Seandainya teori boleh diilustrasikan, barangkali mirip dengan jamur. Setidaknya, itu pendapat Fred Halliday. Dalam bukunya, The Middle East in International Relations: Power, Politics and Ideology (2005:21), Halliday menyebut teori bak jamur yang memiliki tiga jenis: layak dikonsumsi, biasa saja dan perlu abaikan, serta beracun. Meskipun fokus studi Halliday tentang masalah Timur Tengah di kavling hubungan internasional, tapi ilustrasi ini memberi peta besar mengenai nasib teori dalam ilmu hubungan internasional, yang termasuk disiplin ilmu sosial paling bontot dibandingkan yang lain.
Pertama, dalam disiplin ilmu hubungan internasional terjadi dominasi negara tertentu terhadap negara lain yang mempengaruhi kelahiran teorinya. Jörg Friedrichs dalam “European Approaches to International Relations Theory: A House with Many Mansions” (2004:1-28) mengajukan gugatan menohok mengenai dominasi intelektual AS dalam disiplin ilmu hubungan internasional, yang disebutnya sebagai bias struktural.
Friedrichs mendeteksi terjadinya pola produksi wacana akademis di Amerika Serikat, dan konsumsi di negara lain. Riset Friedrichs ini mempertegas temuan sarjana Kanada, Kalevi Holsti pada pertengahan 1980-an yang mengandalkan fakta statistik mengenai hegemoni intelektual di bidang hubungan internasional AS (dan juga Inggris) di seluruh dunia.
Holsti dalam “The Dividing Discipline: Hegemony and Diversity in International Theory” (1985:103) menunjukkan masalah hirarki disiplin ilmu yang menjadi salah satu ciri khas dari teori politik internasional. Literatur yang memproduksi teori hubungan internasional dari sekitar 155 negara dunia ternyata didominasi oleh dua negara yaitu: Amerika Serikat dan Inggris. Menurut Holsti, kedua negara ini membentuk kondominium intelektual di ranah hubungan internasional.
Titik awal analisis Holsti mengenai model interaksi komunitas sarjana internasional yang mencakup setidaknya dua karakteristik. Pertama, komunikasi profesional antara peneliti yang berada dalam yurisdiksi politik yang berbeda dan terpisah. Kedua, pola simetris dari “produksi” dan “konsumsi” mengenai teori, ide, konsep, metode, dan data antara komunitas akademis negara-negara dunia. Studi Holsti menunjukkan terjadinya pola hirarkis komunikasi yang ditandai dengan segelintir pihak berperan sebagai produsen, dan kebanyakan yang lain sebagai peniru dan konsumen, dengan posisi arus pengetahuan mengalir dari pusat ke pinggiran.
Riset Friedrichs dan Holsti semakin terang ketika Halliday (2005:30-35) menjelaskan urgensi kekuatan ide dalam teorisasi hubungan internasional; yang bertumpu pada tiga unsur utama, yaitu: ideologi, persepsi dan norma. Pada ketiga unsur tersebut, dominasi intelektual Barat semakin menemukan relevansinya di kavling studi kawasan Timur Tengah.
Contohnya, penyebutan kata Timur Tengah sendiri secara ide dilakukan oleh kolonialis yang melihat kawasan tersebut sebagai target kepentingannya. Setidaknya penamaan ini pertama kali dipopulerkan oleh seorang ahli geostrategis AL-AS, Alfred Thayer Mahan pada tahun 1902, meskipun sejumlah literatur menyebutnya telah dipergunakan kisaran tahun 1850 oleh kolonial Inggris di India. Menurut Sedat Laciner ( 2006), Mahan pertama kali mempopulerkan istilah Timur Tengah dalam papernya yang berjudul “The Persian Gulf and International Relations”, yang dipublikasikan September 1902 di jurnal Inggris, The National Review.
Kedua, teori ilmu sosial yang kebanyakan lahir dari proses induksi berhasil memotret sebuah masalah secara partikuler, tapi acapkali gagal menangkap keseluruhan dan benang merahnya. Persis seperti kekhawatiran Edward Said bahwa intelektual tenggelam dalam lautan partikuler dan melupakan keseluruhan. Misalnya, teori tentang terorisme yang berkembang selama ini kerap diwarnai dua paradigma utama yaitu, struktural dan ideologis dengan sejumlah kekurangannya.
Paradigma struktural bisa menjelaskan faktor penyebab mengapa kelompok-kelompok teroris tumbuh subur di negara-negara berkembang yang sebagian rakyatnya tidak mendapatkan hak-hak mereka seperti: hak kesetaraan, perlindungan sipil, dan kebebasan, terutama di sektor sosial, ekonomi dan politik.Tapi, pendekatan ini gagal menangkap relasi global, karena menempatkan terorisme sebagai bagian masalah negara per negara yang hanya terpusat pada relasi rakyat dan pemerintah sebuah negara.
Demikian juga dengan paradigma ideologis yang meletakkan akar terorisme sebagai persoalan ideologi. Pasca ambruknya Uni Soviet, berbagai studi akademis tentang terorisme setelah peristiwa 11 September 2001, seperti yang dilakukan RAND menunjukkan temuan faktor-faktor ideologis-teologis sebagai pemicu terorisme dengan merujuk al-Qaeda, dan turunannya. Mereka menilai terorisme lahir dari sumsum agama yang ditafsirkan secara literalis dan tekstual oleh kelompok radikal tertentu. Berbagai studi tentang formalisme simbolik agama yang diusung para teroris semakin meneguhkan tesis Huntington tentang benturan peradaban antara Barat dan Islam.
Pendekatan kedua ini juga mengandung kelemahan epistemologis di antaranya generalisasi terhadap sebuah agama tertentu yang diidentifikasi dari segelintir orangnya sebagai teroris, seperti al-Qaeda yang diklaim sebagai representasi kolektif dari Islam radikal. Lebih dari itu, paradigma struktural maupun ideologis (teologis) tidak menukik terhadap root cause (akar) tentang terorisme, sebab melepaskan aktor utamanya. Berbagai studi yang dilakukan para analis terorisme dari Sidney Jones hingga Tore Bjorgo masih berkutat menggunakan dua pendekatan tersebut, yang jarang menghadirkan aktor utamanya dalam realitas internasional. Akibatnya, resep yang mereka tawarkan acapkali bertumpu pada penguatan keamanan domestik, peningkatan kesadaran bela negara, dan memperbaiki pola hubungan antara negara dan rakyat yang renggang, tapi tidak menyinggung aktor internasional di balik kemunculan terorisme. Padahal itu yang paling utama digali.
Barangkali, pandangan Dipesh Chakrabarty ada benarnya ketika menyebut sebagian teori ilmuwan Barat di bidang ilmu sosial masih berguna, tapi tidak memadai. Tampaknya ke depan perlu upaya lebih serius untuk merumuskan teori yang sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi, termasuk ilmu sosial di Indonesia. Sebab, jika tidak jeli dan hati-hati, teori-teori itu akan merugikan kita sendiri, seperti disinggung Fred Halliday di awal tulisan ini, “Theories are like mushrooms: they can be classified into three categories…Some is edible, some is indifferent, but some is definitely poisonous.”
Daftar Pustaka
Chakrabarty, Dipesh. Provincializing Europe: Postcolonial Thought and Historical Difference. New Jersey, Princeton University:2000.
Chernoff, Fred. Theory and Metatheory in International Relations Concepts and Contending Accounts. New York, Palgrave Macmillan: 2007.
Friedrichs, Jörg. European Approaches to International Relations Theory:A House with Many Mansions, New York, Routledge:2004.
Halliday, Fred. The Middle East in International Relations: Power, Politics and Ideology. Cambridge University Press: 2005.
Holsti, K. J. The Dividing Discipline: Hegemony and Diversity in International Theory, Boston, Allen & Unwin:1985.
Laciner, Sedat. (2006), Is There a Place Called ‘The Middle East’? http://www.turkishweekly.net/2006/06/02/news/is-there-a-place-called-cithe-middle-east/ diakses 20 Februari 2016.
Said, Edward W. Orientalism. New York, Vintage Books:1979.
………………. Representations of the Intellectual: The 1993 Reith Lectures, New York, Vintage Books:1996.
*Peneliti ICMES. Email:purkonhidayat@ic-mes.org