[Jurnal] Walid Jumblat dan Aliansi Politik: Politik Adaptasi

Artikel ini adalah intisari dari jurnal Middle East Critique, yang berjudul Walid Jumblat and Political Alliances: The Politics of Adaptation yang dipublikasikan secara online pada 18 Februari 2011 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/19436149.2011.544535. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

jumblatWalid Jumblat dan Aliansi Politik: Politik Adaptasi

Marwan G. Rowayheb

Walid Jumblat adalah politikus kontemporer Lebanon, dan ia memiliki peran yang sangat berpengaruh di Lebanon lebih dari tiga dekade. Jumblat yang berasal dari komunitas minoritas, Druze, maka tidak mungkin baginya untuk mencapai tujuan jika hanya dengan mengandalkan dukungan dan kekuatan dari komunitasnya. Sejak Jumblat mewarisi kepemimpinan Druze pada tahun 1977, ia menghadapi berbagai rintangan, ancaman, dan beban, yang rentan akan melemahkan basis dukungannya di Lebanon, dan dalam beberapa kasus, bisa jadi hal itu akan mengancam karir politiknya.

Artikel ini akan mengemukakan argumen tentang bagaimana Jumblat menghadapi tantangan dan ancaman dengan terus menerus melakukan ‘pergantian sekutu’, baik di ranah lokal maupun pada tingkatan internasional. Ia bersekutu dengan kelompok Sunni, Syiah, Kristen, dan dengan berbagai aktor luar negeri.

Latar Belakang

Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh Jumlat adalah lahir sebagai seorang Druze. Sebagaimana layaknya semua Druze di Lebanon, ia menghadapi keterbatasan yang diakibatkan oleh sistem sekterian yang mengakar, termasuk di dalam sistem politik. Sekte Druze merupakan salah satu sekte yang paling kokoh di Lebanon selama berabad-abad. Namun pada abad ke-19, Druze di Lebanon melemah, dan menyandang status minorotas, kehilangan supremasinya dalam demografi, politik, dan ekonomi, digantikan oleh kelompok Manorit Lebanon.

Kekuatan dan dominasi Druze melemah sejak Lebanon mengalami perluasan wilayah pada tahun 1920 yang diskenariokan oleh Perancis. Perluasan wilayah ini menghasilkan komposisi sekterian, dengan 3 kekuatan sekte terbesar yaitu Sunni, Syiah, dan Orthodoks Yunani. Sistem politik yang diadopsi untuk Lebanon (yang kemudian menjadi konstitusi Lebanon), telah memecah Lebanon menjadi sekte-sekte yang berbasis agama, dan kemudian membagi-bagi ‘jatah kekuasaan’ antara sekte satu dengn sekte lainnya. Jatah kekuasaan dibagi berdasarkan atas jumlah populasi tiap sekte. Atas aturan ini, tentu saja yang memiliki posisi paling kiat di Lebanon adalah Manorit, Sunni, dan Syiah. Sedangkan Druze yang hanya menempati peringkat kelima dalam jumlah populasi pada tahun 1932.

Perang sipil Lebanon (1974-1990) juga tantangan lain yang dihadapi Jumblat. Selama 15 tahun perang, Lebanon menjadi medan perang bagi sesama rakyat Lebanon, begitu pula dengan kekuatan luar. Masih-masing sekte berusaha mendominasi kekuasaan dengan menggunakan kekerasan. Jumblat yang memimpin Druze, tidak hanya harus mampu mengokohkan milisi Druze yang dimilikinya, tetapi juga harus terlibat konfrontasi dengan milisi dari sekte lain yang lebih kuat. Pasca perang Lebanon, juga masih tidak membebaskan Jumblat dari tantangan dan ancaman. Kebijakan Suriah untuk mengontrol penuh Lebanon, adalah tantangan selanjutnya, yang bukan saja dihadapi olehnya, tetapi juga oleh seluruh rakyat Lebanon. Menghadapi tantangan ini, Jumblat pun melakukan langkah pragmatis, bukan berdasarkan ideologi.

Aliansi Dengan Suriah: 1977-2000

Sejak Jumblat menggantikan ayahnya pada tahun 1977, ia diekspektasi akan menempati salah satu pemimpin utama di komunitas Druze, yaitu Progressive Socialist Party (PSP), dan Lebanese National Movement Al Jabha al Wataniya al Lubnaniya (LNM). Jumblat menghadapi tantangan yang berpotensial akan menamatkan karir politiknya sejak dini. The Arslans (klan Arslans), sebagaimana klan Jumblat, merupakan salah satu keuarga yang berpengaruh dan tercatat telah bersaing dengan Jumblats selama berabad-abad dalam perebutan kepemimpinan di komunitas Druze.

Terbunuhnya Kamal Jumblat meningkatkan peluang klan Arslans untuk memimpin, apalagi, mereka memiliki hubungan yang sangat baik dengan rezim Suriah dan memiliki pengaruh yang sangat besar di kalangan Druze. Dilihat dari kehadiran militer, kemampuan merespon, juga geografi, Suriah merupakan aktor yang sangat kuat dan berpengaruh di Lebanon. Sejak tahun 1976, Suriah menempatkan kekuatan militernya di Lebanon dan menjadi pemain yang mendominasi.

Ketika ayahnya tewas, praktis Jumblat menggantikan posisi ayahnya sebagai Sekretaris Jenderal. Namun kematian ayahnya yang begitu mendadak, bisa saja akan mengakhiri selama bentuk hegemoni dan kekuatan klan Jumblat di partainya, jika ia gagal menanamkan otoritasnya kepada anggota partai. Untuk itu, Jumblat pun bekerja keras menata ulang struktur kepartaian yang membuka jalan baginya untuk mengontrol penuh anggota partai dan institusi.

Jumblat juga menggantikan ayahnya sebagai representasi dari PSP di dalam LNM. Menguasai posisi yang kuat di LNM akan memudahkan Jumblat untuk mengembangkan basis kekuatann dan pengaruhnya di kominitas Druze, sebagaimana yang dilakukan ayahnya.

Namun demikian, posisi Jumblat di Lebanon bergantung dari model hubungan seperti apa yang akan ia bangun dengan Suriah. Saat Jumblat mewarisi kepemimpinan dari ayahnya, keluarganya sendiri tengah berada dalam konflik yang sangat serius dengan rezim Suriah. Konflik ini dipicu oleh penolakan dari Kamal Jumblat terhadap permintaan dari Presiden Suriah Hafez Al Assad untuk menghentikan serangan militernya terhadap milisi Kristen yaitu Al Jabha al Lubnaniya (Lebanese Front). Menurut Gambill dan Nassif, selama pertemuan yang digelar antara Assad dan Kamal Jumblat pada 1977, Assad secara terbuka telah memperingatkan Kamal agar tidak menentang kebijakan Suriah di Lebanon. Namun Kamal menolak permintaan Assad, dan meneruskan serangannya. Beberapa minggu kemudian, Suriah melakukan intervensi militer untuk menghentikan serangan militer dari LNM, dan beberapa minggu setelahnya Jumblat terbunuh.

Meskipun Walid Jumblat mengetahui bahwa rezim Suriah ada di balik pembunuhan tersebut, seperti pernah ia ungkapkan tiga dekade setelahnya – namun ia menyadari bahwa Suriah memegang peranan yang sangat penting di Lebanon. Pada tahun 2009, ia berkata ‘I had no other choice but to rely on Syria and had decided to seek its help.’

Jumblat berkunjung ke Suriah pada 12 Oktober 1977, dan bertemu dengan Presiden Assad untuk mencari solusi atas konflik antara klan Jumblat dengan Suriah. Setelah kunjungan itu, hubungan antara Jumblat dan Suriah menunjukkan peningkatan yang substansial. Suriah membutuhkan Jumblat, karena sejak 1978, negara ini berusaha untuk mencari sekutu setelah merasa dikhianati oleh Presiden Mesir, Anwar Al Sadat, yang melakukan kesepakatan terpisah dengan Israel pada 1978 dalam Perjanjian David Camp. Amerika Serikat dan Israel memiliki konflik mendalam dengan Suriah dan Palestinian Liberation Organization (PLO), berkeinginan mengisolasi rezim Suriah dari perjanjian perdamaian di kawasan. Karena itu, Suriah memandang bahwa Lebanon sebagai arena yang akan dijadikan sebagai proksi oleh AS dan Israel untuk membuktikan kepada komunitas internasional bahwa tidak ada perdamaian yang akan bisa dihasilkan tanpa persetujuan keduanya.

Untuk melindungi posisi regionalnya, maka Suriah berkepentingan untuk dekat dengan LNM dan PLO. Jumblat sangat berhati-hati dalam merumuskan langkah politiknya selama minggu pertama kematian ayahnya. Awalnya, Jumblat tidak memberikan perhatian secara khusus terhadap Suriah. Pada konferensi pertamanya pada 6 April 1977, ia mendefinisikan priorotasnya sebagai berikut, “Our main priority now is to start our talks with our partners in the Lebanese National Movement and with our Arab friends. For that purpose, I had asked my political aids to start working on proposals to resolve our differences with our brothers in the LNM. Furthermore, I am now in the process to planning a number of visits to a number of Arab states including Syria, to work on improving our relationship with our Arab brothers.”

Setelah kunjungannya ke Suriah dan bertemu Presiden Assad, barulah Jumblat secara langsung merujuk Suriah dan perannya di Lebanon. Jumblat mengeluarkan pernyataan sebagai berikut, “We are now working to improve our relationship with Syria. My meeting with President Assad was very constructive and we have decided to establish an ad hoc committee to follow up on what we had agreed upon with President Assad. We are very serious to resolve all our differences with Syria and we have received the support of Assad and his encouragement.”

Selain melakukan aliansi dengan Assad, Jumblat bekerja keras untuk meningkatkan hubungannya dengan Partai Lebanese Arab Baath, sebuah partai di Lebanon yang pro- rezim Suriah.

Namun sekutu utama Jumblat di Lebanon adalah PLO. Organisasi ini merupakan pemain yang sangat kuat di lebanon, sebagaimana Suriah. Dan PLO tengah berusaha untuk melakukan kesepakatan sebagaimana Perjanjian David Camp. Jumblat berhasil meningkatkan hubungan antara LNM dan PLO dalam waktu yang sangat singkat. Sampai tahun 1982, Jumblat benar-benar memelihara persekutuannya dengan PLO, dan preferensinya terlihat jelas. Ia mendukung perjuangan rakyat Palestina dalam melawan Israel dan mendukung operasi militer yang dilakukan dari teritorial Lebanon. Seperti yang ia sebutkan dalam pernyataannya, “Lebanon is part of the Arab nation and should be involved in the Palestinian cause and struggle. This struggle should encourage the Lebanese to identify with their Arab national identity rather than their Lebanese identity and behave socially, political and economically accordingly.”

Namun sejak tahun 1982 hingga 1990, Jumblat menghadapi tantangan dan ancaman baru yang mungkin akan merusak semua pencapaiannya. Sekutu utamanya, PLO, ditekan untuk evakuasi di Beirut di bahah pengawasan AS dan Peranis setelah pengeboman yang dilakukan Israel pada tahun 1982. Invansi Israel ke Lebanon selatan memaksa Liga Arab untuk kembali menyerukan Tentara Arab bergabung di dalam Arab Interim Force, yang dikukuhkan setelah invansi Israel di Lebanon selatan pada tahun 1978. Di saat yang sama, Israel menjalin hubungan yang dekat dengan Lebanese Force di awal tahun 1980-an, dan kondisi ini merupakan tantangan lain yang harus dihadapi Jumblat.

Masuknya Tentara Israel ke Lebanon pada tahun 1982, dan menduduki Lebanon selatan, pegunungan Lebanon (termasuk basis kuat Jumblat), sedangkan di Beirut, Lebanese Forces mengirim milisinya untuk menduduki kota dan desa yang sebelumnya dikontrol oleh milisi Jumblat. Amin Gemayel, yang dipilih sebagai presiden Republik Lebanon pada tahun 1982 setelah pembunuhan yang terjadi pada kakaknya, Bashir, merupakan masalah tak kalah pelik yang harus dihadapi Jumblat. Jumblat secara agresif menentang perintah Gemayel untuk membawa Jumblat ke dalam otoritas pemerintah Lebanon. Jumblat beroposisi terhadap kebijakan politik di dalam dan luar negeri Gemayel, dan menolak pemulihan hubungan Lebanon dengan AS.

Selain itu, munculnya milisi yang kuat setelah invansi Israel pada tahun 1982, seperti Harakat Amal dan Hezbollah, juga mengancam pengaruh Jumblat di kawasan Beirut Barat. Di wilayah ini, milisi Jumblat hadir sejak awal perang sipil dan mmeiliki pengaruh yang sangat kuat. Namun Amal dan Hezbollah, berhasil membangun hubungan yang sangat kuat dan dekat dengan Suriah. Untuk itu, pertama-tama Jumblat perlu untuk menguatkan dan menjaha basis kekuatannya di bagian selatan Pegunungan Lebanon dengan cara mengusir Lebanese Force dari wilayah.

Disintegrasi di LNM dan absennya berbagai faksi pada tahun 1980-an juga membuat Jumblat berada dalam posisi yang sulit. Namun Jumblat lagi-lagi berhasil memainkan peran dalam kelompok baru yaitu National Front, Jabhat al Khalas al Wataniya (NF), aliansi dari milisi, partai dan pemimpin yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Suriah.

[Bersambung ke Bagian Dua]