[Paper] Konflik Timteng dan Jurnalisme “Hitam Putih”

purkon-icmes2Berikut ini makalah yang dipresentasikan Purkon Hidayat (peneliti ICMES) dalam diskusi “Konflik Timur Tengah, Geopolitik dan Media” di jurusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya Malang, 27 Mei 2016.

Konflik Timteng dan Jurnalisme “Hitam Putih”[1]

Oleh: Purkon Hidayat[2]

 

Kran kebebasan pers yang dibuka lebar-lebar pasca jatuhnya Orde Baru, ternyata tidak didukung oleh kedewasaan sebagian media massaIndonesia.Kondisi tersebut diperparah dengan menjamurnya media-media “kompor” sektarian yang memanaskan suhu intoleransi di Tanah Air. Laporan berbagai NGO seperti Setara Institute misalnya, menunjukkan terjadinya eskalasi intolerasi di Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini yang berbanding lurus dengan memanasnya tensi konflik di kawasan Timur Tengah. Ironisnya,sejumlah kepala daerah justru berperan besar memperuncing masalah tersebut. Di berbagaikota besar digelar pertemuan yang berisi ujaran kebencian (hate Speech) terhadap kelompok minoritas.Studi analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) menunjukkan akutnya pola eksklusi (exclusion) terhadap kelompok dari pihak yang mengklaim sebagai representasi mayoritasterhadap minoritasdi tingkat yang sangat masif.

Media massa dewasa ini berperan besar mengobarkan konflik lebih membara melalui pola penyematan “simbol” dan “relasi” yang kerap tidak diverifikasi validitasnya dari sebuah friksi. Pasca meletusnya konflik di Suriah sejak 2011 hingga kini, suhu intoleransi di tanah Air semakin memanas.Salah satu pemantiknya adalah menjamurnya narasi sektarianmenyikapi konflik di kawasan Timur Tengah. Narasi sektarian yang disebarkan media massa tersebut memberikan andil besar menyulut konflik Suriah antara rezim Assad dan oposisi membengkak menjadi konflik internasional yang melibatkan para aktor global. Lebih dari itu, narasi sektarianmemantik kedatanganpara kombatan yang mengatasnamakan dirinya “mujahid” dari penjuru negara dunia, termasuk Indonesia, untukterjun langsung di kancah konflik berdarah di Irak dan Suriah.

Konflik Suriah: Agama atau Politik ?

Lalu, benarkah konflik Suriah sebagai masalah agama? Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (Dubes LBBP) Republik Indonesia untuk Suriah, Djoko Harjanto menepisnya. “Orang sudah  terlanjur menganggap pemerintah Suriah Syiah. Itu yang harus saya luruskan. Basyar [Bashar] itu Alawite, yang terdiri antara lain dari Druze. Ia Sunni. Saya lihat langsung..,” ujar Djoko Harjanto, sebagaimana dilansir Republika, Senin (21/3/2016).

Jawaban senada juga disampaikan sebelumnya oleh DR. Taufiq Ramadhan al-Buthi, Ketua Ikatan Ulama Suriah, “Konflik di negara kami bukan konflik sektarian dan agama, yang membenturkan antara Sunni dan Syiah, atau Muslim dan non-Muslim,”. Menurut putra almarhum Syekh Ramadhan al-Buthi ini, konflik di negaranya disetting agar melibatkan sesama warga Suriah. Contohnya, ISIS dan Jabhah al-Nusra, faksi gabungan dari jihadis dari berbagai negara dunia.(Republika,7/12/2015).

Dua pernyataan tersebut hanya bagian kecil dari rangkaian data lapangan yang menunjukkan dengan amat jelas keterlibatan banyak pihak dalam konflik Suriah. Oleh karena itu, penggunaan narasi Sunni-Syiah untuk konflik Suriah merupakan reduksi terhadap kepentingan banyak aktor global yang bermain dalam konflik tersebut.[3]

Konflik,Narasi dan Jurnalisme “Hitam Putih”

Trend pola kerja jurnalisme selama ini cenderung hitam-putih, sehingga yang dominan tidak berorientasi damai, tapi mengedepankan perang dan konflik. Jurnalisme model ini lebih tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas, dan kerusakan material. Penganut jurnalisme hitam putihseringkali enggan menggali asal-usul konflik, mencari alternatif penyelesaian, berempati kepada korban, dan dampak kemanusiaan yang ditimbulkannya.Mereka lebih suka memperpanjang jarak antara pihak yang berkonflik dalam kerangka kalah-menang, bukan mendekatkan pihak yang berseteru untuk berdamai. Bahkan lebih parah lagi media menjadi bagian dari salah satu pihak yang berkonflik dengan menempatkan jurnalis tertanam.

Phillip Knightley dalam bukunyaThe First Casualty (2004) membeberkan sekitar 3.000 pekerja media menempel menjadi jurnalis tertanam (embedded Journalism) dalam Operation Allied Force NATO di Kosovo, yang berlangsung antara 24 Maret hingga 10 Juni 1999. Demikian pula dengan perang lainnya, seperti invasi militer AS ke Irak, hingga serangan NATO ke Libya yang memporak-porandakan negara kaya minyak itu. Meskipun harus diakui ada sejumlah jurnalis independen yang masih objektif, tapi jumlahnya kecil dan pengaruhnya kalah jauh dengan jurnalis media mainstream.

Para peneliti seperti Brandenburg (2007) dan Pfau (2004) menilai jurnalis tertanam cenderung mengaburkan batas-batas antara militer dan media.Wartawan justru menjadi bagian dari korp militer dan kehilangan jarak yang dibutuhkan terhadap subjek, serta menghasilkan bidikan yang lebih terbatas. Aday, Sean, Steven Livingston dan Maeve Hebert (2005:3-21) dalam penelitiannya Embedding The Truth: A Cross-Cultural Analysis of Objectivity and Television of the Iraq War memperlihatkan bagaimana jurnalisme tertanam cenderung fokus pada perspektif militer dalam pemberitaannya yang bias.

Barangkali, itulah sebabnya Stuart Hall (1982:64) menyatakan bahwa realitas tidaklah secara sederhana dapat dilihat sebagai satu set fakta, tapi hasil dari ideologi atau pandangan tertentu. Media massa menentukan realitas melalui pemilahan dan pemilihan, mana yang boleh dan yang tidak boleh ditampilkan sebagai berita. Pemberitaan tentang operasi Humanitarian Intervention yang ditabuh media mainstream terhadap sebuah negara tertentu, tidak lain dari intervensi negara-negara kuat terhadap lawan politiknya yang harus disingkirkan, maupun definisi dari pemilik modal raksasa global terhadap negara yang akan dikeruk sumber dayanya.

Fakta di Suriah, Libya dan Irak mempertontonkan bagaimana media arus besar melayani kepentingan imperialisme dan kapitalisme global. Tujuannya, bagaimana publik dunia percaya dengan “memori konon” yang diproduksi oleh media mainstream tersebut. Dari memori konon inilah banyak orang percaya berita yang acapkalijarang diverifikasi kebenarannya itu.

Tampaknya, memori kolektif publik dunia terlalu sesak dijejali berita konon dari media mainstream tentang kediktatoran rezim Assad yang harus digulingkan oleh rakyatnya yang menginginkan demokratisasi.Pada saat yang sama, publik dunia tidak menyimpan memori kolektif tentangdukungan finansial, militer dan politik negara-negara monarki Arab yang dibeking sebagiannegara Barat terhadap faksi-faksi oposisi bersenjata di Suriah seperti: Jabhah Al-Nusra, FSA,Ahrar Al Sham Kataeb, Liwa Al Tawhid, Ahrar Souria, Halab Al Shahba, Harakah Al Fajr Al Islamia, Dar Al Umah, Liwa’a Jaish Muhammad, Liwa’a Al Nasr, Liwa’a Dar Al Islam, dan lainnya. Bahkan, ISIS yang kemudian digempur koalisi internasional pimpinan AS, kelahirannya dibidani oleh Washington sendiri.Buku memoar Hillary Clinton berjudul Hard Choices sedikit menjelaskan realitas ISIS dan dukungan AS terhadap kelompok teroris itu. Pengakuan mantan Menlu AS ini memperkuat dokumen yang dibocorkan mantan kontraktor NSA, Edward Snowden tentang peran Washington dalam pendirian ISIS.

Tapi persoalannya, rangkaian rantai kepentingan yang kompleks ini tidak muncul dalam berita-berita media mainstream yang diamini pers nasional di Tanah Air. Fakta ini memperkuat tesis Foucault bahwa realitas adalah konstruksi sosial yang dibentuk melalui wacana, sebagai penentu cara berpikir kebanyakan orang dengan jalan tertentu, bukan yang lain.

Mencari Rules

Di ranah disiplin ilmu Hubungan Internasional, Nicholas Greenwood Onuf  mengemukakan teori tentang speech act mengenai hubungan saling mempengaruhi agen‐struktur yang berlangsung dalam sebuah lingkaran interaksi.Subjek menciptakan dan mempengaruhi struktur, demikian sebaliknya, struktur mempengaruhi subjek. Sebab oranglah yang membuat aturan, lalu aturan mengatur masyarakat, dan aturan masyarakatlah yang menjadikan orang melakukannya sendiri dengan cara-cara tertentu. Sebagaimana diungkapkan Onuf dalam World of Our Making: Rules and Rule in Social Theory and International Relations (1989:66), “People make rules, rules make society, society’s rules make people conduct themselves in specified ways.”

Sebagai realitas internasional, konflik merupakan produk tindakan manusia.Kontruktivis semacam Onuf memandang realitas internasional termasuk terorisme diciptakan dan terbentuk melalui speech act yang berbentuk instruktif, hirarkis dan komisif. Tindak tutur yang berulang-ulang membentuk rules bagi aktor lain. Statemen para aktor politik AS tentang terorisme menjadi rules (aturan) yang hanya memberikan dua pilihan bagi aktor politik, ikut atau tidak, tentu dengan konsekuensinya masing-masing.Definisi mana yang teroris, dan mana yang bukan, juga ditentukan oleh rules tersebut.

Fenomena terorisme sebagai sebuah fenomena internasional lahir dari speech act yang dikeluarkan para pemimpin AS seperti Bush, dan kini Obama menjadi sebuah rules yang membentuk hegemoni, hirarki dan heteronomi bagi aktor lain.Kelompok teroris seperti ISIS yang lahir di Suriah muncul dari rulestersebut. Kemudian, rules ini bergeser menjadi pemilahan antara mujahid moderat, dan radikal, setelah beberapa tahun kemudian. Reaksi perlawanan pemerintah Damaskus yang didukung sekutunya Rusia dan Iran, sebagai aktor penting yang mengubah rules AS. Di sini, pendekatan Kontruktivisme menjawab faktor pemicu perubahan kebijakan AS tentang teroris di Suriah (dan Irak), termasuk mengungkap motif di balik pembentukan koalisi internasional melawan ISIS.

Pola serupatelah ditempuh AS dalam kelahiran Taliban yang dipakai sebagai proxy waruntukmelumpuhkan pengaruh Uni Soviet di Afghanistan, dan faktanya berhasil. Setelah Taliban tidak diperlukan lagi, maka digantilah perannya dengan yang lain, maupun dilemahkan kekuatannya dengan melakukan invasi militer ke Afghanistan pasca serangan teroris 11 September 2001.

Konflik, Perspektif Geopolitik

Seandainya Timur Tengah tidak memiliki posisi strategis dengan sumber daya alam yang melimpah seperti minyak dan gas, barangkali kawasan ini tidak menjadi incaran banyak pihak, sehingga konflik selalu berkobar di sana. Bahkan penyebutan kata Timur Tengah sendiri secara ide dilakukan oleh kolonialis yang melihat kawasan tersebut sebagai target kepentingannya, terutama kepentingan geopolitik dan ekonomi politik global, dua studi sentral dalam disiplin ilmu hubungan internasional.

Jika dilacak dari penamaan Middle East sendiri, setidaknya sudah bisa mengarah separuh jawabannya.Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang ahli geopolitik dan geostrategis AL-AS, Alfred Thayer Mahan di tahun 1902, meskipun sejumlah literatur menyebutnya telah dipergunakan kisaran tahun 1850 oleh kolonial Inggris di India. Menurut Sedat Laciner (2006), Mahan pertama kali mempopulerkan istilah Timur Tengah dalam papernya yang berjudul The Persian Gulf and International Relations, yang dipublikasikan September 1902  di jurnal Inggris, The National Review.

Geopolitik memiliki kedudukan penting dalam studi hubungan internasional. Menurut Francis P. Sempa dalam Geopolitics: From the Cold War to The 21st Century (2002:18) hubungan internasional mustahil dipahami tanpa berpegang kepada geopolitik. Faktor geografis dalam sejarah dunia dipandangpaling konstan.[4]

Geopolitikhingga kini masih memainkan peran penting dalam hubungan internasional. Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan dalam International Relations: The Key Concepts (2004:120-122) mendefinisikan geopolitik sebagai studi tentang pengaruh faktor geografis terhadap perilaku negara, bagaimana lokasi, iklim, sumber daya alam, penduduk, dan medan fisik menentukan pilihan kebijakan luar negeri suatu negara dan posisinya dalam hirarki negara. Menurut Gearoid O Tuathail, dalam Critical Geopolitics: The Politics of Writing Global Space (2005:1)faktor geografisberkaitan dengan kekuasaan,dan produk dari sejarah pertarungan antara otoritas penguasa yang berkompetisi  untuk mengatur, menduduki, dan mengelola ruang.

Perspektif geopolitik yang bertumpu pada posisi strategis Suriah membantu menyelidiki motif di balik konflik Timur Tengah yang selalu membara. Bagaimana pertarungan kepentingan rezim-rezim di kawasan ini, terutama Arab Saudi, Qatar, Turki serta Iran, dan keterlibatan sebagian negara Barat terutama AS. Hal ini, sekaligus menjawab separuh pertanyaan mengapa konflik di Suriah tidak kunjung usai, dan perundingan damai membentur dinding, meski mulai ada secercah harapan.

Kutub besar konflik geopolitik di Timur Tengah tidak bisa dilepaskan dari ketegangan panjang Arab Saudi dan Iran. Riyadh memandang Tehran sebagai rival utama bagi posisinya mendominasi Timur Tengah.Watak politik Al Saud yang bersifat tribal ingin menjadikan dirinya sebagai penguasa paling berpengaruh di  kawasan Timur Tengah (Asia Barat). Studi antropologi Timur Tengah menggambarkan tingginya persaingan antarsuku di kawasan ini demi memperebutkan dominasi regional. Dinasti Al Saud sendiri menguasai Hijaz, dengan kota utamanya Jedah, Mekah dan Madinah, melalui pertumpahan darah dalam pertempuran yang dikenal dengan “Perang Mekah” di tahun 1924.

Sejak dahulu, watak politik Arab yang bersifat personal dan tribal telah dibaca dan dimanfaatkan dengan amat baik oleh Imperialis semacam Inggris dan kini AS, demi kepentingan ekonomi politiknya sendiri. Ketika itu, seorang arkeolog sekaligus diplomat Inggris bernama Thomas Edward Lawrence melancarkan provokasi asimetri yang melahirkan pemberontakan terhadap Imperium Ottoman, dan terpisahnya Hijaz di tahun 1916.

Seperti yang terjadi di Suriah, Irak maupun Yaman dewasa ini, dahulu pun bangsa-bangsa Arab dengan watak personal dan tribalnya begitu gampang diadu domba oleh seorang Lawrence lebih dari seabad lalu. Ilmuwan cum diplomat Inggris ini memainkan peran besar dalam perang Aqaba di tahun 1917, perang Tafilah di tahun 1918, dan Perjanjian Sykes-Picot di tahun 1916 antara Inggris dan Prancis, yang membagi wilayah kekuasaan Ottoman Turki menjadi terpecah-pecah. Bahkan hingga kini, negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah begitu bergantung terhadap Barat, terutama Inggris dan AS.

Apabila seabad lalu konflik yang disulut Inggris terhadap bangsa-bangsa Arab adalah musuh bersama Ottoman, kini berganti nama menjadi Iran, dan dilakukan bukan hanya Inggris, tapi AS sebagai aktor barunya.Tujuan imperialis pun tidak berubah dari dulu hingga kini demi menguasai sumber daya alam yang melimpah. Selain itu, negara-negara imperialis itu mendulang untung dari penjualan senjata dalam perang yang mereka kobarkan di kawasan. Lebih dari itu,berhasil memecah belahdunia Islam.

Watak politik rezim Al Saud yang bercorak personal dan tribal mudah mengadopsi narasi besar Iranophobia dan Shiaphobia yang ditabuh Barat, terutama AS dan Inggris, dan Israel. Bagi negara Arab seperti Saudi, Iran pasca kemenangan Revolusi Islam adalah biang kerok di kawasan.

Selama ini, Saudi mengamini AS dan Inggris dengan melakukan berbagai cara demi meredam pengaruh Republik Islam Iran.Lembaran sejarah konflik Iran dan Saudi bisa dilacak dari dukungan Riyadh bersama negara Barat dan sekutu Arab terhadap Saddam Husein dalam perang dengan Iran tahun 1980-1988.

Lebih dari tiga dekade pasca kemenangan Revolusi Islam di Iran, Arab Saudi dan kebanyakan negara Arab lainnya di kawasan Teluk Persia menikmati dukungan besar dari Washington. Pada saat yang sama, pengucilan Iran oleh Barat menguntungkan dominasi Arab Saudi di kawasan. Oleh karena itu, Kesepakatan yang dicapai Iran dan P5+1 berbentukJoint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 14 Juli 2015, memicu eskalasi kekhawatiran Riyadh terhadap menguatnya pengaruh Iran di kawasan Timur Tengah. Rezim Al Saud pun meningkatkan tekanan terhadap Iran, termasuk memperbesar dukungan terhadap oposisi Suriah.

Dari perspektif ini, sebagian analis politik internasional menilai Suriah sebagai proxy war kompetisi antara Saudi dan Iran yang melibatkan sekutu mereka masing-masing.

Perangdan Bisnis Senjata

Perang adalah bencana, tapi bagi sebagian pihak justru menjadi tambang emas. Produsen senjata adalah salah satunya. Studi Askari dkk, (2009:105-107) menunjukkan  negara-negara Teluk Persia, khususnya Arab Saudi sebagai pelanggan utama industri militer global, terutama dari Amerika Serikat. Bahkan, produsen senjata dari berbagai negara bersaing keras untuk meraup keuntungan akses pasar senjata Teluk Persia yang sangat menguntungkan.

Laporan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menunjukkan posisi Arab Saudi bertengger di peringkat keempat negara dengan anggaran belanja militer terbesar di dunia setelah AS, Cina dan Rusia, senilai 80,8 miliar dolar di tahun 2014. Laporan SIPRI juga menunjukkan kenaikan anggaran sebesar 112 persen dari tahun 2005 hingga 2014 dengan presentasi sebesar 10,4 dari produk domestik bruto (PDB) negara Arab ini.[5] Sedangkan International Institute for Strategic Studies menempatkan pengeluaran militer Arab Saudi di posisi ketiga di dunia dengan anggaran sebesar 80,8 miliar dolar dan kontribusi 10,7 persen dari PDB negara kaya minyak itu.[6]

Seluruh angka tersebut berdasarkan estimasi tahun 2014 yang belum mempertimbangkan biaya militer yang semakin membengkak untuk mendanai berlanjutnya perang di Suriah demi mendukung oposisi Assad, di Irak dan Yaman yang masih berlanjut hingga kini dengan bantuan langsung maupun tidak langsung AS[7] dan Inggris. Selain menerjunkan penasehat militer, AS dan Inggris memasok senjata kepada Arab Saudi dalam perang Yaman.

Menuju  JurnalismeDamai

Media massa menentukan realitas melalui pemilahan dan pemilihan, mana yang boleh dan yang tidak boleh ditampilkan sebagai berita. Sebagaimana dijelaskan Stuart Hall (1982:64), realitas tidaklah secara sederhana dapat dilihat sebagai satu set fakta, tapi hasil dari ideologi atau pandangan tertentu. Dari sini, Jake Lynch dan Annabel Mc Goldrick (2007:251) menawarkan paradigma baru jurnalisme dengan menunjukkan pentingnya “Jurnalisme Damai” yang tidak sekedar laporan tentang perdamaian, tapi kerangka pikir jurnalistik yang berpijak pada perdamaian.

Pertama, mengeksplorasi peta dan formasi konflik untuk menemukan pemecahan jalan rekonsiliasi komprehensif. Selama ini fokus pemberitaan hanya menyoroti arena konflik dengan membagi kubu yang berseteru; pemenang dan pecundang. Pemberitaan yang kerap muncul diwarnai statemen salah satu pihak sebagai pemenang, dan menjatuhkan pihak lain sebagai pecundang.

Kedua, membuka ruang, waktu dan akar penyebab utama konflik terjadi dengan menelaah sejarah konflik serta aspek kultur yang melingkupinya. Membuat konflik lebih transparan dan jelas, bukan sebaliknya konflik semakin buram dan tertutup dengan dijejali statemen elit secara sepihak yang menyebabkanpenyelesaian masalah terkatung-katung di tengah jalan.

Ketiga, media harus melakukan pendekatan proaktif dengan mencegah kekerasan meluas. Selama ini wartawan cenderung reaktif dan menunggu kekerasan semakin meluas baru melaporkan. Media harus menjadi corong perdamaian. Oleh karena itu, apa yang diberitakannya berupaya mencari sumber –sumber yang serius membawa perdamaian permanen.

Keempat, media harus berorientasi solusi permanen yang menjunjung tinggi keadilan. Selama ini perdamaian adalah kemenangan salah satu pihak ditambah dengan gencatan senjata. Padahal, perdamaian adalah akumulasi dari perjuangan antikekerasan ditambah kreativitas untuk mewujudkan Perdamaian permanen. Contohnya, perjanjian damai antara Palestina dan Israel, yang selama ini tidak pernah memperhatikan keadilan bagi Palestina.

Media mainstream kerap gagal menempatkan relasi keduanya dalam posisi yang adil ketika memberitakan terjadinya konflik. Oleh karena itu, wartawan harus fokus terhadap inisiatif perdamaian dan mencegah lebih banyak perang serta mewujudkan perdamaian, termasuk menelaah struktur, budaya, sosial dalam menciptakan perdamaian masyarakat. Faktanya, selama ini, media justru fokus pada perjanjian, kesepakatan, institusi, dan kontrol terhadap masyarakat yang hanya melahirkan penyelesaian temporal. Barangkali Aeschlus (525-456SM)  benar, saking mahalnya kebenaran, termasuk dalam pemberitaan media, “korban pertama perang adalah kebenaran”.

Belajar dari krisis yang menimpa sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika Utara, isu sektarian menjadi sumbu yang paling efektif untuk menghancurkan sebuah bangsa. Mari kita jaga keutuhan NKRI. Saya kira Malcolm X benar, “If you’re not careful, the newspapers will have you hating the people who are being oppressed, and loving the people who are doing the oppressing!”

 

Daftar Pustaka

 

Aday,S.,Livingston,S.&Herbert,M.Embedding the Truth: A Cross-Cultural Analysis of Objectivity and Television Coverage of the Iraq War. The Harvard International Journal of Press/Politics. Winter. 2005.10: 3-21.

 

Askari, Hossein. The Militarization of The Persian Gulf: An Economic Analysis. Cheltenham, UK:Edward  Elgar Publishing Limited:2009.

 

Bronson, Rachel. Oil: America’s Uneasy Partnership with Saudi Arabia, Oxford Press: 2006.

 

Brown, Anthony. Oil, God and Gold: The Story of Aramco and the Saudi Kingdom, Houghton Mifflin: 1999.

 

Brown, L. Carl. Diplomacy in The Middle East: The International Relations of Regional and Outside Powers. London, I.B.Tauris:2004.

 

Chernoff, Fred.Theory and Metatheory in International Relations: Concepts and Contending Accounts. New York, Palgrave Macmillan: 2007.

Cleveland, William & Bunton, Martin. A History of the Modern Middle East, 4th edition. Westview: 2009.

 

Durkheim, Emile. The Rules of Sociological Method, New York, The Free press: 1982.

 

Dryzek, John. The Oxford Handbook of Political Institutions. Oxford University Press:2006.

 

Eickelman, Dale F. Middle East: An Anthropological Approach. Prentice-Hall:1981.

 

Hall, Stuart.The Rediscovery of Ideology: Return of the Repressed dalamMichael Gurevitch dkk.(ed)Culture, Society and The Media. New York. Routledge:1982.

Gilpin, Robert. War and Changein World Politics.Cambridge University Press:2009.

Griffiths, Martin & Terry O’Callaghan.International Relations: The Key Concepts. London, Routledge:2004.

Halliday, Fred. The Middle East in International Relations: Power, Politics and Ideology. Cambridge University Press: 2005.

 

Holsti, K. J. The Dividing Discipline: Hegemony and Diversity in International Theory, Boston, Allen & Unwin:1985.

International Institute for Strategic Studies. The Military Balance 2015. 11 February 2015. London: Routledge.

 

Khalaf, Abdul Hadi & Giacomo Luciana. Constitutional Reform and Political Participation in the Gulf, Dubai,Gulf  Research Center:2006.

 

Knightley, Phillip.The First Casualty, Maryland. The Johns Hopkins University Press: 2004.

 

Kostiner, Joseph. The Making of Saudi Arabia, 1916-1936 : From Chieftaincy to Monarchical State.Oxford University Press.1993.

 

Lynch, Jake & Annabel Mc Goldrick, dalam Charles Webel & Johan Galtung (ed)Handbook of Peace and Conflict, New York, Routledge:2007.

Onuf, Nicholas Greenwood. World of Our Making: Rules and Rule in Social Theory and International Relations, Columbia, University of South Carolina Press:1989.

 

Philip S. Khoury & Joseph Kostiner, The Conference on Tribes and State Formation in the Middle East. Cambridge, Massachusetts: November 1987.

 

Posner, Gerald L. Secrets of the Kingdom: the Inside Story of the Saudi-U.S. Connection, Random House: 2007.

 

Sempa, Francis P. Geopolitics: From the Cold War to The 21st Century.New Jersey. Transaction Publishers: 2002

 

SIPRI.Trend in The World MilitaryExpenditure 2014: Fact Sheet April 2015.

 

International Institute for Strategic Studies (11 February 2015). The Military Balance 2015. London: Routledge.

 

Tuathail, Gearoid O.Critical Geopolitics: The Politics of Writing Global Space.London, Routledge: 2005.

 

Situs internet:

 

http://www.kemlu.go.id/damascus/en/berita-agenda/berita-perwakilan/Pages/Wawancara-Drs-Djoko-Harjanto-MA-Dubes-RI-Untuk-Suriah-dengan-TV-SATELIT-Suriah.aspx diakses Rabu, 11/5/2016.

 

http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/16/03/25/o4cg87320-dubes-ri-untuk-suriah-angkat-bicara-soal-assad-dan-suriah.diakses Rabu, 11/5/2016.

 

http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/timur-tengah/15/12/07/nyz1st320-ini-pengakuan-putra-ramadhan-albuthi-tentang-konflik-suriah.diakses Rabu, 11/5/2016.

 

http://islamindonesia.id/berita/wawancara-dubes-ri-di-damaskus-tidak-ada-benturan-suni-syiah-di-suriah.htm diakses Rabu, 11/5/2016

 

http://www.huffingtonpost.com/entry/saudi-arabia-executions-human-rights-council_us_56884809e4b06fa6888293d1, diakses Jumat, 29  Januari 2016.

 

http://www.theguardian.com/uk-news/2015/sep/29/uk-and-saudi-arabia-in-secret-deal-over-human-rights-council-place, diakses Minggu, 31 Januari 2016

 

http://www.globalresearch.ca/united-nations-farce-saudi-arabia-to-head-un-human-rights-council/5477833  diakses Sabtu, 30 Januari 2016.

 

https://www.hrw.org/news/2016/01/07/yemen-coalition-drops-cluster-bombs-capital-0                                    diakses Jumat, 29 Januari 2016.

 

https://www.rt.com/news/328190-yemen-saudi-cluster-bombs/ diakses Jumat, 29 Januari 2016.

 

http://www.stopclustermunitions.org/en-gb/cluster-bombs/use-of-cluster-bombs/cluster-munition-use-in-yemen.aspx.  diakses Sabtu, 30 Januari 2016.

 

http://www.nytimes.com/2016/01/24/world/middleeast/us-relies-heavily-on-saudi-money-to-support-syrian-rebels.html?_r=0 diakses Minggu 31 Januari 2016.

 

https://www.amnesty.org/en/latest/news/2015/11/yemen-coalition-used-uk-cruise-missile-in-unlawful-airstrike/ diakses Minggu 31 Januari 2016.

 

https://www.rt.com/uk/328259-military-uk-saudi-arabia-yemen/ diakses Minggu, 31 Januari 2016.

 

 

[1] Disampaikan dalam diskusi “Konflik Timur Tengah, Geopolitik dan Media” di jurusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya Malang, 27 Mei 2016.

[2]Jurnalis dan Peneliti Indonesia Center for Middle East Studies (ICMES).

[3]Sebuah pertanyaan besar muncul, mengapa media nasional di Indonesia harus menunggu lima tahun perang berkecamuk di Suriah untuk mengakses “kuping dan mulut pemerintah Indonesia di pusat konflik” negara Arab itu. Meskipun terlambat, pada 23-30 April lalu, untuk pertama kalinya rombongan jurnalis Indonesia mengunjungi Suriah guna melihat dari dekat konflik politik Suriah. Menurut laporan pensosbud KBRI Suriah di laman facebooknya,  para jurnalis yang datang menyadari konflik di Suriah bukanlah konflik sektarian, terbukti dari kerukunan umat beragama yang terjalin selama ribuan tahun di masyarakat Suriah yang terbuka dan terbuka.

[4]Ada kritik terhadap studi  geopolitikdari sebagian ahli yang menilai faktor-faktor geografis  telah mulai digeser perannya oleh faktor teknologi. Tapi secara umum kritik ini tidak mengurangi peran sentral geopolitikdalam  studihubungan internasional.

[5] SIPRI Fact Sheet, April 2015  Trend in The World Military, Expenditure, 2014

[6]International Institute for Strategic Studies (11 February 2015). The Military Balance 2015. London: Routledge.

[7]http://www.nytimes.com/2016/01/24/world/middleeast/us-relies-heavily-on-saudi-money-to-support-syrian-rebels.html?_r=0 diakses Minggu 31 Januari 2016.