[Jurnal] Assad: Rezim Suriah dan Strategic Worldview (2)

Artikel ini adalah intisari dari jurnal di Comparative Strategy yang berjudul Bashar’s Syria: The Regime and its Strategic Worldview, yang dipublikasikan secara online pada 23 Februari 2007 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/01495930601105412. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis.Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

[Baca Bagian Pertama]

bathSuriah: Komunitas, Suku dan Keluarga

Alternatif sebutan yang disematkan pada rezim Suriah adalah ‘Rezim Ba’th’, ‘Rezim Alawite’, ‘Rezim Militer’ dan ‘Aparatur Keamanan’. Semua sematan ini valid satu dengan yang lainnya. Hanya saja, rezim Alawite ini tidak bertindak adil atas hubungan yang kompleks antara rezim Alawite dengan masyarakat dari komunitas lainnya (Sunni, Druze, Kristen, Yazidi, dan Ismailiyah).

Sebutan yang tepat untuk rezim Suriah adalah ‘confessional coalitionism’. Pertama, tidak semua kelarga Alawite menikmati status yang sama di hadapan rezim. Suku Asad Kalbiyya dan sekutunya adalah suku yang dominan.Kedua, sentralitas Alawite aktif di antara dua minoritas lainnya (Druze dan Ismailiyah)

Setelah ia memiliki kekuatan konsolidasi, Assad juga terkooptasi dengan komunitas Sunni di Damaskus, para elit ekonomi, sejak tahun 1980-an. Simbiosis antara elit militer Alawite dengan ekonom Sunni didasarkan karena perwira senior militer memberikan perlindungan dan menjamin kontrol monopoli pada sektro-sektor tertentu, menerima proporsi yang cukup besar dari hasil keuntungan.

Singkatnya, rezim Suriah didasarkan pada sistem patronase yang kompleks. Garis patronase mungkin berasal dari berbagai arah, seperti berikut:

Family power base: patronase di dalam keluarga ini sangat kuat di dalam masyarakat Alawite, Druze, Ismailiyah dan di lingkungan masyarakat Sunni pedesaan.

Party/bureaucracy power bases: patronase di dalam partai, cabang partai, organisasi populer, birokrasi dan sebagainya.

Communal or region-based power bases: Anggota ‘old guard’ dibangun berdasarkan basis kekuasaan di dalam komunitas mereka masing-masing. Patronase dilakukan dengan menyalurkan dana untuk masyarakat maupun suku-suku. Dari sudut pandang kepemimpinan, yang paling penting dari basis kekuasaan ini adalah Alawite, karena mereka memiliki akses ke tokoh senior militer maupun keamnanan.

Military prot´eg´ees: para anggota garda lama, yang memimpin militer Suriah di bidang pengamanan selama bertahun-tahun dan mereka masih memiliki mantan bawahan perpangkat tinggi dan anggota garda lama ini bisa menggunakan pengaruhnya.

Economic power bases: Hampir semua ‘old guard’ telah menghimpun dan mengontrol berbagai sektor ekonomi di Suriah. Bentuk pengaruh mereka sangat signifikan.

Foreign relations: Hubungan dengan negara-negara dengan yang berpengaruh atas kepemimpinan ini, seperti Rusia, Arab Saudi, Perancis.

Unsur-unsur dominan dalam rezim Suriah berada di lingkaran penasehat di sekitar presiden, yang mencakup semua kepala keamanan/ layanan militer, beberapa tokoh politik yang berpengalaman dan memiliki kemampuan diplomatik, atau lainnya yang memiliki nilai plus di hadapan presiden.

Sejak jatuhnya rezim Irak, pentingnya sektor kesukuan di Irak semakin meningkat. Suku-suku Sunni yang terletak di Suriah timur laut dulunya tidak memainkan peran sentral di dalam Partai Ba’th. Namun porositas di perbatasan Suriah-Irak dan ancaman infiltrasi dari elemen Islam radikal yang bertentangan dengan rezim Suriah, akhirnya meningkatkan daya tawar suku-suku bagi rezim. Daerah Ramadi di sisi perbatasan Irak dan Abu Kamal di sisi perbatasan Suriah, dianggap lebih ‘Irak’ dibanding Suriah. Dialek Arab yang digunakan di wilayah ini lebih mendekati Irak. Suku-suku utama di daerah ini adalah ‘Anaza, Agadat, al-Jabouri dan al-Fawzi yang sebagian besar dari klan mereka menetap di irak. Selama Perang Teluk pertama (1990-1991), wilayah ini sangat bersimpati pada rezim Saddam dan merupakan sumber kerusuhan di dalam negeri ketika Suriah berpartisipasi dalam koalisi. Secara historis, Partai Ba’th di wilayah tersebut berafiliasi dengan Michel ‘Aflaq–Salah Jadid, faksi dari partai yang digulingkan dan diasingkan ke Irak. Saddam juga dianggap telah menjalin hubungan yang dekat dengan kepala-kepala suku di daerah ini.

Banyak dari narasumber Suriah, termasuk mereka yang bertentangan dengan Hafez Al Assad menunjukkan bahwa Hafez tidak terlibat langsung dalam mengumpulkan kekayaan pribadinya ataupun menjalani hidup yang keras. Untuk mengatur dan mengontrol negara, Hafez Al Assad sangat memerlukan loyalitas dari para broker. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan memungkinkan mereka mendapatkan imbalan yang berasal dari kekuasaan. Sistem korupsi di partai dan rezim, misalnya. Kampanye anti-korupsi diluncurkan pada (Agustus 1977-Maret 1978, Januari 1985-1987, dan memimpin kampanye oleh Basil al-Assad sampai kematiannya pada tahun 1993).

Partai Ba’th

Bat’th menggambarkan dirinya sebagai perwakilan sejati masyarakat Suriah. Dari sudut pandang massa yang hadir, ada beberapa hal yang membenarkan klaim ini. Jumlah anggota anggota partai ini sekitar 1,8 juta, atau 18% dari penduduk dewasa. Partai adalah kendaraan untuk memelihara nomenklatura (tapi belum berhasil, atau bahkan belum melakukan upaya yang serius) untuk menanamkan ideologi Ba’th kepada masyarakat luas.

Partai Ba’th awalnya muncul sebagai gerakan kelas menengah, namun kemudian diambil alih militer, yang mencurigai kalangan menengah. Namun dengan aturan yang diberlakukan, munculah kelas menengah baru, yang merupakan gabungan dari kelas menengah yang lama dengan kaum borjuis baru, yang berbagi kepentingan dengan rezim.

Pada tingkat sosial, Partai Ba’th pada dasarnya adalah kendaraan untuk mobilitas sosial dan jaringan patronase untuk mencapai penghasilan tambahan dari rezim. Karena tidak semua anggota keluarga besar adalah anggota partai, angka ini juga dapat dilihat telah mewakili jumlah yang lebih besar dari warga yang menikmati hak istimewa berkat kerabat partai-anggota mereka.

Sekularisme partai merupakan salah satu sumber legitimasi yang penting. Diperkirakan bahwa sekitar 25% dari populasi non-Muslim Sunni (Alawite, Druze, Ismailiyah) atau non-Muslim (Kristen). Lainnya adalah Sunni non-Arab (Kurdi, Circassians, Turkman), yang secara tradisional bukanlah orthodoks ala Sunni, dan di saat yang sama, mereka mengkhwatirkan pertumbuhan Ikhwanul Muslimin. Maka untuk kelompok gabungan kelompok minoritas yang jumlahnya cukup banyak ini, maka sekularisme Partai Ba’th adalah benteng melawan dominasi Sunni dan fundamentalisme Islam. Hal ini kemudian dimanfaatkan rezim baik di dalam maupun di luar negeri.

Partai Ba’th didirikan di Suriah pada 1940-an, sebagai partai nasionalis Arab yang menganjurkan persatuan Arab, sosialisme dan non-sectarianism (non-sekterian) sekuler. Non-sekterian di dalam partai berasal dari pengaruh budaya Perancis, dominan dari Kristen, Alawi dan Druze di antara para pendiri partai. Partai ini tumbuh, meraup popularitas dan menyebar di luar Levant selama masa kejayaan nasionalisme Arab di tahun 1950-an dan 1960-an. Idealisme awal Ba’th ditunjukkan ketika menjadi bagian dari United Arab Republic (1958–1961), yaitu gabungan antara negara Mesir dan Suriah dengan Presiden Mesir Gamal ‘Abd al-Nasser sebagai pemimpinnya.

Prinsip-prinsip dalam Partai Ba’th didasarkan apda undang-undang internal (nizam dakhili) yang telah disetujui dalam Kongres Nasional pada bulan Juli 1980. Prinsip-prinsip ini sangat mirip dengan partai-partai komunis dari pertengahan abad kedua puluh, yang meliputi:

  1. Sebuah superstruktur transnasional yang disebut ‘Komando Nasional’ (jika dalam Partai Komunis disebut ‘Comintern’).
  2. Mekanisme yang ketat untuk mengendalikan keanggotaan dan tahapan untuk mencapai keanggotaan penuh dalam partai.
  3. Struktur hirarki, yang menduplikasikan dirinya sendiri dalam setiap tingkat partai (nasional, regional, lokal).
  4. Mekanisme pemilihan formal sebagai represntasi dari akar partai, dengan memeriksa kesediaan dana untuk menjamin dominasi kepemimpinan partai.
  5. Komite da organisasi rakyat untuk mobilisasi dari keanggotaan partai. Mekanisme ‘kritik’ dan ‘mengkritisi diri’ untuk melestarikan kesesuaian ideologis.

Unsur-unsur pan-Arab dari struktur partai, seperti revolusionerisme dari ideologi Partai Ba’th, sesungguhnya telah usang. Model partai di Suriah adalah partai rezim, satu-satunya yang berkuasa. Konstituen dari Partai Ba’th meliputi:

1. Komando Nasional (Arab)
2. Sekretaris Daerah,
3. Komando Daerah,
4. Biro dan Komite Komando Daerah,
5. Komite Sentral,
6. Kongres Regional,
7. Organisasi Populer,
8. Pekerja dan Asosiasi Profesional,
9. Cabang, Sub-Cabang, Seksi dan Sel, dan
10. Partai di layanan militer dan keamanan.

Adanya erosi dalam pan-Arabisme Ba’th tampak jelas ketika terjadi perpecahan antara Suriah dan Irak, yang ditandai dengan melemah hingga hilangnya ‘Komando Nasional’. Partai Ba’th di Irak maupun Suriah, ideologi partai berada dalam posisi skunder dan tidak ada aktivitas intelektual yang nyata untuk mengembangkan ideologi Ba’th lebih lanjut. Sebagian besar anggota Ba’th dari Irak maupun Suriah tidak memiliki pengetahuan yang memadai terkait rujukan utama di dalam partai.

Doktrin dari Partai Ba’th mereka anggap sebagai slogan dari ideologi, yang jika dilihat dari pengambilan keputusan, mencerminkan subordinasi doktrin untuk kultus terhadap kepemimpinan tertentu di suatu neggara dan tidak mengungkapkan doktrin-doktrin politik yang nyata. Aktivitas intelektual pada isu-isu ideologis pada akhrinya mati, seerti yang terjadi pada Ba’th di Yordania dan Lebanon.

Naiknya kekuasaan dari Partai Ba’th di Suriah (1963) dan Hafez Al Assad (1970) membawa transformasi dari pandangan Ba’th Suriah tentang peran partai yang semula adalah “leading the masses”, kemudian menjadi “instrument for mass mobilization”. Transformasi ini tercermin dalam perekrutan anggota.

Tidak seperti sistem lainnya (yang pura-pura) sangat ideologis di abad dua puluh dan mengalami pasang surut, ideologi Ba’th tidak memiliki akar bahkan diantara anggota partai. Hal yang sangat langka ini sangat kontras jika dibandingkan dengan ideologi lainnya seperti rezim komunis Uni Sovyet, Eropa Timur, dan RRC, yang mempelajari teks ideologi Marxisme-Leninisme, dan untuk mengembangkan teori kontemporer yang bisa menjelaskan masalah dengan cara yang kompatibel dengan ideologi.

Kecenderungan ini dapat dijelaskan dengan menyoroti otokrasi pragmatis dan Machiavellian dari Hafez Al Assad, dan keinginannya untuk tidak terkekang di dalma kontrolnya sendiri. Langkah ini difasilitasi oleh adanya manuver politik yang dilakukan rezim, tanpa adanya semacam ‘borgol’ dari ideologi. Contoh pertama yang sangat nyata adalah penolakan Suriah dari koalisi total antara negara-negara Arab dalam perang Iran-Irak. Suriah memiliki ideologi sekuler Ba’th dan merupakan negara Arab, namun Damaskus hanya seorang diri diantara negara-negara Arab yang mendukung Iran. Meskipun jelas menunjukkan inkonsistensi dengan prinsip-prinsip solidaritas Arab, namun bagaimanapun juga, tidak ada bukti bahwa pilihan Suriah ini menuai protes dari Partai Ba’th.

Marjinalisasi di dalam ideologi diperbolehkan jika bertujuan mencari legitimasi de facto. Retorika Ba’th, mengutamakan ‘Suriah’ dibandingkan dengan ‘ke-Arab-annya’. Dengan demikian, kebijakan disesuaikan dengan prioritas utama Suriah, kepentingan partikularistik Suriah, dan rezim Suriah telah mempromosikan nasionalisme Suriah berdasarkan ‘Syria (Damascus) to the Arab Nation’. Warisan Umayyah (661-750) dan Salahudin (d. 1193) digunakan untuk membenarkan kepemimpinan Suriah, setidaknya di wilayah yang dianggap sebagai Bilad al-sham (the country of Syria) atau Suriya al-Kubra (Greater Syria).

Akibatnya, rezim Suriah tidak pernah berdamai dengan kemerdekaan penuh negara tetangganya seperti Lebanon, Yordania, dan Palestina. Hal ini sangat jelas terungkap dalam kasus Lebanon, Suriah belum pernah (bahkan sebelum penduduan Suriah pada tahun 1975), menempatkan keduataan di Lebanon dengan alasan tidak diperlukan kedutaan dari 2 daerah yang merupakan bagian dari sebuah negara yang sama.

[Lanjut ke bagian tiga]