Refleksi Atas Buku “Salju di Aleppo”

tofanOleh: Tofan Rachmat Zaky*

Perang abad ini, membuka mata kita bahwa perang bukanlah perang yang jelas antara negara versus negara, namun perseteruan yang direkayasa adalah perang negara vs non-negara. Entitas non-negara ini bisa saja terbentuk secara organik (alami) ataupun secara desain, atau mungkin hibrida model keduanya. Geliat perlawanannya jelas bermuasal dari dalam negara itu sendiri, namun kelompok ini ibarat satelit yang dikontrol jarak jauh oleh negara asing. Semua atas dasar pertimbangan efisiensi serangan dan tujuan kemenangan total untuk segala aspek(hegemoni). Perang model ini dikenal sebagai Perang Proksi (Proxy War).

Hubungan Internasional menempatkan negara menjadi target utama pembahasannya di pergaulan internasional, tentu membahas banyak hal mengenai konflik dan perdamaian. Hubungan Suriah pula dengan negara-negara jirannya menempatkan dirinya sebagai aktor yang berperan cukup signifikan dalam menjaga “perdamaian” di kawasan. Mungkin sedikit pelik jika ditarik dalam sebuah kesimpulan bahwa ada hubungan perang proksi yang bersinggungan dengan pendekatan “perdamaian” ala Suriah. Namun dalam buku Salju di Aleppo (2017) ini bisa melihat uraian perimbangan data di media meliputi:
• kejahatan kemanusian,
• pelaku teror yang tidak jelas,
• kepentingan ekonomi-politik dari setiap entitas negara, perusahaan media raksasa serta
entitas berwujud agama,
• kecurigaan yang diterapkan melalui metode analisis wacana berkaitan pemberitaan palsu
dan rekayasa (fake news/hoax).

Kepelikan itu seakan ditawarkan melalui buku ini untuk dicurigai, bahwa agenda setting dari kelompok yang memiliki power besar terlihat jelas melalui narasi-narasi yang tercipta di Suriah. Dan di buku ini pintu kecurigaan kita buka melalui isu di Aleppo. Aleppo, dalam sebuah risalah yang simpulkan oleh Stephen Walt dan John Mearsheimer, cukup jelas posisi Suriah di mata Israel dan Amerika,

“Dimulai tahun 1990-an, dan khususnya setelah 9/11, dukungan AS kepada Israel telah dijustifikasi oleh klaim bahwa kedua negara diancam oleh kelompok-kelompok teroris yang berasal dari Arab atau Dunia Muslim dan oleh negara2 “kasar” yang mendukung kelompok teroris itu…. Ini juga berimplikasi bahwa AS harus menggulingkan rezim Republik Islam Iran, Saddam Husein di Irak, dan Bashar Assad di Syria. Israel dipandang sebagai sekutu penting dalam perang melawan teror karena musuh Isarel adalah musuh AS.”
(kutipan dari buku “The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy”; terjemahan disalin dari sini)  )

Analisis Walt dan Mearsheimer di buku “The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy” di tahun 2006 menyatakan perihal lobi-lobi Israel kepada setiap negara barat (beberapa Eropa dan Amerika). Dan analisis mereka mendapatkan tentangan cukup keras karena mereka digambarkan oleh para kritikus sebagai ilmuwan yang tidak menginginkan perang terhadap jihadisme, indikasi yang tidak menyetujui konflik timur-tengah dengan alasan apapun, termasuk alasan ‘kemanusian’. Serangan terhadap Walt dan Mearsheimer dinetralisir oleh seorang duta besar Amerika bernama Edward Peck yang mengatakan bahwa semakin banyaknya kritik terhadap mereka maka kemungkinan keberadaan ‘lobi-lobi Israel’ itu semakin terlihat nyata.

cover kecilBermaksud tidak keluar dari konteks pembahasan buku Salju di Aleppo, maka kita akan melihat sudut pandang lobi Israel dari konteks keterlibatan negara-negara aliansinya di konflik Suriah. Meneropong diskusi ini dengan mengangkat wacana melalui ‘kaca mata’ yang meliputi konsep survivalitas sebuah negara-bangsa dan pewacanaan media. Maka diharapkan pembacaan fenomena konflik tersebut akan dapat mengupas tuntas persoalan geo-politik dan geo-strategi, pemberitaan palsu atau hoax, serta kepentingan dan agenda besar yang sebenarnya bukan persoalan konflik agama tetapi persoalan konflik kepentingan “berbagi kue” ekonomi-politik di Timur Tengah.

Survivalitas sebuah Negara-Bangsa

Negara, dalam sudut pandang politik internasional menjadi sebuah entitas individu yang jika ditarik dalam sudut pandang survivalitas (teori realisme) merupakan aktor yang layak untuk mempertankan dirinya sendiri, ini disebabkan asumsi bahwa pergaulan internasional bersifat anarki (kejam). Israel, dalam hal ini memiliki posisi sebagai individu yang ‘sendirian’ di wilayah Timur Tengah. Keyakinannya untuk bertahan hidup lebih dari sekedar cita-cita apokaliptik.

Eksistensinya mendirikan sebuah bangsa-negara ditunjukkan dengan cara-cara defensif bahkan lebih cenderung ofensif. Ini merupakan sifat dasar individu negara-negara manapun yang terjepit. Survivalitas memiliki kecendrungan menghalalkan segala cara untuk bertahan. Apapun ancamannya dari luar maupun dalam, ia harus tetap bertahan. Bahkan kalau perlu mengendahkan aturan dan kecaman internasional serta lembaga resminya. Kenapa tidak? Ini adalah demi hasrat hidup bangsa-negaranya, demi eksistensinya. Untuk itulah Israel sanggup melakukan lobi-lobi kepada aliansinya untuk menyerang Suriah secara tidak langsung melalui perang proksi yang dibuat cukup apik dan bertahap (layering).

Lalu, bagaimana dengan Suriah? Dengan konsep serupa, keperluan setiap individu negara termasuklah Suria dalam menghadapi kelompok jihadis yang disinyalir terpaut dengan kekuatan luar, juga berusaha kuat untuk terus mempertahankan kesatuan negaranya, apapun alasannya. Dan berkaitan ancaman terhadapnya, Suriah telah melampaui satu tahap sebagai survivor yang harus dihancurkan demi kepentingan banyak negara, terutama Amerika, Israel, Turki, Inggris dan Perancis bahkan Arab Saudi yang jelas berselindung dalam perlindungan Amerika. Gempuran serangan terhadap Suriah bisa dikategorikan dalam beberapa aspek, yang kasar maupun halus dalam bentukannya, yaitu:

1. Kelompok-kelompok separatis yang berniat menggulingkan pemerintahan Bashar al Assad, bercita-cita mendirikan negara khilafah bersama Iraq (ISIS dan al-Qaeda) serta mengikuti cita-cita Israel dan Amerika untuk menjadikan Suriah terbagi kepada empat (4) negara bagian (Wikileaks). Disinyalir bahwa kelompok ini bukan berasal dari Suriah, namun milisi dan aktivis yang memiliki pengalaman di negaranya masing-masing serta terikat dalam afiliasi kelompok-kelompok radikal.
2. Serangan bersenjata oleh Amerika sendiri, seperti biasa dilakukan sebagai polisi dunia (dengan izin atau bahkan tanpa izin DK PBB) atas dasar ‘keamanan global’.
3. Kecaman barat atas hubungan erat Suriah dengan Rusia dan Iran.
4. Media-media raksasa yang sudah dikenal cukup baik dalam membentuk opini publik internasional. Berkolaborasi dengan “hoax” yang diciptakan oleh kelompok oposan tersebut. Paduan unik dan masif antara pemberitaan palsu yang cukup teratur diagendakan (skenario) ditambah “hoax” yang berupaya pendakatan sentuhan emosi memanggil hati masyarakat dunia untuk ikut serta dalam perjuangan para jihadis ini.
5. Dan yang terakhir, dan cukup halus pergerakannya adalah kelompok yang berlabel “kemanusian”, dimana peran dan latar belakang kelompok ini sangat erat dengan agenda media tersebut serta sejalan dengan cita-cita kelompok lobbyist Israel. Atas nama program “human intervention”, mereka yang dikirim dari Inggris, perancis dan Amerika mewujudkan diri sebagai “tangan malaikat penolong” namun dalam praktik agenda
besarnya tidak lebih baik dari kaki tangan negara imperialis. Selain bantuan kemanusian, kelompok ini juga berkolaborasi dengan skenario agenda perusahaan media yang telah di-set dalam produk beritanya, dan pemberitaan tak berimbang menjadi salah satu cara halusnya, selain dari menciptakan berita palsu (fake news) atas segala aktivitas intervensi kemanusian tersebut.

Dari kesimpulan semua itu, sudah sah bahwa Bashar al Assad serta Suriah sebagai negara yang berdaulat berhak menentukan caranya untuk mempertahankan integritas bangsa dan negara. Pemahaman ini menjadi “buram” jika kita tidak melihat konflik tersebut dari aspek yang lain, aspek yang berbeda dengan pemberitaan media mainstream. Kecaman kepada Suriah sebagai poros jahat yang berpaham sosialis, syiah dan otoriter, memuluskan narasi besar kelompok yang berkepentingan. Minyak, adalah salah satu faktornya. Namun agama yang diceritakan selama ini sebagai akar masalah dalam konflik tersebut maka bisa dibuat satu
alternatif kesimpulan bahwa diperlukan satu pandangan yang lebih jelas mengetengahkan agenda ekonomi-politik sebagai alasan utama dimana agama hanya dijadikan pemicu perang. Ini disebabkan isu konflik sunni-syiah tidak berlaku di Suriah yang merupakan negara dengan pembangunan dan keharmonisan kehidupan sosial yang cukup baik. Sunni di suriah menjadi entitas yang berperan secara kuantitas dan kualitas dalam kabinet dan parlemen (kurang lebih 50%). Ditambah tingkat Human Development Indeks (HDI) yang lebih baik dari Indonesia menjelaskan kestabilan negaranya ketika masa pra-konflik. Disinilah peran pemahaman berdasarkan empati kebangsaan dan kenegaraan begitu penting untuk melihat konteks persoalan negara, dalam rangka menjaga integritas bersama.

Apakah Indonesia juga berpotensi untuk di-Suriah-kan?
Mungkin jawaban persis seperti kemungkinan kecil untuk Indonesia di-balkanisasi.

*Alumnus Hubungan Internasional Unpad dan program magister Strategic and Defence Studies University of Malaya. Aktivis di Komunitas “Layar Kita”. Makalah ini ditulis sebagai bahan presentasi dalam bedah buku Salju di Aleppo yang ditulis oleh Direktur ICMES, Dina Y. Sulaeman.