[Jurnal] Assad: Rezim Suriah dan Strategic Worldview (11)

Artikel ini adalah intisari dari jurnal di Comparative Strategy yang berjudul Bashar’s Syria: The Regime and its Strategic Worldview, yang dipublikasikan secara online pada 23 Februari 2007 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/01495930601105412. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

[Baca Bagian 10 ]

Suriah- IsraelSuriah dan Kebijakan Terhadap Israel

Pendudukan Dataran Tinggi Golan adalah alasan resmi Suriah untuk memusuhi Israel. Namun pada kenyataannya, permusuhan Suriah jauh lebih dalam daripada hal itu. Israel digambarkan sebagai entitas asing yang jahat, licik, agresif, yang ditanamkan di jantung Arab untuk mengambil seluruh kawasan dari sungai Eufrat hingga sungai Nil. Suriah juga mengkampanyekan anti-Semit melalui penerbitan buku-buku seperti The Protocols of the Elders of Zion.

Namun demikian, Suriah telah membuat kemajuan ke arah penerimaan semacam perjanjian perdamaian dengan Israel pada 1990-an dan hingga kematian Hafez. Menjelang akhir 1990 Hafez menyatakan bahwa opsi perdamaian Suriah adalah ‘pilihan yang strategis’, meskipun juru bicara lainnya menyatakan bahwa rezim Suriah nampaknya tidak begitu saja meninggalkan opsi militer. Sehingga sulit untuk menilai apakah Hafez benar-benar bersedia dengan ide perdamaian total (dalam hubungan diplomatik dan normalisasi dengan Israel).

Setelah kepemimpinan diwariskan kepada Bashar, beberpa pejabat Israel menilai bahwa Bashar akan lebih ‘menerima’ perdamaian dengan Israel, dibandingkan dengan ayahnya. Asumsi ini berdasarkan atas latar belakang pendidikan Bashar yang dididik di Barat, dan tentunya akan berinisiatif untuk melakukan demokrasi, atau setidaknya liberalisasi. Jika Bashar berhasil membangun semacam kesepahaman dengan AS, maka ia akan lebih fleksibel untuk melakukan perdamaian dengan Israel. Namun asumsi ini ternyata keliru, karena dalam beberapa kesempatan, retorika Bashar terhadap Israel ternyata dipengaruhi kuat oleh ayahnya, seperti:

  1. Mengkampanyekan anti-Semit dengan dalam pernyataan adanya demonisasi Islam dan Kristen di dalam Yahudi.
  2. Tidak menerima Israel sebagai ‘entitas yang nyata’. Pernyataan ini berkaitan dengan propaganda Arab sejak tahun 1970-an, yang memberikan Israel gelar “Crusader Kingdom” dari orang-orang yang telah tercerabut– yang apabila diberikan kesempatan, maka mereka kembali kepada daerah asalnya.
  3. Pernyataan yang menyatakan bahwa meskipun perdamaian bisa disepakati dengan Israel, namun dunia Arab tidak boleh mengakui Israel sebagai bagian dari kawasan, dan harus tetap dipandang sebagai ancaman.
  4. Pernyataan yang menunjukkan prioritas rendah untuk berdamai dengan Israel. Suriah, menurut Bashar, hanya mau “an honourable peace” atau perdamaian yang terhormat, dan ia bersedia menunggu hingga waktunya tiba. Perdamaian harus dicapai dengan posisi yang kuat, dan kekuatan disini yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk menghantam Israel, baik dengan kapabilitas militer ataupun solidaritas Arab. Hingga niatnya ini bisa terwujud, maka perdamaian sebelumnya dianggap hanya sebagai “peace of the weak” — perdamaian yang dikarenakan posisi yang lemah.
  5. Kurangnya prioritas untuk berdamai dengan Israel juga terlihat dalam jajak pendapat yang diterbitkan di Damaskus. Rakyat Suriah sebagian besar setuju bahwa perdamaian dengan Israel tidak akan menghasilkan solusi untuk masalah perekonomian di Suriah, dan bahkan bisa saja malah semakin memperkeruh. Hasil ini bisa ditafsirkan bahwa perdamaian dengan Israel bukanlah solusi yang diperlukan utnuk memecahkan masalah-masalah di Suriah.

Sulit untuk membedakan antara retorika (yang memainkan peran sentral dalam mobilisasi nasional Suriah) dengan status daerah (yang berfungsi menyangga status nasionalis rezim), dan dengan penilaian strategis yang berdasarkan analisis yang mumpuni. Namun retorika Suriah adalah cerminan sejati tentang apa yang dirasakan oleh Suriah, karenanya, tak heran jika ada mesin propaganda Suriah yang bekerja, menyatakan adanya ancaman agresi Israel. Namun faktanya, justru status siaga militer Suriah jauh berkurang dalam beberapa tahun terakhir, dan tidak ada banyak ketegangan yang terjadi di perbatasan kedua negara.

Dalam menyikapi prospek perdamaian dengan Israel, rezim Suriah terdiri atas beberapa ‘lapisan’, yaitu:

  1. Lapisan ideologis; yang termasuk di dalamnya orang-orang dengan ideologi pan-Arabisme yang menolak eksistansi Israel. Lapisan ini tidak hanya menentukan sikap terhadap israel, tetapi juga terhadap kepemimpinan di Palestina. Ideologi Ba’th menganggap masalah Palestina adalah ‘masalah Arab’, yang harus disesuaikan dengan konsesus Arab. Prinsip ideologi ini telah dimoderatori oleh Hafez.
  2. Lapisan ‘bilateral Syrian–Israeli’; yang menganggap bahwa penting bagi Suriah untuk menjaga saluran komunikasi dengan Israel untuk mencegah terjadinya konfrontasi militer. Lapisan pragmatis ini aktif, misalnya dengan mengirimkan pesan kepada pihak yang bisa diterima oleh Suriah –Israel, seperti Raja Hussein dari Yordania dan diplomat AS.
  3. Lapisan kepentingan nasional; mereka meyakini bahwa setiap kebijakan harus mengutamakan kepentingan nasional Suriah di atas segala-galanya.
  4. Lapisan regional: mempertahankan konflik dengan Israel dianggap akan mengokohkan status Suriah. Konflik dengan Israel adalah elemen kunci dalam dalam kepemiminan regional Hafez. Bagi orang-orang Suriah dan kebanyakan orang Arab lainnya, ia tidak memiliki kapitulasi sebagaimana yang dilakukan Sadat, Hussein dan Arafat. Tak hern jika ada sindiran yang sering terdengar di Lebanon yaitu “Asad fi lubnan—Arnab fil-Joulan (A lion (Assad) i Lebanon—yang artinya, di Lebanon Assad layaknya seekor singa, namun di Golan, ia tidak lebih dari seekor kelinci.
  5. Lapisan domestik; konflik yang berjalan antara Israel oleh rezim kemudian dimanfaatkan untuk memberlakukan ‘emerhency law’ atau hukum darurat, juga melakukan tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia.

Ada quote yang beredar luas bahwa ‘tidak akan ada peperangan Israel-Arab tanpa melibatkan Mesir, dan tidak akan ada perdamaian yang abadi tanpa melibatkan Suriah. Asumsi ini retak manakala Israel dan Mesir menyepakati perdamaian damai. Selain itu, Suriah tidak akan menimbulkan ancaman yang berarti bagi Israel. Meski begitu, Suriah berupaya untuk menghalangi perdamaian demi stabilitas yang komprhensif yang dibangun oleh Israel dan negara-negara Arab seperti Yordania, Palestina dan Lebanon. Kemampuan Suriah sebagai penghalang perdamaian bisa dilihat saat Damaskus menganggalkan perjanjian dama Israel-Lebanon pada tahun 1983, dan memodifikasi ‘rencana perdamaian Saudi’ menjadi ‘rencana perdamaian Arab’. Suriah juga menghalangi beberapa proposal perdamaian Israel-Yordania.

Asumsi ‘tiada perdamaian antara Israel-Arab tanpa Suriah’ akhirnya kembali menemui tantangan menyusul disepakatinya Perjanjian Oslo. Menyusul kemudian perjanjian damai Israel-Yordania, dan pengembangan hubungan antara Israel dengan negara-negara Arab lainnya. Kematian Yasser Arafat (2004) merupakan prospek untuk memperbaharui proses negosiasi antara Israel-Palestina. Pengaruh Suriah dalam perjanjian damai Palestina-Israel yang dirumuskan telah jauh berkurang. Awalnya, kehadiran Suriah dan kontrol total terhadap kebijakan luar negeri Lebanon memang menghambat upaya perdamaian, namun pada tahun 2005, Suriah kehilangan pengaruhnya.

Bashar sangat menyadari bahwa kesediaannya untuk kembali terlibat dalam proses perdamaian dengan Israel adalah kartu kuning yang paling menguntungkan. Menurut pejabat senior Israel dan Amerika yang terlibat dalam negosiasi Israel-Suriah sebelumnya, Bashar memang mau bekerja sama yang dimulai dari ‘titik pemberhentian sebelumnya’ yang berada dalam kerangka Konferensi Madrid dan Resolusi Dewan Keamanan PBB.

Topik perdebatan yang masih mewarnai adalah sejauh mana Bashar memiliki kemampuan untuk berkompromi. Seperti diketahui, ada masalah pada ‘perbatasan 1967’ versus ‘perbatasan internasional’ antara Suriah dengan Israel. Lalu, sejauh mana kedua negara bisa membangun hubungan yang normal? Bashar nampaknya tidak bisa fleksibel dalam menangani masalah, dan ia benar-benar mewarisi kebijakan ayahnya.