Artikel ini adalah intisari dari jurnal di Comparative Strategy yang berjudul Bashar’s Syria: The Regime and its Strategic Worldview, yang dipublikasikan secara online pada 23 Februari 2007 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/01495930601105412. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.
[Baca Bagian Tujuh]
Kondisi perekonomian di Suriah mengalami krisis abadi akibat kekurangan anggaran, inflasi sebesar sepuluh persen, pengangguran dan ketidak-seimbangan perdagangan. Pendapatan perkapita sekitar $1.200, penduduk yang berjumlah 17, 6 juta tumbuh sekitar 2,6 persen per tahun, dan tenaga kerja tumbuh hingga mencapai 4 persen per tahun. Pengangguran diperkirakan mencapai 12 -25 persen.
Sektor swasta dikerdilkan oleh sektor publik yang tumbuh pesat sejak Bashar berkuasa. Dominasi sektor pemerintah juga terlihat jika ditilik bahwa pengeluaran pemerintah mencapai 35 persen dari PBD dan sekitar 20 persen penduduk Suriah bekerja pada sektor milik pemerintah. Hampir setengah dari pendapatan negara digunakan untuk anggaran militer dan keamanan. Hutang luar negeri mencapai $21 miliar. Ekonomi Suriah sebagian besar tergantung pada pendapatan dari produksi minyak, namun kemungkinan akan habis pada tahun 2020. Dalam beberapa tahun ke depan, Suriah mungkin akan menjadi pengimpor minyak.
Pemerintah Suriah telah mengumumkan bahwa subsidi untuk bahan bakar akan dihapus pada tahun 2010. Pemotongan subsidi, bagaimanapun, akan memiliki konsekuensi ekonomi yang parah karena akan memicu kenaikan harga bagi barang-barang kebutuhan pokok lainnya, dan diduga akan berimbas pada ketidakstabilan domestik lebih lanjut.
Alawite di Suriah
Integrasi komunitas Alawite (yang juga dikenal sebagai Nessiris) ke Suriah yang modern tidak mendapatkan kepastian pada awal-awal Suriah berdiri. Ironisnya, ayah Hafez, yaitu Suleiman Al Assad, mengajukan petisi ke Perancis bersama dengan lima tokoh Alawite lainnya, untuk menjadikan wilayah Alawite ke dalam negara Lebanon, bukan ke negara Suriah, karena di Suriah, agama yang dianggap resmi adalah Islam (mazhab Sunni), dan Alawi dianggap sebagai kafir. Kebencian dan fanatisme tertanam dalam hati kaum muslimin Arab terhadap segala sesuatu yang non-Muslim telah terus-menerus dipelihara oleh umat Islam.
Namun saat ini, tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Alawite adalah pilar utama Suriah, meskipun mereka bukanlah satu-satunya. Dan meskipun elit politik utama Suriah saat ini adalah seorang Alawite, namun tidak semua elemen Alawite mendapat manfaat dari status tersebut. Masyarakat Alawite terdiri dari enam suku besar, masing-masing yang terdiri dari sejumlah keluarga yang saling terkait. Ada keluarga Al Assad sendiri, yang berasal dari suku Kalabiyya di kota Kardahah. Tentu, suku Kalabiyya memainkan peran sentral dalam rezim, bersama-sama dengan suku Hadadin, dari pihak ibu Bashar, dan suku Khayatin, yang secara tradisional bersekutu dengan Kalabiyya.
Alawite pada umumnya yang menonjol sebagai aparat militer dan keamanan. Jumlah Alawite hanya sekitar 12 persen dari populasi, namun mereka menguasai posisi strategis di bidang militer dan keamanan hingga 90%. Dominasi Alawite di militer telah ada sejak dulu, yang disebabkan karena status sosial Alawite dianggap lebih rendah, yang kebanyakan berprofesi sebagai buruh domestik pada orang-orang Sunni yang kaya. Akibatnya, banyak pemuda-pemuda Alawite yang merintis karir di dunia militer, dan keberadaan mereka telah kokoh bahkan sebelum Hafez menjadi penguasa. Akhirnya, rezim Assad telah disemen dengan Alawite dan Partai Ba’th sebagai pengontrol negara.
Meski tidak semua suku Alawite mendapatkan posisi di pemerintahan maupun militer, namun secara umum, wilayah mereka mendapatkan perlakuan istimewa. Setelah sempat menjadi daerah termiskin di Suriah, kini wilayah Alawite menjadi daerah paling kaya dan paling modern. Orang-orang Alawite banyak yang menjadi elit ekonomi dan politik. Kemakmuran ini, sampai batas tertentu telah mengorbankan pusat ekonomi dan budaya di Suriah utara, khususnya Ham’ah, Homs, dan Aleppo, dan menghasilkan kebencian terhadap Alawite.
Di awal 1980 Alawite mengorganisasikan diri dalam milisi ‘Ali al-Murtada’, dipimpin oleh Jamil Al Assad (adik Hafez). Di masa lalu, para ulama Alawite, Rijal Aldin, adalah pemimpin dari masyarakat Alawite secara keseluruhan. Mereka memainkan peran penting dalam mewakili Alawite sebelum era kolonial Perancis dan pada hari-hari awal kemerdekaan.
Karena masih dianggap sebagai kaum kafir, atau kadang disebut sebagai pembuat bid’ah, maka terjadi semacam ‘Islamisasi’ Alawi melalui pembangunan masjid bergaya Sunni dan meminimalkan referensi dari Alawite dalam aktivitas keagamaan. Ada ratusan sekolah-sekolah Sunni di Suriah, sementara tidak ada satupun sekolah yang mengkhususkan diri mengajar Alawite.
Akhirnya, ‘penjaga tua’ elit Alawite menciptakan sebuah jaringan yang rumit, yaitu patronase untuk kepentingan kota yang merupakan rumah leluhur mereka. Namun, dengan pergeseran dari ‘penjaga tua’ ke ‘penjaga muda’ di bawah Bashar, dan upaya Bashar sendiri memodernisasi administrasi, jaringan ini mulai berkurang. Ikatan antara penjaga muda kota besar dan desa tempat kelahiran rumah orang tua dan kerabat suku besar jauh melemah, dan secara alamiah, mereka kurang memiliki komitmen untuk mendukung masyarakat yang tidak memiliki pengaruh apapun dalam perebutan kekuasaan. Akibatnya, ada ketidakpuasan tumbuh di antara Alawite di wilayah Alawite. Ini mungkin akan melemahkan kesetiaan Alawite kepada Dinasti Al Assad. Hasilnya, ada upaya pencarian untuk kepemimpinan alternatif yang dapat melestarikan hak masyarakat.
Sunni di Suriah
Pada awalnya, rezim Ba’th membentuk aliansi dengan elit Sunni di pedesaan, yang berhadapan dengan elit Sunni di perkotaan. Namun perlahan, terjadi perubahan. Banyak dari ‘elit Sunni pedesaan’ akhirnya telah menjadi ‘elit perkotaan’ yang baru. Lalu secara bertahap, rezim mengembangkan basisnya di antara para penguasaha ataupun keluarga Sunni yang terpandang.
Banyak penguasaha Sunni di Damaskus yang merasa kesal dengan pembunuhan Hariri, yang dianggap sebagi simbol keberhasilan ekonomi. Beberapa bahkan mengklaim bahwa melalui sektor bisnis, orang-orang Sunni bisa meraih kembali kekuasaan, kendatipun kekuatan militer terkonsentrasi pada tangan yang lain. Ketegangan antara Suriah dan Lebanon bukan hanya kabar buruk bagi badan usaha yang dimiliki oleh para jenderal Alawite, melainkan juga kabar buruk bagi para penguasaha Sunni.
Ada beberapa tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pembunuhan Hariri telah menyebabkan gemuruh di komunitas Sunni. Namun untuk saat ini, belum ada tanda-tanda perlawanan yang terlihat, karena bagaimanapun juga, kelompok ini mementingkan stabilitas keamanan.
Suku-suku Sunni dari Timur Suriah (terutama di sepanjang perbatasan dengan Irak dan berafiliasi lintas batas dengan suku-suku Irak) telah absen dari pemerintahan selama beberapa dekade sejak Hafez berkuasa. Sedangkan Bashar, berupaya untuk menumbuhkan loyalitas kepada rezim di dalam komunitas Sunni. Kebijakan ini dimulai bahkan sebelum adanya pendudukan AS di Irak. Pecahnya Irak menjadi daerah-daerah yang ekslusif berdasarkan persamaan identitas kelompok ( Syiah, Kurdi, dan Sunni), tentunya akan menyebabkan banyak suku-suku Irak akan tergantung pada Suriah. Suku-suku Suriah berpartisipasi dalam pertemuan bulanan dari suku Irak dan Ba’thists di Damaskus, dan Bashar hadir sebagai tamu kehormatan.
Druze, Ismailiyah, Kristen, dan Kurdi di Suriah
Agama minoritas di Suriah yaitu Druze, Ismailiyah, dan Kristen, menikmati status khusus di bawah rezim Ba’th. Mereka, pada dasarnya adalah anggota koalisi yang dibangun selama bertahun-tahun oleh Hafez. Komunitas ini terintegrasi dengan baik ke dalam militer, demokrasi dan perekonomian. Jika rezim Suriah saat ini sampai jatuh, apalagi jika alternatifnya adalah digantikan oleh Sunni, maka ada kekhawatiran bahwa rezim Sunni tidak akan melindungi status mereka, lalu memaksakan Islam Sunni ke dalam Suriah yang heterodoks, atau meminggirkan mereka sebagai warga negara kelas dua.
Druze, sebagaimana Ismaliliyah dan Alawite, adalah sekte dari Syiah yang terkooptasi ke dalam rezim. Druze Suriah terutama berasal dari Golan dan perbatasan dengan Lebanon, yang dalam sejarah tidak pernah bentrok dengan Alawite. Di sisi lain, Ismailiyah adalah rival tradisional Alawite yang selalu bersaing. Misalnya ketika terjadi bentrokan antara Islamiliyah dan Alawite di kota-kota Qadmous dan Misyaf pada pertengahan 2005, yang mengakibatkan serangan terhadap rumah-rumah dan toko orang-orang Alawite.
Komunitas Kristen dalam jumlah Suriah sekitar satu juta, sekitar 6,5 persen dari
populasi. Mereka terbagi menjadi beberapa sekte. Rasa disintegrasi dan kebangkitan masyarakat Assyiria di Irak telah menyalakan demonstrasi umat Kristen di kota Hasakah. Pada bulan Oktober 2004, ribuan orang Kristen Assyria memprotes atas pembunuhan yang terjadi terhadap dua orang Kristen oleh orang Islam (Sunni). Perkembangan di Irak juga telah mempengaruhi hubungan antara Kristen Assyria Suriah dengan rezim. Identifikasi oleh Sunni Suriah yang menganggap umat Kristen Assyira berhubungan dengan dengan AS di Irak telah menghasilkan sentimen anti-Assyria di Suriah.
Kurdi di Suriah adalah warga negara kelas dua. Sikap rezim terhadap minoritas Kurdi yang berjumlah sekitar 2 juta jiwa di Hasakah timur telah membesarkan harapan mereka. Rezim telah membuat beberapa tawaran terhadap masyarakat Kurdi, yang menandai adanya perbaikan atas keluhan dan tuntutan mereka selama ini. Bashar juga mengunjungi Hasakah pada tahun 2002, kunjungan pertama dan satu-satunya dari Presiden Suriah yang pernah ada.
Namun munculnya sentimen Kurdi di Irak memiliki efek atas Kurdi di Suriah. Pada tahun 2004, ada perkelahian antara fans dari tim sepakbola Kurdi dengan tim sepakbola Arab di Hasakah telah memicu kerusuhan yang berkembang menjadi gelombang anti-rezim, dan menyebar hingga ke Damaskus. Insiden lain yang signifikan adalah ketegangan antara rezim dan Kurdi akibat hilangnya, penangkapan, dan kematian tokoh Kurdi Sheikh Mohammad Ma’shuq al-Khiznawi (Mei 2005), yang telah aktif dalam menyerukan reformasi di Suriah.
Protes Kurdi meletus dengan latar belakang sejarah diskriminasi terhadap Kurdi, termasuk penolakan dari rezim Suriah untuk memberikan status kewarganegaraan kepada orang-orang Kurdi yang menetap di wilayah Suriah. Menurut rezim, orang-orang Kurdi itu berasal dari Irak. Namun laporan dari Mehlis menyebutkan, bahwa para pejabat Ba’th di Suriah telah menghidupkan kembali kemungkinan untuk memberikan hak-hak pada orang-orang Kurdi yang tak memiliki kewarganegaraan.
Secara umum, Kurdi Suriah masih memilih dipimpin oleh rezim Alawite. Mengingat Islam Sunni dianggap jauh lebih membahayakan kepentingan mereka. Takut akan diterapkannya peraturan Sunni, nampaknya telah meningkatkan motivasi mereka untuk berkoalisi dengan rezim Ba’th. Tampaknya Kurdi akan tetap setia terhadap rezim, sebagaimana slogan yang mereka ucapkan, “ma fi gheiru” – tidak ada yang lain.
[Lanjut ke bagian kesembilan]