Menilik Perubahan Lingkungan Strategis Global Pasca-Pandemi COVID-19

Sekjen OPEC, Mohammed barkindo

Sekjen OPEC, Mohammed Sanusi Barkindo

Oleh: Chairul Fajar*

Di tengah tabir pandemi COVID-19, akhir-akhir ini kita telah disuguhkan beragam rangkaian peristiwa global yang memicu pro-kontra, ketidakpastian dan meningkatnya potensi ancaman konflik. Ketegangan AS-China dan meningkatnya tren unilateralisme seakan dimaknai sebagai gambaran aktual bergesernya tatanan lingkungan strategis global menjauh dari semangat optimisme dan kerjasama berbasis rules and norms.

Kesepakatan pemangkasan produksi OPEC+ terakhir dinilai belum dapat menjamin komitmen para anggotanya. Melihat di tengah tantangan situasi sekarang, sangat dilematis bagi sebagian negara anggotanya mematuhi limitasi produksi ketika di saat yang sama mereka sangat perlu menopang pendapatannya. Pemotongan produksi berarti ‘melonggarkan’ infrastruktur migas dari kelebihan kapasitas di tengah keterbasan mobilitas distribusi akibat kebijakan karantina di berbagai negara dan kelesuan ekonomi global.

Meski upaya tersebut berhasil mengerek harga minyak, namun dikhawatirkan ketidakkompakan di dalam OPEC+ masih berpeluang melemahkan harga yang dapat memicu ancaman serius bagi negara-negara yang sangat mengandalkan pendapatannya dari minyak. Seperti pernah diperingatkan oleh Sekjen OPEC, Mohammed Sanusi Barkindo pada bulan April 2020, tidak ada ekonomi yang kebal dari dampak COVID-19 terhadap pasar minyak mentah global.

Venezuela-Iran-Rusia tentu sangat mewaspadai kondisi ini, mengingat posisi mereka saat ini tengah sangat membutuhkan pembiayaan dalam menangani pandemi COVID-19. Ketiganya juga harus menghadapi sanksi internasional pimpinan AS yang semakin membatasi akses finansial ke pasar global. Keterbatasan akibat sanksi itu dinilai akan semakin memperburuk situasi penanganan pandemi di ketiga negara tersebut.

Di lain pihak, kontestasi AS-China nampaknya masih belum menunjukkan tanda-tanda tercapainya kesepakatan baru. Kesepakatan terakhir keduanya dalam rangkaian fase cooling down dari perang dagang terancam tidak akan terealisasi akibat eskalasi tensi diplomatik AS-China dalam isu pandemi COVID-19 yang belum usai. [1] Bahkan eskalasi itu telah meluas ke isu lain, mulai dari demonstrasi di Hong Kong, pembatasan teknologi hingga pembangunan kekuatan militer di sekitar kawasan Laut China Selatan (LCS). [2]

Yang perlu digarisbawahi adalah pembangunan kekuatan militer dan pembatasan teknologi. Tidak dapat dipungkiri LCS tidak pernah absen sebagai arena kontestasi AS-China. Pembangunan kekuatan militer di kawasan ini berpeluang semakin mendorong negara-negara di sekitar khususnya ASEAN untuk ‘mengambil sikap’ dalam kontestasi AS-China, meskipun sejauh ini negara-negara di ASEAN masih mempunyai pandangan berbeda mengenai itu.

Namun bagi beberapa negara di sekitar China, seperti Taiwan-India-Jepang, perkembangan terakhir ini kemungkinan akan mendorong ketiganya untuk semakin mempertegas sikap menghadapi China dengan cara memperkuat kemitraan strategis dengan AS. Langkah itu juga diikuti Australia yang kini tengah berupaya membendung pengaruh China di kawasan, yang diperkirakan masih akan terus berlanjut diikuti negara-negara lain.

Secara tidak langsung, pandemi COVID-19 ini telah mendorong sejumlah negara mempertimbangkan kembali kedekatannya dengan China. Tuduhan dan dugaan ketidaktransparansian China dalam menangani pandemi semakin menguatkan alasan pertimbangan tersebut.  Hal ini dinilai akan menjadi tantangan China dalam menjaga keberlangsungan agenda Belt Road Initiative dan Maritime Silk Road miliknya di tengah surutnya aktivitas perekonomian global dan terfokusnya China menangani COVID-19 di dalam negeri.

Sementara itu, Timur Tengah masih akan terus diwarnai problem keamanan. Meski dilanda pandemi COVID-19, ketidakstabilan dan konflik seolah belum menunjukan tanda-tanda usai. Padahal gejolak ketidakstabilan ini sangat berpotensi memperlambat penanganan pandemi, terutama di negara-negara konflik seperti Libya-Yaman-Suriah. Penanganan pandemi membutuhkan kriteria institusi state yang koheren, solid dan dapat diandalkan. Namun sayangnya hanya beberapa negara di kawasan yang mampu menunjukkan kriteria itu.

Libya masih jauh dari kondisi stabil dan established. Meski secara militer Libyan National Army (LNA) di bawah Marsekal Khalifa Haftar menguasai sebagian besar Libya, namun nampaknya kemenangan diplomasi dan politik belum berpihak baginya. Hingga kini konflik masih terus berlangsung dan belum bisa dapat dipastikan hasilnya. Bahkan kini Libya menjelma menjadi ‘arena baru’ bagi sejumlah kekuatan global dan regional dalam melebarkan sayap pengaruh mereka pasca-Suriah.

Seiring dengan itu, NATO juga menghadapi serangkaian masalah. Dalam beberapa KTT NATO yang telah dilangsungkan, organisasi ini tidak berhasil menyatukan visi dan komitmen para anggotanya. Jerman sebagai salah satu ‘tulang punggung’ NATO menunda kenaikan anggaran militernya menjadi 2% dari PDB sebagaimana kesepakatan di KTT lalu hingga tahun 2031. Hal ini telah mendorong AS untuk menekan Jerman dengan mengancam mengurangi 9500 pasukannya dari Jerman. [3] Langkah unilateral AS ini dalam rangka mendorong soliditas multilateralisme NATO agar tidak sepenuhnya bergantung dengan payung keamanan AS.

Namun langkah AS tersebut dinilai memunculkan kegelisahan di internal NATO. Bagi Jerman dan negara anggota NATO lain, eksistensi AS di aliansi tersebut dianggap sebagai sekutu kunci dalam menjaga keseimbangan postur keamanan di Eropa sejak akhir 1940-an. Sedangkan bagi Trump sikap tegas AS tersebut juga diharapkan dapat memaksa Jerman dan para anggota NATO untuk memastikan komitmennya terhadap hasil KTT NATO sebelumnya.

Patut menjadi perhatian kita, masih akan ada sejumlah peristiwa dan isu besar yang menjadi penentu situasi global, di antaranya Pemilu Presiden AS pada bulan November mendatang.

Bagi Indonesia, ketidakpastian dan rivalitas global seperti sekarang ini perlu dicermati. Kita perlu bersikap hati-hati dan menyiapkan diri pada berbagai kemungkinan yang berpotensi merugikan Indonesia. Untuk itu sangat penting bagi kita untuk memiliki pijakan kuat dalam melangkah guna tetap menjamin kepentingan nasional Indonesia. []

* Penulis adalah sarjana Hubungan Internasional dari UPN Veteran Jakarta. Profil LinkedIn: https://linkedin.com/in/chairulfajar

Referensi

[1]https://www.cnbc.com/2020/05/09/us-china-trade-trump-torn-over-phase-one-deal.html

[2]https://www.dw.com/en/is-china-taking-advantage-of-covid-19-to-pursue-south-china-sea-ambitions/a-53573918

[3]https://foreignpolicy.com/2020/06/16/trump-withdrawing-9500-troops-from-germany-merkel-grenell-pompeo-yang/