Perang Minyak: Upaya Penghancuran Rusia, Venezuela, dan Iran

Gazprom, perusahaan minyak Rusia

Gazprom, perusahaan minyak Rusia

“Venezuela adalah salah satu negara yang terpukul akibat jatuhnya harga minyak, dan ini memiliki keterkaitan dengan upaya Amerika Serikat untuk mengganti rezim di negara Amerika Latin itu. Saya pikir, kasus ini juga berlaku untuk Rusia dan beberapa negara-negara lainnya. Dan sepertinya, situasi tidak akan berubah selama AS tidak terkena dampak negatif. Faktor kemarahan Saudi dan sekutunya juga berpengaruh, karena mereka akhirnya memilih untuk meningkatkan produksi minyak, ataupun mengambil kebijakan lain yang bisa menekan harga minyak.” (Richard Wolff, ekonom)

Harga minyak mentah dunia jenis Brent telah menembus angka di bawah $50 per-barrel untuk pertama kalinya sejak tahun 2009. Tak dapat dipungkiri, jatuhnya harga ini telah menyulitkan negara-negara yang bergantung pada ekspor minyak, seperti Rusia, Venezuela, dan Iran. Sekilas, pihak yang paling diuntungkan dengan kondisi ini, tak lain dan tak bukan adalah Amerika Serikat.

Kendati demikian, Dean Henderson menyatakan, “Situasi ini tidak akan berlangsung lama. AS memiliki banyak cadangan minyak, dan untuk menambangnya, diperlukan dana yang besar. Jadi, bagaimana mungkin produksi akan berjalan lancar jika harga minyak jatuh?”

Senada dengan Henderson, pengamat energi Dr. Mahmoud Saleh juga menyebutkan bahwa produsen minyak di negara-negara Teluk maupun Arab adalah pecundang. Bagaimanapun, peristiwa ini terjadi untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir. Namun cepat atau lambat, minyak akan kembali ke harga semula yaitu berkisar 100-110 USD per-barrel.

Negara-negara yang saat ini terpukul akibat jatuhnya harga minyak, seperti Rusia, Iran dan Venezuela, dikenal sebagai negara-negara musuh Amerika Serikat. Ketiganya, nyaris tidak pernah berada dalam posisi yang sama dalam menentukan kebijakan. Perang besar telah terjadi.

Membidik Rusia

Harga semakin mengalami penurunan secara drastis pada akhir 2014, ketika produksi minyak Arab Saudi semakin membanjiri pasar. Ada dua argumen dalam menyikapi peristiwa ini, yang pertama, menyebut bahwa fenomena ini merupakan murni kepentingan bisnis. Dan yang kedua, peristiwa langka ini disebut sebagai permainan geopolitik.

Dari persepektif geopolitik, para analis menilai bahwa kebijakan Arab Saudi dan produsen besar lainnya, tak lain adalah guna menekan Iran atas isu nuklir, ataupun keterlibatannya dalam konflik yang terjadi di Suriah. Begitu pula halnya dengan Rusia. Dengan kata lain, semua ini adalah permainan petro-politik, dan pasar juga tidak bisa bergerak bebas dalam menentukan harga minyak standar. Benar, ini adalah sebuah strategi yang dirancang AS dalam melancarkan perang ekonomi.

Bagaimana respon Rusia?

Bagaimanapun, Rusia telah mengalami banyak kerugian. Namun pada konferensi pers di Milan, 17 Oktober 2014, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa rendahnya harga minyak juga akan merugikan perusahaan-perusahaan AS. Menurut Putin, harga minyak yang murah akan mengurangi profit dari produksi minyak minyak mentah. Bukankah saat ini, AS mengoperasikan banyak perusaahaan penambang minyak di seluruh dunia?

Putin juga menyatakan bahwa untuk menutupi biaya produksi, seperti melakukan pengeboran dan proses lainnya hingga akhir, paling tidak minyak harus dijual seharga 80 USD per-barrel. Sehingga, jatuhnya harga minyak juga merupakan pukulan telak bagi AS.

Jika kita melihat jauh ke belakang, Arab Saudi selaku penghasil minyak terbesar di dunia, pernah memainkan harga minyak untuk menggapai tujuannya dalam kancah internasional. Pada tahun 1973, Presiden Mesir Anwar Sadar meyakinkan Raja Saudi, King Faisal untuk menurunkan produksi dan menaikkan harga minyak, untuk menghukum AS yang telah membantu Israel dalam perang Arab-Israel. Rencana ini berhasil.

Hal serupa kembali terjadi pada tahun 1986. Arab Saudi yang memimpin OPEC saat itu, mengizinkan untuk menurunkan harga minyak. Lalu terulang kembali pada tahun 1990. Saat itu, harga minyak yang awalnya 25 USD per barrel, turun hingga mencapai 12 USD per barrel. Uni Sovyet gagal membayar hutang dan hancur.

Saudi dan negara-negara OPEC lainnya telah menggunakan harga minyak sebagai tujuan jangka panjang. Ketika mereka menekan produksi, maka harga minyak pun melambung. Puncaknya pada tahun 2008, harga minyak mencapai 147 USD per barrel.

“Apa alasan bagi Amerika Serikat dan beberapa sekutu AS yang ingin menurunkan harga minyak?” Tanya Presiden Venezuela, Nicolas Maduro.

Dan jawabannya: untuk menyakiti Rusia!

Membidik Iran

Banyak yang percaya jatuhnya harga minyak adalah hasil dari rencana dari pihak Amerika Serikat dan Arab Saudi untuk menghukum Rusia dan Iran atas dukungannya terhadap Presiden Bashar al-Assad di Suriah. Pertemuan yang terjadi antara Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Raja Abdullah di istananya, menurut Wall Street Journal, telah mengukuhkan kesepakatan yang saling menguntungkan. Arab Saudi dan AS bersepakat untuk menumpas ISIS melalui serangan udara di Suriah. Dan AS juga memastikan, Assad akan ditumbangkan.

Mengingat adanya persaingan yang sengit antara Iran dan Arab Saudi dalam konflik Suriah, maka argumen ini terdengar masuk akal. Arab Saudi akhirnya memperoleh kesempatan untuk memukul Iran, yang dengan nuklirnya, dianggap sebagai saingat terberat di kawasan regional.

Iran juga diketahui merupakan pendukung utama kelompok perlawanan Hamas dan Hizbullah, menyediakan supplai dana dan senjata, yang dikirimkan melalui Suriah. Hingga Reuters menyebutkan, bahwa perang proxy Arab Saudi vs Iran telah terjadi di seluruh kawasan Timur Tengah.

“Kedua belah pihak berkeinginan untuk menang atas semua konflik. Ketika Hizbullah telah memenangkan Lebanon, maka Arab Saudi berusaha untuk menguasai Lebanon di sisi lain,” jelas Reuters.

Arab Saudi mengetahui Iran bergantung pada harga minyak. Para analis menyatakan, dengan harga minyak 60 USD per-berrel saja, maka Arab Saudi telah berhasil menekan Iran. Diduga, jatuhnya harga minyak akan turut berpengaruh terhadap perundingan nuklir Iran. Presiden Iran Hassan Rouhani pun menyatakan bahwa permainan harga minyak merupakan sebuah konspirasi terhadap kepentingan wilayah, dan kepentingan kaum Muslimin.

*Ditulis oleh Putu Heri, peneliti ICMES, pernah dimuat di liputanislam.com