[Jurnal] ISIS, Kegagalan dari Kebijakan ‘Indirect Orientalism’ AS di Timur Tengah

Artikel ini adalah intisari dari jurnal Critique: Journal of Socialist Theory yang berjudul The Failure of Indirect Orientalism: Islamic State, yang dipublikasikan secara online pada 22 Desember 2014 di tautan ini: http://dx.doi.org/10.1080/03017605.2014.984500. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel paper ini.

isis-bakar-pilot-yordania_20150204_20150204_074350ISIS, Kegagalan dari Kebijakan ‘Indirect Orientalism’ AS di Timur Tengah

Jülide Karakoç

Amerika Serikat (AS) telah memberlakukan kebijakan indirect orientalism (orientalisme tak langsung) di Timur Tengah sejak awal 2000-an. Seperti yang telah saya tuliskan pada Critique, dogma orientalis didasarkan pada superioritas Barat terhadap Timur, mulai dikejar oleh aktor oriental. Dalam kerangka ini, Arab Saudi, Turki dan Israel menjadi aktor yang menonjol (berbasis Sunni), yang bisa membantu AS, keberpihakan kepada Israel dan kebijakan anti-Iran. Untuk mendorong ambisi negara-negara ini yang ingin menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah, AS memberikan kontribusi agar mereka menjadi lebih aktif dalam politik regional. Lebih khusus, Turki dipromosikan sebagai model bagi negara-negara regional pasca pemberontakan Arab, sementara Israel disebut sebagai perwakilan negara dengan nilai-nilai Barat. Adapun Arab Saudi, bersama dengan Turki, menjadi aktor penting dalam kebijakan AS, yang menekankan dualitas Sunni-Syiah di wilayah tersebut. Namun, perubahan yang terjadi setelah pemberontakan Arab merupakan tantangan nyata untuk kebijakan indirect orientalism AS.

Secara khusus, saya berpendapat bahwa kelompok militan Negara Islam (ISIS), adalah ancaman serius bagi seluruh etnis, Islam dan Kristen minoritas di wilayah tersebut – dan ini merupakan contoh kegagalan kebijakan indirect orientalism AS terhadap Timur Tengah. Dalam kerangka ini, saya membahas faktor-faktor yang berkontribusi terhadap munculnya dan berkembangnya ISIS dan dinamika daerah.

Faktor Pertumbuhan ISIS

ISIS bisa dilacak mulai dari akarnya Abu Musab Al Zarqawi, yang membentuk Al Qaeda di Irak (AQI). Negara Islam di Irak (ISI) dibentuk oleh AQI sebagai organisasi yang memayungi anggotanya etelah kematian Zarqawi pada tahun 2006. Sebelumnya, kekuatannya melemah karena Sunni Arab menolak taktik brutal. Namun, setelah Abu Bakr Al Baghdadi menjadi pemimpinnya, kemampuan yang lemah dibangun kembali. Hal ini memungkinkan ISI untuk mulai menyerang target non-Sunni, dan bergabung dengan
pemberontakan melawan rezim Assad Suriah dengan mendukung Jabhat Al Nusra (cabang Al-Qaeda di Suriah), yang dibentuk pada bulan Januari 2012.

Pada bulan April 2013, Baghdadi menyatakan pembentukan ISIS dengan mengumumkan penyatuan kekuatan di Suriah dan Irak. Sejak itu, ISIS yang mendasarkan ideologinya pada interpretasi ekstrim Islam Sunni, telah menjadi salah satu organisasi jihad terbesar di dunia.

Berbagai faktor dapat menjelaskan kemajuan yang dramatis ini. Pertama adalah dampak dari invasi AS ke Irak pada tahun 2003. Setelah penggulingan Presiden Irak, Saddam Hussein, dan rezimnya, masyarakat Irak yang tertindas khususnya Syiah dan Kurdi, mendominasi dalam pemerintahan baru. Dengan demikian, Jalal Talabani, seorang Kurdi, menjadi Presiden Irak, sementara Syiah menjadi perdana menteri. Masyarakat Sunni disingkirkan dari lembaga negara, dan semakin terpinggirkan. Oleh karena itu, sebagian besar dari mereka memutuskan mendukung, langsung atau tidak langsung, serangan yang menargetkan Syiah dan Kurdi.

ISIS dianggap organisasi jihad paling ambisius dan menjanjikan, bukan karena keunikan ideologi melainkan karena aktivisme yang berdasarkan kebrutalan, taktik menyebarkan ketakutan seperti pembunuhan massal, pemenggalan dan penculikan orang-orang dari etnis dan agama minoritas lainnya. Strategi ISIS untuk memenangkan hati dan persepsi masyarakat dengan menggunakan media, menyediakan pelayanan sosial dan dukungan di bidang ekonomi, perlu menjadi pertimbangan.

ISIS dianggap sebagai salah satu organisasi jihad yang menggunakan peluang di media sosial dengan efektivitas yang luar biasa, melalui penyiaran propaganda ideologi melalui video dan website. Ada banyak rekaman video yang beredar di internet, baik yang menunjukkan pemenggalan brutal ataupun iming-iming bagi yang mau bergabung dengan ISIS. Demikian juga halnya dengan dakwah melalui pertemuan-pertemuan langsung (misalnya deklarasi baiat-pen), mampu meningkatkan keanggotaan organisasi. Pertemuan-pertemuan ini dilaporkan juga menargetkan anak-anak dan diselenggarakan untuk meningkatkan dukungan lokal dengan memaparkan ideologi ISIS.

ISIS tampaknya juga menghindari melakukan pengulangan kesalahan yang dilakukan Al Qaeda. Mereka tidak mengecualikan bekerjasama dengan mantan Baathists ataupun suku Sunni lokal. Sebaliknya, ISIS malah mempromosikan diri sebagai wakil dan pembela Islam Sunni.

Pelembagaan adalah faktor lain yang berkontribusi terhadap ekspansi ISISIS, yang tidak hanya memberlakukan pendidikan di sekolah-sekolah yang berhasil dikontrol tetapi juga aktif dalam mencoba menerapkan aturan syariah di setiap domain kehidupan.

ISIS mengumumkan pembentukan sebuah kekhalifahan, yang dapat dinilai sebagai langkah taktis penting untuk meningkatkan dukungannya sebagai satu-satunya, sebagai referensi Sunni yang paling benar. Langkah ini terkait dengan fakta bahwa ISIS, seperti halnya Al Qaeda, memiliki tujuan global. Namun yang banyak menarik perhatian dari negara-negara Barat adalah dicaploknya Mosul pada Juni 2014 yang diikuti dengan pembantian terhadap komunitas Yazidi di Sinjar. Peristiwa ini mengungkapkan keseriusan ancaman ke wilayah tersebut.

Meskipun terjadi perbedaan pendapat antara ISIS dengan dengan Ayman al-Zawahiri, pemimpin pusat Al Qaeda, ISIS tampaknya telah mengadopsi visi Osama bin Laden yang hanya memberikan tiga pilihan dalam Islam: konversi, penaklukan atau kematian.

Akibatnya, kekerasan telah menjadi instrumen penting. Untuk meneror musuh-musuhnya, IS melakukan banyak kekejaman, termasuk pemenggalan, penyaliban, penyiksaan, pemerkosaan, penculikan dan pembunuhan massal, yang kemudian dipertontonkan kepada dunia. Selain kekerasan terhadap orang-orang lokal, ISIS juga mendokumentasikan pembunuhan yang dilakukan terhadap orang-orang Barat, misalnya pemenggalan jurnalis AS, James Foley. Cara kerja ISIS begitu efektif sehingga saat ini, mereka dianggap sebagai ancaman yang sangat serius oleh AS. Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel menyebutkan, ‘…beyond just a terrorist group, they marry ideology, a sophistication of strategic and tactical military prowess, they are tremendously wellfunded. This is beyond anything that we have seen.’

Raja Abdullah dari Arab Saudi memperingatkan para ulama, para dan cendekiawan, mengkritik mereka yang diam mereka dalam menanggapi kekejaman yang dilakukan oleh ISIS. Selain itu, sejumlah syeikh terkemuka, yang di masa lalu telah mendukung kelompok-kelompok jihad, termasuk Al Qaeda, dan Abu Muhammad Al Maqdisi, yang merupakan mentor sekaligus guru spiritual Abu Musab Al Zarqawi, juga mengkritik IS. Ia menuduh ISIS telah memecah belah kaum Muslim. ISIS menghindar untuk terlibat dalam perdebatan ideologis dengan representasi Islam Sunni lainnya, dan lebih suka menunjukkan aktivitasnya dengan menggunakan media sosial.

Perbedaan lain adalah, tidak seperti Al Qaeda, ISIS lebih menekankan pentingnya untuk mengontrol teritorial, bukan melakukan serangan bunuh diri. Dengan kemajuan operasi militernya di Suriah dan Irak, ISIS telah berhasil mengangkangi daerah yang luas, dan telah menjadi kelompok jihad pertama yang bisa menguasai sumber daya ekonomi seperti ladang dan kilang minyak. Dilaporkan, saat ini ISIS menguasai tujuh ladang minyak dan dua kilang kecil di Irak utara. ISIS juga berhasil mendapatkan pemasukan dari pemerasan dan penculikan, juga sumbangan dari individu maupun kelompok yang mendukung ISIS.

Di luar semua faktor ini, kita dapat mengatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan perkembangan ISIS adalah kegagalan kebijakan indirect orientalism AS. Pemberontakan di Suriah dimulai pada Maret 2011 di untuk martabat, kebebasan dan kesejahteraan. Tujuan pemberontakan untuk menggulingkan otoriter rezim otoriter Assad tidak berhasil, dan perang saudara yang kompleks terus terjadi antar berbagai aktor etnis dan agama. AS, Turki, dan Arab Saudi, membantu berbagai kelompok yang melawan rezim Assad, tanpa membuat semacam kesepahaman antara satu dengan lainnya.

Hasilnya, selain Free Syrian Army (FSA), beberapa kelompok Islam, seperti Jabhat Al Nusra, yang terkait dengan Al-Qaeda, dan Front Islam, telah terlibat dalam perang saudara. Hasilnya, pejuang jihad (terutama ISIS) menjadi lebih dominan dan berpengaruh dibandingkan FSA di Suriah. Turki dilaporkan memberikan dukungan logistik kepada anggota ISIS, dan pemerintah Turki telah membiarkan jihadis menggunakan Turki sebagai tempat transit dalam perjalanan ke Suriah dan Irak. Peristiwa yang terjadi pada bulan Januari 2014 adalah contoh kasus yang sangat mencolok. Beberapa truk dari Turki, yang dihentikan oleh pasukan keamanan di dekat perbatasan Turki-Suriah, diduga membawa senjata untuk ISIS. Namun, atas perintah dari Menteri Dalam Negeri, gubernur setempat memblokir upaya pengusutan truk. Kemudian Menteri Dalam Negeri, Efkan Ala, menyatakan bahwa truk tersebut membawa bantuan untuk etnis Turkmen di Suriah.

Selain itu, dilaporkan bahwa anggota ISIS yang terluka saat bertempur di Suriah, dirawat di rumah sakit Turki, yang menyediakan segala macam fasilitas. Turki juga melakukan upaya untuk menghambat pergerakan otonomi Kurdi di utara Suriah, tepatnya di Rojava. Sikap pemerintah Turki terhadap konflik di Kobane mendukung pendekatan ini. Turki menyebut PYD sebagai teroris, lalu pasukan keamanan Turki campur tangan di perbatasan untuk menghentikan bantuan kepada orang-orang Kurdi. Tuduhan-tuduhan ini juga dikuatkan oleh keterangan Peshmerga Kurdi, yang telah berjuang melawan ISIS. Menurut Pashmerga, anggota ISIS-lah yang menggunakan senjata yang diproduksi oleh Turkish Mechanical and Chemical Industry Corporation (MKE).

Lalu pilar lain dari kebijakan AS, Arab Saudi, memiliki catatan panjang dalam mendukung pasukan pemberontak Suriah, termasuk kelompok-kelompok Islam radikal, meskipun menolak tuduhan Iran bahwa mereka juga mendukung ISIS. Namun demikian, dilaporkan bahwa orang-orng kaya Saudi telah mendukung secara finansial, dan ribuan warga Saudi juga telah berangkat ke Suriah untuk melawan rezim Assad.

Secara keseluruhan, hal inilah yang telah membuka jalan bagi pertumbuhan IS. Baru-baru ini dikonfirmasi oleh Hillary Clinton, mantan Menteri Luar Negeri AS yang mengaku bahwa kegagalan dalam membantu pemberontak Suriah-lah yang telah menyebabkan munculnya ISIS. Penjelasan yang menguatkan pernyataan Hillary juga disampaikan oleh Wakil Presiden AS, Joe Biden, yang menyalahkan sekutu-sekutu AS yang telah menyebabkan berkembangnya ISIS.

[Lanjut ke bagian dua]