. Ia disebut sebagai pemimpin yang tegas, memiliki status yang kuat di kancah internasional, kuat dan tegas, tidak ragu-ragu bertindak untuk melawan korupsi, mewarsi kepribadian dan kebijaksanaan politik ayahnya, dan memiliki semangat modernitas.

Kurangnya pengalaman politik Bashar praktis membuat kita sulit untuk memberikan gambaran yang komprehensif tentang modus operandi politik dan hal ini masih menjadi teka-teki untuk para analis politik. Kegiatan utama Bashar sejak ia ditunjuk sebagai pewaris adalah berada di panggung politik Lebanon, ia bertanggung jawab melakukan kontak dengan faksi di Lebanon. Namun sulit untuk menilai gaya politiknya sendiri dalam periode itu, dan ia masih berada dalam pengawasan ‘penjaga tua’ yaitu Ghazi Kana’an, Abdul Al Halim Khadam, Rustum Ghazali, yang memiliki pengalaman yang sangat luas di Lebanon. Dalam kasus apapun, keputusan terakhir dibuat oleh Hafez. Salah satu contoh kasus yang menarik, yang ditangani oleh Bashar adalah ketika ia bertindak keras pada pamannya, Rifaat Al Assad, di Latakia, pada bulan Oktober 1999. Pendukung Rifaat juga ditangkap dan hal ini dianggap sebagai salah satu tindakan yang kejam, dan merupakan pesan yang dikirimkan Bashar bahwa ia memiliki kemampuan dan bisa bertindak keras jika memang diperlukan.

Bashar tidak pernah terlibat langsung alam perang, pelatihan militer terbatas ataupun kursus fiktif sekalipun (kursus kilat sebagai komandan ). Kurangnya pengalaman pribadi tidak hanya terbatas untuk mengarahkan operasi militer, tetapi juga sejauh mana keengganannya untuk bertindak. Jika ayahnya dianggap sebagai ‘masternya’ dalam menyerempet bahaya, Bashar berbeda. Para analis menyebut Bashar sebagai sosok yang hati-hati. Sejak kematian Basil pada tahun 1994, ia tidak diberikan pemahaman yang nyata terkait masalah militer dan strategi, dan cenderung bergantung pada lingkaran penasihat. Jika Hafez membuat keputusan berdasarkan pertimbangannya sendiri, Bashar sebaliknya, sangat tergantung terhadap saran-saran yang diberikan padanya.

Gambaran ‘Dr. Bashar’ yang digunakannya dalam kancah internasional, sangat bertolak belakang dengan gambaran ‘Mr. President’ yang digunakannya ketika ia mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Lebanon, Rafiq Al Hariri. Menurut narasumber, dalam pertemuan tersebut Bashar ‘meledak’, bersikap seperti layaknya seorang jaksa di pengadilan. Ia melemparkan tuduhan demi tuduhan kepada Hariri, misalnya menuduh sebagai pelayan Israel dan menyabotase kepentingan Suriah. Ia juga mengancam secara langsung. Bashar juga mengancam Jumblat. Bashar berkata bahwa benar, Jumblat mengenggam Druze di Lebanon, namun kaum Druze di Suriah berada di dalam genggamannya, dan ia siap melakukan apapun untuk memuluskan jalannya di Lebanon.

Salah satu aspek yang mengejutkan dari sikap Bashar adalah kekagumannya— yang tanpa malu-malu kepada Sekjen Hizbullah, Hassan Nasrallah. Tanda-tanda lahiriah dari sikapnya ini adalah kesediaan Bashar untuk mengundang Nasrallah ke istana presiden, bahkan ia mengizinkan Nasrallah untuk tampil dalam acara khusus di Latakiya. Keterbukaan terhadap pemimpin faksi di Lebanon menyimpang secara fundamental dari kebijakan Hafez Al Assad. Tentu ada penjelasan otoritatif mengenai alasan Bashar menarik pemimpin Syiah, beberapa pengamat mencatat bahwa hal ini dikaitkan dengan kebutuhan psikologis terhadap sosok karismatik dan berwibawa yang bisa dijadikan panutan sepeninggal ayahnya. Ada juga yang berpendapat bahwa Bashar minim kepemimpinan, sehingga ia mengagumi orang lain yang dianggap memiliki kepemimpinan yang tidak dimiliki olehnya. Kaguman dan sanjungan kepada Nasrallah semakin meningkat sejak perang Israel-Lebanon pada bulan Juli-Agustus 2006. Pidato dan retorika yang dikemukakan Bashar menunjukkan bahwa telah tumbuh aliansi yang kuat antara Bashar, Hizbullah dan Iran.

[Lanjut ke bagian empat]