[Jurnal] Assad: Rezim Suriah dan Strategic Worldview (9)

Artikel ini adalah intisari dari jurnal di Comparative Strategy yang berjudul Bashar’s Syria: The Regime and its Strategic Worldview, yang dipublikasikan secara online pada 23 Februari 2007 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/01495930601105412. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

[Baca bagian delapan]
pemilu suriahMasyarakat Sipil di Suriah

Masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai ‘voluntary social’ atau asosiasi politik dalam ruang di dalam suatu negara yang tidak dikendalikan oleh pemerintah. Toleran dan demokratis bukanlah hal yang dianggap ekslusif, dan menerima bahwa organisasi dengan nilai ataupun kepentingan yang berbeda bisa beroperasi di ruang yang sama. Rezim Ba’th telah mengontrol total ruang publik, mengandalkan intimidasi dan pencegahan untuk mempertahankan cengkramannya kepada masyarakat, tetapi tidak benar-benar berinvestasi dalam indoktrinasi massa. Seperti Machiavelli, Assad tahu bahwa lebih baik ditakuti daripada dicintai.

Gerakan masyarakat sipil Suriah telah ada selama beberapa dekade di bawah pemerintahan Ba’th, namun mulai disorot ketika Bashar mulai berkuasa. Misalnya pada jatuhnya blok Sovyet, yang menimbulkan semacam ledakan di masyarakat kelas menengah di Damaskus. Namun banyak diantara mereka yang terlibat dalam gerakan harus membayar mahal dengan bertahun-tahun di penjara.

‘Musim Semi Damuskus’ misalnya, yang berubah menjadi ‘Musim Dingin Damaskus’ pada tahun 2001 dengan adanya penangkapan para pembangkang dan penutupan kelompok-kelompok politik yang terbentuk. Meskipun situasi ini tidak berubah, namun beberapa elemen dari masyarakat sipil Suriah terus mengkampanyekan ide-ide mereka. Deklarasi Demokrasi Perubahan Nasional di Damaskus baru-baru ini mencerminkan bahwa masyarakat menghendaki pembentukan rezim nasional dalam proses yang damai, bertahap, dan memiliki niat untuk melakukan dialog. Beberapa tokoh oposisi di dalam Suriah (seperti sebagai Riyad al-Turk) telah menuntut pengunduran diri Bashar sebagai jalan sebagai keluar dari krisis internasional sebagaimana yang dilaporkan Mehlis.

Ada tiga mazhab pemikiran dalam oposisi Suriah yang menghendaki perubahan rezim, yaitu:

  1. Gradualists, yang merasa bahwa rezim dapat didekonstruksi melalui pemberdayaan tambahan dari masyarakat dan meningkatkan pembatasan kekuasaan sewenang-wenang rezim. Sikap ini dapat ditemukan di antara reformis dan ‘back-benchers’ dalam partai Ba’th, beberapa teknokrat baru, elit politik dan bahkan di dalam beberapa oposisi Islam yang lebih moderat. Untuk beberapa kategori, pemikiran ini tampaknya tidak mencerminkan keinginan yang tulus untuk mengubah rezim, melainkan sekedar upaya untuk mengurangi tekanan.
  2. Internasionalist, yang percaya bahwa tekanan internasional yang terkonsentrasi bisa membawa reformasi atau bahkan perubahan rezim. Penganut pemikiran ini adalah para oposisi yang berada di pengasingan. Ini adalah bentuk sikap yang hanya mementingkan diri sendiri, karena hanya melobi luar negeri yang bisa mereka lakukan – mengingat kelompok ini tidak memiliki aset yang riil di dalam wilayah Suriah.
  3. Revolusioner, yang terinspirasi dari Revolusi Cedar di Lebanon. Mereka meyakini bahwa negara model Eropa Timur dapat ditiru di Suriah. Para penganut pemikiran ini, di mata rezim Suriah adalah pihak yang paling berbahaya sehingga banyak diantara mereka yang telah ditahan dan diasingkan. Mereka adalah anggota dari oposisi lama, seperti kelompok Ikhwanul Muslimin dan lainnya yang dilarang selama kepemimpinan Hafez.

Beragam gerakan sipil yang muncul di Suriah hancur karena keragaman itu sendiri. Pergerakan masyarakat nampaknya tidak mampu menyusun strategi yang bisa disepakati bersama dalam waktu yang lama. Kebanyakan intelektual dalam gerakan bertindak sendiri bekerja sendiri, dan kurang melakukan sosialisasi.

Cacat lainnya dalam gerakan masyarakat sipil adalah karena sebagian besar pemimpin gerakan adalah orang-orang yang disebut sebagai ‘oposisi yang ditoleransi’ oleh rezim Suriah. Mereka mendapatkan perlindungan khusus. Kesediaan mereka untuk mengekspos suatu tuntutan atau petisi biasanya hanya disesuaikan dengan adanya persepsi bahwa rezim Suriah menerima hal tersebut. Namun bila petisi itu nyata-nyata dianggap sebagai ancaman, maka bisa saja rezim Suriah berbalik dan menjadikan pemimpin gerakan itu sebagai ‘opoisisi yang tidak ditoleransi’.

Meskipun berbagai bagian dari masyarakat sipil Suriah bertentangan dengan rezim, namun tidak berarti mereka pro-Barat ataupun pro-Amerika. Banyak gerakan dalam masyarakat sipil yang cenderung berpemahaman ‘kiri’ dalam pandangan politik dan memandang Amerika sebagai imperialis dan neokolonialis, juga sebagai negara adidaya yang mencoba memaksakan hegemoninya atas dunia Arab dengan menggunakan kekuatan militer. Sikap anti-Amerika ini jelas dimanifestasikan dalam demonstrasi yang diadakan di Damaskus pada tahap pertama dari operasi Amerika di Irak.

Pada saat yang sama, oposisi memanfaatkan ‘pelajaran’ dari pendudukan Amerika di Irak dan memperingatkan rezim bahwa pendudukan ini dimungkinkan karena kurangnya legitimasi publik, mengingat orang-orang yang hidup di bawah penindasan tidak akan mengangkat senjata untuk membela negara. Oleh karena itu, menurut mereka, reformasi akan memperkuat legitimasi rezim dan ketahanan terhadap invasi Amerika.

Pada akhir 2003, Partai Reformasi Suriah (Hizb al-Islah al-Suri) didirikan di Washington, dipimpin oleh seorang pengusaha Suriah-Amerika, Farid Nahid al-Ghadri. Partai ini berusaha untuk menjadi aliansi partai oposisi tetapi belum memperoleh pijakan nyata dalam Suriah.

Rezim bertindak melawan oposisi ini dengan berbagai cara, termasuk penangkapan langsung, mencegah anggotanya memegang jabatan publik, dan secara halus, ini merupakan bentuk pelecehan. Penawaran yang diajukan rezim untuk pihak oposisi seringkali merupakan perangkap semata: tak lama setelah Bashar berkuasa ia menawarkan orang-orang Suriah yang telah diasingkan (antara lain karena ingin menghindari wajib militer) untuk kembali ke Suriah dan membayar kompensasi. Banyak yang kembali, namun mereka kemudian ditangkap, meskipun pada akhirnya dibebaskan. Banyak pemimpin Ikhwanul Muslimin yang diyakinkan untuk kembali ke Suriah juga ditangkap.

Oposisi dari Dalam Tubuh Rezim

Memburuknya status hubungan internasional dan regional Suriah, hilangnya kontrol atas Lebanon, dan situasi ekonomi dan keamanan yang memburuk akhirnya menghasilkan kritik atas kinerja Bashar sebagai presiden. Salah satu deskripsi yang tepat mengatakan bahwa, “Bashar mewarisi rezim fungsional di negara disfungsional dan sekarang telah menciptakan rezim disfungsional di negara disfungsional.”

Sumber utama ketidakpuasan atas kinerja Bashar berasal dari sisa-sisa para ‘penjaga tua’, terutama mereka yang kekuasaannya telah dicabut. Termasuk dalam kelompok ini adalah Hikmat Shihabi (yang memiliki hubungan dekat dengan Israel, faksi Hariri di Lebanon, dan Amerika), ada juga Ali Duba, Mohammad Nasef Kheir Bek (mewakili klan Kheir Bek dari Alawite),
Abd al-Halim Khaddam, Mohammad Zuheir Masharka, Mustafa Tlas, Bahjat Suleiman (mantan kepercayaan dan mentor dari Bashar yang diturunkan dari posisinya di General Intelligence), Hassan Khalil (Mantan Kepala Intelijen Militer), Adnan Badr al-Hassan (mantan Kepala Politik Intelligence), dan Ali Aslan (mantan Kepala Staf).

Urusan Hariri, bagaimanapun juga, berpotensi akan memicu perlawanan internal. Bashar kini tengah meringkuk di bawah tekanan internasional. Pernyataannya bahwa Suriah akan mengadakan investigasi sendiri dan menghukum pihak yang bertanggung jawab mungkin hanya tipuan untuk menangkis tekanan internasional. Beberapa orang yang menjadi bagai dalam rezim Suriah, khususnya mereka yang takut bahwa penyelidikan dapat berfungsi sebagai alat untuk ‘bersih-bersih’, akhirnya dapat memutuskan untuk mencuri start. Tersangka utama dalam kasus ini adalah Asef Shawkat dan Maher Al Assad.

Potensi ancaman lain yang mungkin saja datang berasal dari perwira muda. Tidak ada cara untuk mengetahui dari mana kemungkinan kudeta bisa datang. Namun kita bisa mengasumsikan bahwa ada koalisi antara perwir senior yang mengalami kerugian ekonomi atas memburuknya situasi di Lebanon – lantas berkembang sebagai oposisi internal.

[Lanjut ke bagian kesepuluh]