Kemenangan Hamas dan Prospek Perdamaian Palestina

Artikel ini adalah intisari dari jurnal di Australian Journal of International Affairs yang berjudul Does the Hamas victory advance peace in the Middle East?, yang dipublikasikan secara online pada 22 Agustus 2006 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/10357710600696126. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

Intifada1Kemenangan Hamas dan Prospek Perdamaian Palestina

Shahram Akbarzadeh

Menurut Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Hamas adalah organisasi teroris. AS, Israel, dan banyak negara-negara lain menolak berurusan dengan Hamas. Namun kemenangan Hamas pada Januari 2006, membawa demokrasi ke Timur Tengah menjadi penuh komplikasi. Israel dan AS khawatir bahwa kebijakan luar negeri yang damai tidak akan bisa diterapkan oleh Hamas. Apalagi, Hamas telah berkomitmen ingin menghancurkan Israel. Hasil pemilu yang tak terduga membuat AS mengalami situasi yang sulit. Haruskan AS dan masyarakat internasional menerima hasil pemilu, atau memberikan batasan atas kehendak rakyat? Apakah kemenangan Hamas akan membuka peluang yang bisa melayani kepentingan AS di kawasan? Apakah demokrasi justru menguntungkan kelompok Islamis? Dan mengapa partai politik Islamis begitu menarik bagi para pemilih?

Hamas awalnya dibentuk pada tahun 1987 sebagai kelompok swadaya lokal dengan persetujuan Israel secara diam-diam sebagai tandingan dari Palestine Liberation Organization (PLO). Hamas berbasis di Gaza,di daerah sempit dengan kepadatan 3.457 orang per km persegi. Penduduk Gaza membutuhkan layanan sosial seperti kesehatan. Israel tidak berinvestasi dalam infrastruktur Gaza, dan PLO juga tidak membantu. Hamas mengisi celah tersebut. Sebagaimana trend Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Yordania, aktivis Hamas sibuk membangun sekolah dan pusat kesehatan. Sebagai organisasi yang baru berkembang, Hamas dipandang sebagai alat yang efektif untuk mengurangi daya tarik PLO, yang telah mendapatkan pengakuan internasional sebagai wujud kepemimpinan nasionalis Palestina.

Munculnya Hamas bertepatan dengan intifada pertama, pemberontakan populer melawan pendudukan militer Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pemberontakan ini tidak bisa tidak akhirnya berefek radikal pada Hamas. Sementara PLO menunggangi gelombang pemberontakan populer untuk menekan konsesi politik dari Israel dan AS, Hamas menggunakan pemberontakan untuk melakukan persiapan menantang PLO. Perbedaan antara PLO dan Hamas sangat mencolok. PLO menggunakan intifada untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Palestina memiliki peran penting dalam mewujudkan perdamaian di wilayah.Hamas memegang prinsip ketegaran, menolak menyerahkan satu inchi pun tanah Arab, menyerukan agar Israel dihancurkan, dan posisinya tanpa kompromi ini ternyata sangat menarik bagi rakyat Palestina. Hamas semakin populer setelah euforia Yasser Arafat mereda. Perjanjian Oslo pada tahun 1993 memungkinkan kemenangan bagi Yasser Arafat dan Fatah, yang berlanjut dengan pembentukan Otoritas Palestina (PA) yang menangani Tepi Barat dan Jalur Gaza. Pemilu legislatif tahun 1996 memberikan mandat bagi Fatah untuk menyelenggarakan pemerintahan, yang bukan lagi perwakilan dari pemberontak ataupun oposisi militan, sehingga Fatah menjadi serba salah ketika ada komplain dari Israel yang terkait dengan aktivitas militan. PLO kebobolan. Solusi ‘dua negara’ dan pengakuan terhadap eksistensi ditolak Hamas, yang tetap bersikukuh ingin mendapatkan kembali semua wilayah Palestina. Tujuan tanpa kompromi ini adalah sebuah utopianisme, yang merupakan campuran antara militansi Islam dan aspirasi nasionalis.

Suksesor Arafat yaitu Mahmud Abbas, dihormati sebagai pemimpin moderat dan pragmatis, pada Januari 2005 memunculkan harapan baru. Tapi tidak ada kemajuan dalam negosiasi. PA stagnan dan tak berdaya untuk keluar dari kebuntuan dan Israel yang memegang semua kartu truf tidak berminat untuk meminjamkannya kredibilitas dengan menghidupkan kembali proses perdamaian. Keputusan sepihak Israel di bawah pimpinan Ariel Sharon untuk menarik diri dari Jalur Gaza dan memperluas dan konsolidasi permukiman Yahudi di Tepi Barat membuat PA seolah-olah tidak dianggap. Keputusan Israel untuk memperluas pemukiman di Yerusalem timur dan untuk memperpanjang dinding beton setinggi tiga meter di hingga ke Tepi Barat, merupakan pelanggaran terang-terangan dari rencana perdamaian yang diusulkan oleh Amerika Serikat dan disahkan oleh anggota lain dari Quartet (empat pemain internasional yang mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina: Uni Eropa, PBB, Rusia, dan AS).

PA tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan ini dan hanya dapat mengajukan banding ke Komunitas Internasional. Tapi Israel mengatakan bahwa keputusan terhadap ‘tembok keamanan’ tidak bisa diganggu gugat, dan masyarakat internasional tidak memiliki kekuasaan atas Tel Aviv.

Akibatnya, keberadaan Fatah sebagai kekuatan utama di PA pun jatuh, dan kesempatan ini dimanfaatkan oleh Hamas. Pada bulan Desember 2005, hanya beberapa minggu sebelum pemilihan parlemen, Hamas mendapatkan suara 70% di Nablus, yang merupakan basis Fatah. Israel dan AS cemas, dan memperingatkan tentang partisipasi Hamas dalam pemilihan Dewan Perwakilan Palestina pada 25 Januari 2006. Seperti yang diprediksikan, Hamas menang telak dengan menguasai 74 dari 132 kursi di DPR. Penyebabnya tentu saja karena pihak incumbent diaggap gagal oleh rakyat. Fatah hanya menguasai 45 kursi.

Kemenangan Hamas tentunya dianggap menjijikkan oleh Tel Aviv dan Washington. Argumen yang diajukan pemerintah AS sederhana, bahwa mereka tidak bisa berurusan dengan organisasi teroris, dan keberadaan Hamas harus ditolak, kecuali Hamas berhenti melakukan kekerasan dan mengakui eksistensi Israel.

Namun, Hamas pada tahun 2006 tidak jauh berbeda dengan Fatah pada 1970-an. Hamas sudah menunjukkan tanda-tanda transformasi dari tukang perang ke partai pemerintah, meskipun jelas tidak secepat yang diharapkan Israel. Hamas mempertahankan gencatan senjata di bulan-bulan menjelang pemilu. Sejak kemenangan, pemimpin Hamas telah meluncurkan kampanye tebar pesona untuk meyakinkan masyarakat internasional.

Dalam sebuah wawancara dengan BBC segera setelah kemenangannya, pemimpin Hamas berbicara tentang ‘kembali ke perbatasan 1967’ dan pengakuan Israel atas hak Palestina sebagai sebuah negara sebagai prasyarat untuk perdamaian. Bahwa perbatasan tahun 1967 disebutkan dalam wawancara adalah adalah indikator penting dari pola pikir yang berkembang di Hamas.

Penting untuk dicatat bahwa Hamas bukan tanpa pragmatisme; bahkan sebelumn kemenangan elektoral, kepemimpinan Hamas bermain-main dengan gagasan perbatasan tahun 1967. Pada tahun 2002, Abdel Aziz Rantissi, yang kemudian dibunuh oleh Israel, mengatakan kepada BBC: “tujuan utama dari intifada adalah pembebasan Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem, dan tidak lebih dari itu …. kami bisa menerima gencatan senjata dengan mereka [Israel], dan kita bisa hidup berdampingan.” Pernyataan tersebut merupakan bisa diartikan bahwa kemenangan pemilu 2006 menunjukkan kesiapan untuk mengeksplorasi kompromi dengan solusi dua negara.

Tanggapan dari masyarakat internasional untuk kemenangan Hamas telah diprediksi, tapi hal ini sama sekali tidak membantu. Penolakan Hamas sebagai perwakilan dari rakyat Palestina oleh AS dinilai cenderung memiliki dampak negatif bagi perdamaian. Pertama, pendekatan keras dari AS berdampak tindakan yang keras pula dari Hamas. Ini bukan duel sederajat. Terlepas dari pembantaian yang dilakukan pada warga sipil Israel, Hamas adalah pemain yang lebih lemah dan beroperasi dalam wilayah yang sangat terbatas. Sama seperti Fatah mulai kehilangan kredibilitas di antara rakyat Palestina ketika tunduk pada tuntutan dan / US Israel tanpa ada hasil yang bisa dicapai, Hamas pun beresiko kehilangan daya tariknya menyerah pada tuntutan AS. Hamas menghadapi keterbatasan yang sama pendahulunya, sementara Israel (dengan
dukungan dari AS) memiliki semua kartu truf yang terkait dengan dengan tujuan solusi dua-negara. Kedua, penolakan masyarakat internasional dari pilihan Palestina hanya menegaskan kecurigaan luas di kalangan rakyat Palestina tentang niat AS dan sekutunya yang tersembunyi. Apakah mereka benar-benar akan membiarkan negara Palestina berdiri di Tepi Barat dan Jalur Gaza? Palestina dan negara Arab lainnya mereka berulang kali mempertanyakan hal ini.

Posisi Washington telah membuat Palestina skeptis tentang penekanan demokrasi oleh AS di Timur Tengah. Persepsi ini menghadirkan tantangan serius bagi Amerika, sebagai mediator yang harusnya berimbang antara Palestina dan Israel. Dengan latar belakang ini, undangan untuk bertemu Hamas oleh Vladimir Putin menyajikan pendekatan alternatif.

Kesimpulan
Perdamaian tidak akan bisa tercapai dengan terpilihnya Hamas. Pasalnya, doktrin militeristik dan tanpa kompromi dari Hamas, tetapi yang lebih penting, karena penolakan dari Israel dan AS terhadap PA-yang didominasi Hamas. Tampaknya, Hamas telah bersiap untuk melakukan transformasi yang signifikan, menjauh dari perannya sebagai partai oposisi teroris.