[Jurnal] Assad: Rezim Suriah dan Strategic Worldview

Artikel ini adalah intisari dari jurnal di Comparative Strategy yang berjudul Bashar’s Syria: The Regime and its Strategic Worldview, yang dipublikasikan secara online pada 23 Februari 2007 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/01495930601105412. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

Assad SuriahAssad: Rezim Suriah dan Strategic Worldview

Shmuel Bar [1]

Presiden. Rezim Suriah didesain oleh dan untuk Hafez Al Assad. Hafez bukan saja merupakan representasi dari indentifikasi nasional, tetap juga merupakan fokus dari pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Presiden mengontrol semua pilar kekuasaan: ia adalah sekretaris jenderal dari Partai Ba’th (yang mengontrol Parlemen), ia juga seorang Kepala Komando Angkatan Bersenjata dan Badan Intelejen. Kukuasaan informalnya juga sangat luas. Model dari rezim Assad adalah auticratic dengan rezim komunis di Eropa Timur, tertama seperti halnya rezim Ceausscu di Rumania. Analoginya, bahwa pusat dari segala kontrol pimpinan, terminologi dari kepribadian, peran marjinal partai that was ostensibly in power, dan dominasi atas peran keluarga di dalam rezim, telah menciptakan semacam rezim ‘bercitarasa’ monarki .

Menurut Hafez sendiri, ia dipengaruhi oleh rezim Korea Utara Kim Il Sung. Singular role dari pimpinan, juga terungkap dalam slogan rezim, yang menekankan bahwa rakyat adalah citizen of Suriya al-Assad (Suriah-nya Al Assad). Referensi dari slogan ini agaknya meminjam dari terminologi Stalinis dan Islamic sycophancy. Jadi, Hafez Al Assad disebut sebagai “The Leader of the March” (Ba’th-nya Suriah ) (qai’d al-masira), “The Eternal Leader” (al-qa’id ila al-abd), “The Builder of Syria” (bani Suriyya), “The Hope of the Nation” (amal al-ummah), “Hafez of Honor” atau seorang penjaga kemuliaan (Hafez al-Karamah), “The Struggler” (munadil), dan “The Hero of Tishrin”.

Ia juga diidentikkan dengan pahlawan Muslim Salahudin Al Ayubi. Atribut yang disematkan padanya jika merujuk dari media Suriah dan poster, menggambarkan Hafez Al Assad yang bijaksana, courage, generosity, jenius, statesmanship, dan penyayang. Di atas semua ini, ia digambarkan sebagai inspirasi atas kecintaan dan kesetiaan rakyat padanya. Di saat yang sama, Assad juga menganggap dirinya sebagai ‘Islamic Leader’ (meskipun ia adalah seorang Alawite, yang bagi Sunni, bukanlah seorang Muslim). Ia digambarkan sebagai ‘a believing Muslim’ yang mencintai Allah dan rakyatnya. Salah satu yang tekankan dalam makam Hafez Al Assad adalah kalimat “Oh Ye who Believe! Obey Allah and Obey his Prophet and those who are in authority among you!” (Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Rasulnya, dan taatilah pemimpin di antara kamu!).Hal ini digunakan oleh rezim Muslim untuk mengokohkan legitimasi kekuasaannya selama berabad-abad, dan mendelegitimasi pemberontakan untuk memerangi mereka. Filosofi dari rezim bisa dibaca diantara baris demi baris kalimat di atas. Legitimasi yang dimiliki oleh Al Assad bukan saja sebagai seorang presiden, atau seorang presiden yang terpilih dari partai Ba’th. Ia digambarkan sebagai seseorang yang memiliki kebijaksanaan yang luas, yang layak ditaati tanpa keraguan.

Meskipun tampaknya Assad mempercayai penasehat dekatnya, namun ia hanyalah memberikan sedikit ruang bagi pendelegasian wewenang dalam hal-hal politik. Tidak ada pula proses birokrasi yang dilembagakan untuk membuat keputusan tentang perang dan perdamaian. Katakanlah kasus perang tahun 1973 melawan Israel, hal ini diputuskan oleh Presiden Mesir Anwar Saddat dan Presiden Assad, yang kemudian pelaksanaannnya diserahakan kepada tentara. Tampaknya, hanya ada sedikit, atau bahkan tidak ada perencanaan strategis sama sekali sebelum Assad memutuskan akan berperang. Demikian pula ketika persiapan untuk proses perdamaian antara Suriah dan Israel yang berujung ‘top down’.

Presiden Assad yang menentukan tujuan strategis, juga menentukan informasi yang dibutuhkan, berikut birokrasinya. Birokrasi Suriah terkenal tidak atau tidak mau menyediakan pilihan-pilihan untuk presiden yang berdasarkan hasil kajian atau analisis mereka sendiri. Assad juga tidak menganjurkan adanya grup think tank, yang bisa bekerja untuk mengakses pendapat, dan ia memilih mengakses langsung pendapat dari bawahannya dalam laporan yang secara bertingkat sampai kepada Presiden. Assad juga diketahui jarang mengadakan konsultasi multi-partisipasi atau menggelar sesi brainstorming.

Misalnya dalam operasi di Lebanon, ia menghindari rantai komando untuk mendapatkan laporan dari petugas di lapangan yang berpangkat rendah. Assad tidak berkonsultasi, melainkan hanya mengumpulkan informasi. Tak heran jika bawahannya jarang menerima umpan balik dari presiden. Gaya kepemimpinannya yang sentralis dan ‘micromanagement’, mungkin berasal dari taktik devide et eimpera, yang membatasi para deputi senior terhadap akses informasi, dan karenanya, ia bisa mempertahankan kontrol atas ketidak-pastian yang mungkin terjadi di antara anggota elit. Dengan cara ini pula,ia mepertahankan kesimbangan kekuasaan di antara jajaran pejabat.

Proses pengambilan keputusan di Suriah selama kepemimpinan Assad juga tidak meninggalkan ruang strategis untuk kecerdasan, dan penilaian yang bersih oleh ahli analisis yang profesional. Informasi yang dibawa presiden nampaknya relatif baku. Birokrasi Suriah tidak memiliki budaya membangun skenario dan membahas alternatif kebijakan. Dengan begitu, maka latar belakang informasi dan analisis yang disediakan untuk dijadikan pengambilan keputusan oleh presiden, didasarkan kepada pengetahuan dan analisis pribadi penasehat senior yang juga langsung berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Jadi, rezim Suriah tidak mengembangkan dukungan profesional untuk pengambilan keputusan seperti “Cabinet Office” di Inggris, “The American National Security Council” di Amerika Serikat ataupun “Planning Branch” di Israel. Gaya kepemimpinan ini diterapkan dalam bidang politik dan militer (yang selama ini Assad berperan sebagai pembuat keputusan), namun ia tidak begitu banyak mengambil keputusan di dalam bidang ekonomi. Gaya manajemen individualis ini juga terjadi di eselon yang lebih rendah, baik di dalam pemerintahan ataupun di dalam struktur kepartaian.

Benar, semua orang-orang yang berada di dalam lingkaran Presiden adalah anggota senior partia (hampir selalu merupakan anggota Komando Daerah), tetapi masukan yang mereka sampaikan dalam proses pengambilan keputusan tidak terkait dengan status formalnya di kepartaian, namun karena keanggotaan mereka di dalam ‘jamaah’ petugas yang merupakan bagian dari junta asli kepemimpinan Assad, dan ikatan mereka terhadap Assad lebih kuat dibandingkan dengan Assad dengan saudara-saudaranya. Mereka merupakan penasehat presiden, juga memberikan informasi tentang berbagai isu.

Meskipun konstitusi Suriah mendefinisikan kewenangan konstitusi formal, namun kekuasaan yang sesungguhnya dilakukan melalui metode ad hoc, menyeimbangkan satu kekuatan terhadap kekuatan yang lain. Rezim Suriah mempertahankan legislatif yang didominasi oleh Partai Ba’th yang dianggap sebagai bagian dari ‘National Progressive Front’.

Militer-Keamanan yang Kompleks

Militer Suriah adalah salah satu andalan utama rezim. Militer berada di bawah kontrol rezim Ba’th tidak hanya mencakup dalam pertahanan negara dalam menghadapi Israel, Turki, dalan dalam batas tertentu, adanya ancaman dari Irak misalnya, tetapi juga menjalankan tugas-tugas domestik kontra-terorisme dan pengumpulan intelejen.

Fakta bahwa Hafez al-Asad berkuasa melalui militer telah menandai rezim sebagai ‘rezim militer’. Komando Tinggi dari militer Suriah telah sejak lama dipimpin oleh seorang yang telah lanjut usia. Menurut peraturan sendiri, petugas yang dipromosikan untuk memegang jabatan adalah mereka yang telah mendekati usia 60 tahun. Namun eselon senior militer menerima dispensasi khusus sehingga bisa tetap mengabdi di usia pensiun. Akibatnya, adanya pergantian atau promosi di militer agak terganggu.

Suriah berada di bawah darurat militer sejak tahun 1963, sehingga militer dan mokhabarat memiliki kekuatan yang luas di sektor sipil. Selanjutnya, di era Hafez Al Assad, ada empat ‘penjaga tua’, yang merupakan anggota dari Komando Daerah (yaitu Asad, Rif’at Al Assad, Mustafa SVLK, Hikmat Shihabi). Tokoh partai juga memegang kontrol pada mokhabarat. Bangunan kekuasaan oleh Assad bisa dilihat pada gambar di atas.

[Lanjut ke bagian dua]