[Jurnal] Iran dan SCO: Antara Ideologi dan Realitas Kebijakan Luar Negeri Iran

Tulisan ini merupakan intisari dari jurnal yang dimuat dalam Asian Affair yang berjudul Iran and the Shanghai Cooperation Organization: Ideology and Realpolitik in Iranian Foreign Policy, Australian Journal of International Affairs, 69:1,88-103, DOI: 10.1080/10357718.2014.934195, yang dipublikasikan secara online pada 21 Juli 2014 di tautan ini: httphttp://dx.doi.org/10.1080/10357718.2014.934195. Perspektif, analisis, dan kesimpulan yang dilakukan penulis jurnal tidak mencerminkan sikap ICMES. Pemuatan artikel ini bertujuan untuk mempelajari model-model analisis yang dilakukan para ilmuwan dari berbagai latar belakang, dengan tujuan akademis. Selanjutnya, ICMES akan membuat tulisan [Commentary] yang berisi tanggapan ilmiah atas artikel jurnal ini.

IranIran dan SCO: Antara Ideologi dan Realitas Kebijakan Luar Negeri Iran

Shahram Akbarzadeh [1]

Pendahuluan

Republik Islam Iran telah berusaha mengejar keaanggotaan penuh dari Shanghai Cooperation Organisation (SCO). Hal ini berarti, Iran telah menjelma sebagai negara berpengaruh yang telah bersekutu dengan Rusia dan China, dua negara yang secara sistematis telah menekan kaum minoritas Muslim selama beberapa dekade. Dengan kata lain, kehendak Iran bergabung dengan SCO tampak bertentangan dengan citra yang dibangun selama ini sebagai negara yang paling peduli kepentingan kaum Muslim. Namun pada kenyataannya, Iran duduk bersama dengan rival Amerika Serikat (AS). Memang, SCO dipandang sebagai penyeimbang geopolitik atas AS, namun harus diakui bahwa ada kesenjangan antara ideologi dan geopolitik yang sangat jelas dibawah kepemimpinan Ahmadinejad.

Kebijakan luar negeri Iran cenderung melakukan pengambilan keputusan melalui prisma ideologi, yang menyatakan Iran sebagai negara penganut Islamisme. Ideologi Islam ini memiliki karakteristik kunci, seperti khawatir pada Barat dan negara-negara tetangga, dan hal ini yang selalu disorot pemimpin Iran. Karakteristik pertama adalah anti imperialis, yang menyalahkan negara adidaya atas ketidak-adilan yang dialami oleh dunia Islam.

Kebijakan luar negeri Iran pasca 1979 adalah penolakan terhadap AS dan Uni Sovyet, yang dikemas dalam slogan na sharghi, na Gharbi, jumhourie Islami (tidak ke Timur, tidak ke Barat, inilah Republik Islam). Konsolidasi Republik Islam Iran di tahun 1980 seharusnya menawarkan alternatif diluar Barat dan Soviet. Namun pada kenyataannya, AS yang menjadi fokus utama perhatian pemimpin Iran karena hubungan yang erat antara AS dengan rezim terguling Shah Reza Pahlevi. Disintegrasi Uni Soviet pada tahun 1991, menjadi alasan efektif untuk menghapuskan slogan Iran, dan mengakibatkan obsesi Iran difokuskan pada AS, dan sebuah konsekuensi dari perspektif ini jelas bahwa eksisnya AS di lembaga-lembaga internasional, merupakan bagian dari konspirasi luas untuk melemahkan dunia ketiga/ dunia Muslim.

Kritik Iran terhadap PBB dan organisasi internasional lainnya karena telah membiarkan sebuah tatanan dunia yang tidak adil — sesuai dengan opini publik di berbagai belahan dunia. Kegagalan masyarakat internasional untuk menyelesaikan sengketa Israel-Palestina yang berlarut-larut, dan justru meringankan pendudukan Israel, disuguhkan untuk menyoroti ketidakadilan tatanan dunia di mata rezim Iran.

Posisi Iran yang anti-AS menantang status quo global. Iran menyampaikan pesan anti-Amerikanisme dan pesan revolusi ke dunia Arab saat para elit Arab memiliki hubungan dekat dengan AS. Hal ini merupakan karakteristik kunci kedua dari kebijakan luar negeri Iran. Pesan dari revolusi melawan rezim berkuasa juga turut disampaikan di jazirah Arab. Namun masyarakat Arab telah tumbuh dalam ilusi, akibat ketidak-efektifan sikap pemimpin mereka dalam menyikapi Palestina. Mereka juga hidup dalam ketiadaaan representasi politik (Zogby2013). Sehingga akhirnya, pesan revolusioner Iran, diterima dengan rasa jijik dan ejekan di lorong-lorong kekuasaan. Irak menyerang Republik Islam Iran yang masih ‘bayi’ pada tahun 1980. Perang ini seharusnya mudah. Namun yang terjadi, perang berlangsung selama delapan tahun dan terlihat konsolidasi dukungan untuk serangan Irak, dari keluarga penguasa Arab (Ehteshami 2008).

Tahun 1980-an dan 1990-an merupakan tahun-tahun formatif bagi rezim baru di Iran. Retorika anti-Amerikanisme dan Islamisme revolusioner terpatri dalam formulasi kebijakan luar negeri iran. Para pengamat menilai, dua karakteristik ini merupakan pilar identitas negara yang tak bisa disentuh atau diganggu gugat. Memang, kebijakan luar negeri Iran di abad 21 terus dipengaruhi oleh ideologi anti-Amerikanisme dan Islamisme (Ansari 2006). Namun, Iran juga telah mengalami dua periode penyimpangan dari retorika revolusioner.

Pertama, di bawah pimpinan Mahmoud Khatami, dan kedua ketika Iran di bawah pimpinan saat Hassan Rouhani. Iran telah melunakkan retorika anti-Amerikanisme. Kebimbangan seperti ini menimbulkan pertanyaan penting tentang dinamika yang mendasari pembuatan kebijakan luar negeri. Apakah ada kesenjangan antara deklarasi politik dan tujuan kebijakan luar negeri Iran? Sejauh mana deklarasi ideologi revolusioner mampu menyembunyikan kekhawatiran terkait keamanan negara? Apa peran ideologi Islam dalam pilihan kebijakan luar negeri Iran?

Hubungan Iran dengan SCO menawarkan studi kasus instruktif untuk menyelidiki pertanyaan di atas. SCO mencakup sejumlah negara Muslim di Asia Tengah yang telah berbagi afinitas agama dan budaya dengan Iran, Rusia dan Cina. Keberadaan Iran di SCO tampaknya berkorelasi dengan agenda anti-Amerika, seperti yang sering dikutip dari pengamat – bahwa SCO adalah organisasi yang berperan sebagai penyeimbang atas AS. Hal ini, tidak diragukan lagi, merupakan faktor kunci yang bisa membuat Iran duduk bersama dengan negara-negara anggota SCO. Sikap ideologis ini telah menjadi fitur yang menonjol dari deklarasi kebijakan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Karenanya, artikel ini berfokus pada peristiwa pada periode 2005-2013. Masa ini adalah periode dengan aktivitas intens terkait hubungan antara Iran dengan SCO, dan di periode ini kita menyaksikan Iran telah dua kali gagal dalam usahanya mendapatkan keanggotaan penuh dari SCO. Artikel ini berpendapat bahwa keinginan Iran mengejar keanggotaan SCO, dibayang-bayangi pertimbangan lain di balik itu. Manfaat geostrategis yang diharapkan Iran ketika bergabung dengan blok anti-Amerika, telah membawa pemimpin Iran mengabaikan komitmen yang dicanangkan untuk memenangkan cita-cita kaum Muslimin.

Pembahasan

Apa itu SCO?
SCO adalah reinkarnasi dari Shanghai Five, yang didirikan pada tahun 1996 oleh lima negara, yaitu China, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan dan Tajikistan. Nama organisasi ini menunjukkan bahwa China merupakan pendorong dalam pembentukan organisasi. China merasa prihatin atas pergerakan masyarakat dan pengetahuan, yang berpeluang memberikan inspirasi terhadap pemberontakan Muslim di Xinjiang. Perjanjian awal yaitu Treaty on Deepening Military Trust in Border Regions, ditandatangani di Shanghai pada tahun 1996. Namun, dengan masuknya Uzbekistan ke dalam organisasi pada tahun 2001 dan dideklarasikannya Perang Melawan Teror yang membawa pasukan AS ke wilayah tersebut, menjadi jelas bagi Cina dan Rusia untuk menjadikan organisasi ini memiliki potensi yang lebih signifikan sebagai organisasi keamanan regional.

Uzbekistan bergabung dengan Shanghai Five didasarkan pada keresahan akibat tumbuhnya Taliban di Afghanistan dan munculnya kelompok militan seperti Gerakan Islam Uzbekistan, yang semakin berani dalam melakukan operasi lintas-perbatasan. Motifnya, untuk memerangi terorisme Islam — sebagaimana yang diungkapkan oleh otoritas Uzbekistan, konsisten dengan misi organisasi, dan guna mengimbau China dan Rusia karena mereka juga memiliki kekhawatiran yang sama tentang militansi Islam (Akbarzadeh2005,50-51). Dengan masuknya Uzbekistan ke organisasi pada Juni 2001, maka lahirlah SCO (‘Full Text of Shanghai Cooperation’ 2001). Uzbekistan mengisyaratkan kekhawatiran dengan militansi Islam dan menyarankan agar Moskow dan Beijing lebih waspada, juga potensi SCO sebagai organisasi keamanan regional, hal ini merupakan bukti bahwa perang terhadap terorisme yang mendasari pembentukan organisasi (Lentini 2004).

SCO malakukan latihan kontra-terorisme yang melibatkan negara-negara anggota untuk menunjukkan kesiapan mereka dalam menanggapi ancaman terorisme di wilayah tersebut. Sebagaimana yang disampaikan Alexander Pikayev (2008, 1) dari Carnegie Endowment for International Peace, SCO tumbuh menjadi organisasi yang bertujuan menetralkan fundamentalisme Islam. Namun, ada dua aspek lain untuk kontraterorisme yang disiapkan SCO. Yang pertama terkait dengan penilaian geostrategis Moskow dan Beijing, dan yang kedua untuk kepentingan politik domestik di Asia Tengah. Menggulingkan Taliban dan pembentukan pemerintah Karzai di Afghanistan oleh pimpinan AS, diikuti dengan dihapuskannya pasukan internasional, dianggap sebagai sumber utama ancaman terhadap keamanan regional. Moskow dan Beijing merasa prihatin atas penempatan pasukan AS di Afghanistan dan Asia Tengah — dan keduanya sangat menginginkan Tentara AS meninggalkan wilayah tersebut.

Latihan kontra-terorisme SCO dipusatkan pada kesiapan militer mereka untuk memerangi terorisme, dianggap sebagai pesan ke AS bahwa kehadiran AS tidak lagi diperlukan. Konferensi Tingkat Tinggi SCO dijadikan sebagai platform untuk meminta penarikan pasukan AS dari Asia Tengah dan Afghanistan. Hal ini sangat jelas terlihat, ketika pada tahun 2005, SCO merilis pernyataan, “Sehubungan dengan selesainya fase militer aktif anti-teroris yang beroperasi di Afghanistan, negara-negara anggota SCO menganggap bahwa penting bagi anggota dari koalisi anti-terorisme untuk menetapkan batas waktu akhir penggunaan fasilitas infrastruktur dan kedatangan kontingen militer di wilayah negara-negara anggota SCO. (Shanghai Forum Call’ 2005).

Pemberitahuan resmi Uzbekistan ke AS untuk mengevakuasi pangkalan udara Karshi-Khanabad pada tahun 2005, terjadi tidak lama setelah Kyrgyzstan, Tajikistan dan Uzbekistan menandatangani deklarasi SCO untuk penghapusan pangkalan AS dari Asia Tengah (Central Asia Security Group, 2005). Sementara itu, Moskow dan Beijing berbagi nilai-nilai geostrategis, yang menyatakan bahwa setiap kemunculan terorisme Islam di wilayah tersebut agar segera ditindak-lanjuti. Mereka juga menganggap bahwa kehadiran AS merupakan tantangan yang serius.

Di sisi domestik, SCO menawarkan kepada rezim Asia Tengah tambahan kredibilitas. Rezim yang berkuasa melihat agenda kontra-terorisme SCO sebagai pembenaran dari kebijakan otoriter mereka. Presiden Karimov dari Uzbekistan, yang vokal dalam hal ini, mencatat bahwa ancaman terorisme Islam perlu dilawan tegas (Pannier 2014). Pada kenyataannya, semua perbedaan pendapat telah melebur di bawah kedok melawan terorisme, SCO sama sekali tidak menyinggung prevalensi praktek otoriter di Asia Tengah. Kondisi ini membuat banyak pengamat melihat SCO telah berkontribusi bagi kelangsungan hidup otoritarianisme di Asia Tengah (Ambrosio 2008). Memang, Rusia dan China tidak tertarik mempertanyakan perilaku domestik negara anggota SCO, dan pendekatan ini kontras dengan AS, yang mempromosikan liberalisme dan demokrasi, dan tidak bisa tinggal diam dalam menghadapi pelanggaran hak asasi manusia.

AS mengekspresikan keprihatinan dalam peristiwa Andijan pada tahun 2005. Pasukan keamanan Uzbekistan telah pemberontakan di Andijan, dan atas peristiwa itu, diungkapkan bahwa Presiden George W. Bush meminta penyelidikan imparsial (Maddox 2005). Permintaan ini ditafsirkan sebagai upaya untuk ikut campur dalam urusan internal Uzbekistan, dan hasilnya hubungan AS-Uzbekistan pun membeku, dan terjadi evakuasi oleh AS di pangkalan udara Karshi-Khanabad (Wright dan Tyson 2005).

Sebagai pemain regional, Iran sangat menyadari dinamika di atas. Saya telah mencatat potensi yang dimiliki SCO untuk melawan keadiran AS di Asia Tengah dan melestarikan status quo dengan memperkuat rezim otoriter. Kedua trend bergerak ke arah yang berlawanan. SCO jika dipandang dari geostrategis sejalan dengan kebijakan luar negeri Iran yang anti-AS. Namun dukungan untuk rezim otoriter tampak bertentangan dengan citra yang dibangun Iran sebagai pembela kaum Muslimin. Bagaimana mungkin Iran menyampaikan pesan revolusioner sambil duduk di meja dengan pemimpin Asia Tengah yang berlawanan dengan kaum Muslim? Atau dengan Rusia dan China, yang telah berlarut-larut terlibat dalam konflik dengan minoritas Muslim di negaranya sendiri?

Pertimbangan Geostrategis
Iran memperoleh status pengamat di SCO pada tahun 2005. Iran diwakili oleh wakil presiden pertama, Mohammad Reza Aref, yang menekankan peran Iran sebagai pemain yang bertanggungjawab dalam mempromosikan dan menjaga keamanan regional (Iranian Vice President 2005). Dalam dua periode kepemimpinan Ahmadinejad, (2005-2013), SCO mendapat tempat yang penting dalam kebijakan luar negeri Iran. Pemimpin Iran jelas tertarik pada potensi SCO untuk mewaspadai kehadiran AS di wilayah tersebut. Dari sudut pandang Iran, ada keseseuaian alami, kepentingan geostrategis antara Rusia, China, dan Iran – dan SCO merupakan kendaraan yang tepat untuk itu. Memang, konsentrasi kepentingan anti-AS di SCO telah menyebabkan banyak pengamat untuk berpendapat bahwa SCO berfungsi sebagai penyeimbang geopolitik terhadap AS (Cohen 2006). Orientasi strategis yang menyeluruh ini adalah proposisi yang sangat menarik bagi Iran. Selanjutnya, keanggotaan penuh bisa memberikan platform bagi Iran dalam hubungan perdagangan dan ekonomi guna menghindari sanksi ekonomi. Kebanyakan pengamat/ komentator dari Iran berpendapat bahwa keanggotaan SCO akan membuka pintu bagi perdagangan dengan negara-negara anggota SCO dan meringankan dampak sanksi. Misalnya, Mahmoud Vaezi (2012), Direktur Center for Strategic Research in Tehran, menyatakan, “Akan menguntungkan bagi Iran jika menjadi anggota organisasi SCO, tidak hanya meningkatkan peran Iran di kawasan regional, tetapi juga membuka peluang bagi Iran untuk menjadi mitra dalam kerjasama ekonomi di antara negara anggota SCO.” Mehr Moshfeq (2006), seorang kolumnis untuk surat kabar Siyasat-e Ruz yang berbasis di Teheran menyatakan bahwa keanggotaan SCO akan bisa mengubah posisi dalam negosiasi nuklir dan hal ini akan bermanfaat untuk Iran.”

Iran berusaha mendapatkan keanggotaan penuh di SCO, dengan tujuan jelas: memperkuat posisi dalam kaitannya ke AS. Usaha ini dilakukan pada tahun 2008 dan pada tahun 2010, tetapi tidak berhasil (Iran Makes Move 2008). Pada tahun 2010, SCO menyusun seperangkat aturan untuk menerima anggota baru, termasuk klausul yang mencegah negara-negara di bawah sanksi PBB untuk menjadi anggota, dan hal ini otomatis menghalangi Iran (Radyuhin 2010). Sementara anggota SCO mengklaim bahwa tangan mereka terikat dengan klausul, dan jelas bahwa aturan keanggotaan ini berfungsi untuk melindungi kepentingan negara-negara anggota yang mencurigai motif Iran di wilayah tersebut (Dyomkin 2010). Penolakan ini merupakan sejumlah tantangan yang tidak siap dihadapi Iran, terutama dibawah kepemimpinan Ahmadinejad. Pertama dan terpenting, adalah sikap permusuhan terang-terangan Iran terhadap AS yang menyebabkan keprihatinan bagi negara anggota SCO (‘Ahmadinejad Calls for Regional Security Alliance’ 2011). Negara-negara Asia Tengah tidak memiliki pandangan yang sama dengan Iran dan mereka tetap ingin berhubungan baik dengan AS, meskipun hubungan itu terkendala karena buruknya catatan mereka terkait hak asasi manusia. Menteri Luar Negeri Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev, mengartikulasikan posisi ini dengan menyatakan, “Penting untuk tidak memberikan alasan terkait spekulasi tentang SCO yang secara bertahap berubah menjadi semacam ‘klub nuklir’ dengan orientasi anti-Barat.” (‘Kazakhstan against Shanghai Cooperation’ 2006).

Selanjutnya, sementara Rusia dan Cina berusaha untuk membendung pengaruh AS di wilayah tersebut, mereka tidak ingin menjadi provokatif dengan memungkinkan Iran untuk membajak agenda SCO dengan semangat hiperbolik anti-Amerikanisme. Penilaiannya, ketika SCO mengakui Iran sebagai anggota penuh maka akan mengubah organisasi tersebut menjadi badan anti-AS (Mousavi and Khodaee 2013, 191). Menurut seorang pengamat, keanggotaan penuh Iran memiliki potensi yang berbeda untuk menyeret SCO ke pertarungan antara Iran dan Barat (Karimi 2011). Kekhawatiran tentang implikasi jika mengakui Iran sebagai anggota penuh organisasi diungkapkan secara diplomatis oleh Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, ketika ia berbicara untuk mendukung draft klausul yang menyatakan bahwa negara-negara yang berada di bawah sanski PBB, dikeluarkan atau tidak bisa menjadi anggota SCO (Aris 2011).

Keputusan bulat pada KTT Tashkent pada tahun 2010 ini merupakan cara halus SCO yang tidak ingin terlibat secara langsung dalam sengketa Iran dengan AS terkait program nuklirnya. Namun prospek bergabungnya Iran ke SCO untuk mendukung Iran melawan AS adalah hal yang sangat menarik bagi Presiden Ahmadinejad. Ia tidak menyembunyikan antusiasnya untuk koalisi besar ini, seperti ketika ia berbicara di Shanghai pada tahun 2006, yang menyatakan bahwa Iran akan bekerja dengan SCO untuk mengembangkan pengaruh yang kuat di dalam organisasi, dalam politik regional dan internasional, melayani dan membendung ancaman dan pelanggaran hukum dari berbagai negara (‘Iran Urges Central Asian Bloc’ 2006).

Iran memiliki visi besar untuk SCO, dan Presiden Ahmadinejad sangat ingin mewujudkannya. Dia mengundang negara-negara anggota SCO ke Iran untuk membahas prospek perdagangan energi dan pembangunan yang sejalan dengan visi. (Baileset al. 2007). Jelas bahwa pemerintah Iran telah memprioritaskan SCO sebagai sarana untuk mengurangi terisolasinya Iran dan mengurangi dampak
sanksi, yang telah dikenakan AS sejak tahun 2006 (‘Iran Says Shanghai’ 2006).

Ahmadinejad kembali mengulangi argumen yang sama, “Organisasi harus mampu menghadapi ancaman, dan harus menahan intervensi yang melanggar hukum dan tindakan militer oleh negara-negara lain di kawasan.” (Dizboni2010, 12). Pesan ini jelas dimaksudkan untuk menarik Rusia dan China. Kebangkitan dari konsep intervensi dan hegemoni global yang merujuk pada AS. Dan argumen ini dimaksudkan untuk memperkuat gagasan bahwa kebijakan dan visi Iran selaras dengan Rusia dan China. Ahmadinejad secara terang-terangan dan tak henti-hentinya selalu menekankan hal ini. Pada KTT 2012, ia mengulangi proposisi sebelumnya bahwa SCO harus meningkatkan integrasi regional dan memimpin jalan untuk munculnya tatanan dunia yang baru (‘Ahmadinejad ke SCO’ 2012).

Pemerintah Ahmadinejad mendapat dukungan dari pimpinan ulama terkait dengan dengan SCO. Sebagai contoh, Ali Akbar Velayati, selaku penasehat pimpinan tertinggi urusan internasional, mengatakan bahwa SCO diciptakan untuk melawan NATO yang melakukan ekspansi di Timur dan Iran memiliki peran penting untuk mengambil peran guna mencapai tujuan tersebut. Aliansi negara-negara anggota SCO, yang terdiri separuh penduduk dunia dan seperempat dari luas daratan, serta memiliki cadangan terbesar sumber daya alam, akan menjadikan SCO sebagai organisasi dengan kekuatan terbesar dunia (Dizboni 2010,11-12).

Gagasan bahwa Iran dan SCO merupakan sekutu alami juga dipromosikan di media konservatif Iran. Dalam sebuah komentar di Resalat, misalnya, berpendapat bahwa Iran bisa meningkatkan kapasitas SCO untuk melawan Barat dan NATO (Fatemi 2008). Pada September 2013, sebuah editorial di surat kabar Jawan menggambarkan SCO sebagai NATO dari Timur dan mencatat bahwa negara-negara anggota SCO dapat memainkan peran dan pengaruh dalam mengurangi sanksi Barat terhadap Republik Islam Iran (Bahman 2013).

Artinya, perundingan bersama SCO memiliki manfaat yang tak terhitung jumlahnya bagi Iran. Dan faktanya, keanggotaan penuh untuk Iran efektif untuk melawan AS, baik dari pihak Iran maupun Rusia. Di satu sisi, status anggota penuh akan mengekspos ketidak-efektifan sanksi dan upaya AS untuk mengisolasi Iran, dan di sisi lain, Rusia akan mencapai kemenangan penting dalam konfrontasi dengan Barat. Pada saat yang sama, dengan dimasukkannya negara seperti Iran, yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi dan kaya sumber daya energi sebagai anggota SCO, akan memberikan manfaat bagi anggota lain dari organisasi ini, terutama China, karena Iran memiliki posisi yang penting di kawasan regional maupun internasional. Keanggotaan penuh dari SCO bisa berfungsi sebagai penghubung antara Timur Tengah, Asia Tengah dan Kaukasus; hal ini akan meningkatkan kredibilitas, kemampuan dan pengaruh SCO (Bahman2013). Namun karena Iran tidak diterima sebagai anggota penuh SCO, hal ini jelas menunjukkan bahwa negara-negara anggota SCO tidak menemukan hal yang menarik dari Iran, dan tidak memiliki keinginan untuk diseret ke dalam sengketa Iran dan AS.

Agama dan Pertimbangan Budaya
Faktor kedua yang mempengaruhi keputusan SCO adalah pandangan skeptis dari pemimpin negara-negara Asia Tengah terhadap Iran. Ahli dari Universitas Teheran, Mousavi dan Khodaee (2013) mengatakan bahwa rakyat Uzbekistan dan kepemimpinan Kazakh, melihat Iran sebagai sumber militansi Islam dan enggan untuk mengembangkan hubungan bilateral dalam bidang budaya. Namun Presiden Ahmadinejad memiliki keinginan yang kuat untuk membangkitkan sejarah mereka bersama Persia. Ketika ada kunjungan dari pejabat dari Tajikistan dan Afghanistan, ia menggambarkan tiga negara sebagai satu kesatuan tubuh yang berbagi kesedihan dan kebahagiaan satu sama lain. Ia melanjutkan dengan menyatakan bahwa selain untuk memperkuat hubungan sejarah, budaya dan agama mereka, tiga negara ini harus meningkatkan hubungan sosial, ekonomi dan infrastruktur. Persaudaraan harus dijalin lebih erat dari sebelumnya untuk melayani kepentingan bangsa. (‘Dr Ahmadinejad in a Meeting with the Ministers’ 2010). Presiden Ahmadinejad bersemangat menggunakan kesempatan kontak diplomatik dengan perwakilan Asia Tengah untuk menyampaikan pesannya terkait afinitas budaya. Pada pertemuan dengan Menteri Kebudayaan Kyrgyz pada tahun 2011, ia menekankan bahwa Iran dan Kirgistan memiliki persamaan budaya, yang mengacu pada perayaan Nouroz sebagai pesta konvergensi dan persatuan di antara bangsa-bangsa (‘Dr Ahmadinejad in a Meeting with the Kyrgyz Culture Minister’2011). Dari sudut pandangnya, budaya Iran yang memiliki afinitas dengan Muslim dari Asia Tengah memberi manfaat yang unik di kawasan. Ahmadinejad berkeinginan mengingatkan rekan-rekannya di Asia Tengah betapa pentingnya ikatan budaya mereka, dan bahkan mengatakan bahwa Iran dan Asia Tengah membutuhkan pendekatan kultural (‘Central Asia needs a cultural approach’ 2010).

Tapi bukannya menghasilkan kepercayaan dan keyakinan, tawaran ini malah menimbulkan kecemasan dan kecurigaan di kalangan pimpinan sekuler Asia Tengah, yang melihat kehendak Ahmadinejad untuk melakukan kerjasama budaya sebagai Trojan Horse (kuda troya) guna ekspansionisme Islam (‘Who Are the Opposition? 2000). Stephen Blank (2011) menunjukkan, pemimpin Asia Tengah memandang Iran dengan ketidakpercayaan, dan dianggap sebagai pemain yang mencoba untuk melemahkan, atau, sebagai pihak yang bisa mengembangkan kemampuan untuk melemahkan rezim mereka.

Tulisan dalam media lokal Khorasan, seorang pengamat mencemooh pemerintah Iran yang melobi SCO untuk mendapatkan keanggotaan penuh. Seharusnya, menurut pengamat, SCO yang meminta Iran untuk menjadi anggotanya (Beheshtipur 2013). Sentimen ini juga tercermin dalam pernyataan kepada publik oleh Mohammad Reza Rahimi pada tahun 2010, yang menyatakan bahwa Iran adalah salah satu negara yang berpengaruh di kawasan dan keanggotaannya dalam SCO akan memberikan manfaat bagi negara-negara anggota lainnya di kawasan. (‘Iran’s SCO Membership’ 2010). Ketika Ahmadinejad mengunjungi Tajikistan pada tahun 2006, ia mengatakan kepada rakyat Tajikistan, “Ketika saya memandang Anda, dan yang saya lihat adalah rakyat Iran.”(‘Iran Seeks Influence’ 2006).

Terlepas dari pandangan Iran tentang perannya di kawasan di bawah kepemimpinan Ahmadinejad, dan ketakutan adanya ekspansionisme Islam Iran Asia Tengah, ketidak-berhasilan Iran menjadi anggota penuh SCO dihambat oleh dua faktor. Ironisnya, faktor agama yang telah menjadi penghambat utama. Muslim Asia Tengah sebagian besar bermazhab Hanafi, yang berbeda dengan keyakinan Syiah yang menjadi sumber hukum di Iran. (Peyrouse and Ibraimov 2010). Yang lebih penting lagi, Muslim Asia Tengah memiliki paparan tentang politik Islam, dan menurut mereka, politik Islam yang diterapkan di Iran merupakan sebuah anaman. Asia Tengah memandang kurang baik penetapan beberapa hukum syariah yang ketat di Iran. Uzbekistan sangat sensitif terhadap penyebaran Islam ala Iran ke Asia Tengah. Dari informasi Kedutaan Besar AS di Tashkent, dilaporkan bahwa Uzbekistan merasa senang karena KTT SCO 2008 telah menolak permohonan Iran untuk menjadi anggota penuh, karena hal itu akan mengerem penyebaran Syiah di wilayah tersebut (US Embassy Tashkent 2008).

Peran Iran dalam perang sipil Tajikistan (1992-1997) dan pengembangan hubungan selanjutnya dengan Tajikistan dipandang dengan kecurigaan oleh pemimpin Asia Tengah lainnya. Namun bagaimanapun juga, Iran adalah bagian dari konsorsium internasional, bersama dengan Rusia, PBB, dan Uni Eropa memediasi pembicaraan damai hingga perang saudara pun berakhir dengan pembentukan pemerintah koalisi (Hiro1997). Meskipun proses dan hasil final mediasi ini tidak sempurna, namun Iran telah bertanggung jawab di kancah internasional untuk menghentikan perang saudara, dan mendorong Partai Islamic Renaissance di Tajikistan untuk mempertahankan komitmennya dalam proses perdamaian. Dalam periode ini, Iran telah menahan diri untuk mempromosikan visi Islam di Asia Tengah, agar tidak berdampak pada hubungan bilateral Rusia-Iran. Namun pemimpin Asia Tengah, tetap mencurigai niat Iran.

Kebijakan Look to the East
Kebijakan luar negeri Iran terlihat kacau dan bertentangan. Konsolidasi dan re-orientasi Iran terhadap Rusia di bawah kepemimpinan Presiden Ahmadinejad ditandai oleh retorika revolusioner Islam pada tahun-tahun awal. Inisiatif kebijakan luar negeri Ahmadinejad dikenal sebagai look to the East (menatap ke arah Timur) yang menandakan bahwa Iran tengah mengkonsolidasikan hubungannya dengan Rusia, China dan India untuk melawan ancaman dari Barat. Dasar logikanya jelas, bahwa Iran memang butuh meningkatkan hubungan ekonomi dan diplomatik dengan negara Timur, untuk mendapatkan ‘ruang bernafas’ terhadap sanksi ekonomi dan diplomatik. Nasser Saghafi-Ameri (2008) dari Departemen Riset Kebijakan Luar Negeri Iran berpendapat, ide look to the East bukanlah hal yang baru. Iran telah dirayu oleh kekuatan Asia sebelum masa Ahmadinejad. Re-orientasi kebijakan Ahmadinejad untuk look to the East dan mengorbankan setiap upaya mengatasi ketegangan dengan Barat- kontras dengan kebijakan Presiden Mohammad Khatami yang mencoba untuk bekerja melalui hubungan yang sulit antara Iran dengan AS melalui dialog yang beradab.

Re-orientasi kebijakan ini tampaknya terus dikobarkan selama dua periode kepemimpinan Ahmadinejad. Pada tahun 2012, Menteri Luar Negeri Iran, Ali Akbar Salehi, dalam peringatan 50 tahun hubungan bilateral dengan Korea Selatan, menyatakan bahwa Korea Selatan merupakan bagian dari kebijakan look to the East. (‘Iran Urges South Korea to Reconsider Decision’2012). Perluasan perjanjian perdagangan ekonomi Asia, pembangunan pipa energi untuk India, sejalan dengan tujuan kebijakan ini, dan semakin meningkatkan keinginan Iran untuk menjadi anggota penuh SCO. (Jacob 2014). Kebijakan ini, bagaimanapun, terbukti kurang efektif daripada yang diharapkan oleh Ahmadinejad dan timnya. Kritikus menunjukkan kecacatan mendasar dalam kebijakan, yaitu asumsi bahwa kekuatan Timur akan berdiri berdampingan bersama Iran dalam menghadapi Barat. Menyusul keputusan Rusia untuk menunda proses kerja nuklir Bushehr pada tahun 2007, sebuah editorial Aftab-e Yazdopenly menyalahkan kebijaksanaan look to the East (‘Vulgarity in Opportunism’ 2007). Sudah terpampang jelas bahwa memperluas perdagangan dan hubungan ekonomi dengan Timur tidak akan mencegah kekuatan Timur untuk berpihak pada AS, baik karena hal itu adalah pilihan mereka, atau karena faktor keuntungan. Mahnaz Zahirinejad (2011, 128) mencatat bahwa suara India di Dewan Keamanan PBB yang menentang program nuklir Iran menunjukkan bahwa India belum terpengaruh untuk mendukung Iran, kendati mereka telah memperluas hubungan perdagangan dengan Iran.

Kebijakan look to the East dan diamnya Iran atas penindasan terhadap minoritas Muslim Rusia dan China, menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen Iran yang bercita-cita memperjuangkan kepentingan Islam. Pada tahun 2007, kantor resmi Pemimpin Tertinggi Iran menunjukkan kekhawatiran tentang diamnya pemerintah pada perang Chechnya dan kebijakan China anti-Uygur. Dalam website tersebut diperingatkan bahwa kecaman publik atas Rusia dan China terkait tindakan mereka di Chechya dan Xinjiang akan membuat Iran terisolasi. Tapi kemudian mereka berusaha meyakinkan bahwa Diplomat Iran telah bekerja dengan sangat efektif dan khawatir terkait penganiayaan Muslim yang dilakukan oleh Rusia dan China. Mereka juga menekankan bahwa hal ini merupakan cara yang efektif untuk melindungi umat Islam. (‘Response to Students’2007)

Pernyataan ini juga sampaikan lagi melalu situs Hawza, seminari Islam di Qom tempat para lahirnya para ulama. Websitenya menyatakan bahwa alasan diamnya Iran terkait Chechnya adalah karena pertama, krisis telah mereda. Dan kedua, karena kepentingan nasional Iran terkait hubungan erat yang terjalin dengan negara kuat seperti Rusia. Tidak selalu memungkinkan bagi Iran untuk mengejar hal-hal yang terlalu jauh, karena hal itu bisa memberi represi negatif (‘Why the Killings of Chechens’ n.d.)

Desakan kepentingan nasional dalam menetapkan kebijakan luar negeri Iran, ketika dihadapkan pada solidaritas sesama Muslim terlihat kontradiksi. Pada 2013, Salman Safavi (2013), mantan komandan militer Iran, menyebut hal itu sebagai paradoks kebijakan luar negeri Iran, yang harus dituntaskan dalam rangka mewujudkan cita-cita Iran untuk mengembalikan dan merebut kembali kepemimpinannya di dunia Islam. Kontradiksi ini mirip dengan kebijakan Iran di era Khatami. Pada tahun 2009, Masoumeh Ebtekar berpendapat bahwa revolusi Islam menempatkan solidaritas Muslim dan membela umat Islam sebagai prioritas nomor satu untuk kebijakan luar negeri Iran, akan tetapi cita-cita Iran ini menjadi kehilangan taringnya ketika berhubungan dengan blok Timur (‘Criticism of the Government’s Position’ 2009).

Kebijakan luar negeri Iran saat ini telah berubah jalur. Presiden Rouhani dan menteri luar negeri belum berbicara tentang kebijakan look to East, tampak jelas bahwa Iran telah mengoreksi kebijakan luar negerinya dan menjauh dari warisan Ahmadinejad. Upaya untuk terlibat dengan Barat dalam negosiasi nuklirnya menyiratkan pergeseran strategis dari dikotomis pandangan dunia bahwa harus merapat ke Timur untuk melawan Barat. Pergeseran dalam kebijakan luar negeri ini memiliki implikasi yang jelas terkait hubungan Iran dengan SCO.

Kesimpulan

Republik Islam Iran adalah negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara ideologis. Sejak awal tahun 1979, telah dibangun sebuah gambaran Islamisme revolusioner, baik domestik maupun di kancah internasional. Dalam hubungan eksternal, Iran telah mencitrakan diri sebagai negara yang memenangkan kepentingan kaum Muslimin. Iran sangat vokal terkait pendudukan Israel di Palestina, dan diidentifikasi, pembebasan Yerusalem merupakan kebijakan luar negerinya. Selanjutnya, Iran menuduh AS telah merusak Islam melalui imperialisme budaya dan militer. Begitu pula dengan PBB dan organisasi internasional lainnya yang telah melindungi hegemoni AS. Pada intinya, Iran telah menantang lembaga-lembaga internasional, dan menyebut mereka sebagai instrumen dari AS untuk mendominasi tatanan dunia dengan cara yang tidak adil.

Citra Iran seperti ini telah menarik perhatian masyarakat Muslim, meskipun hal ini juga tidak mulus lantaran konflik sekterian yang terjadi di dunia Arab. Iran telah menikmati popularitas sebagai negara Muslim yang mampu bersaing untuk mempertahankan komitmennya terhadap ummat. Akibatnya, meskipun fluktuasi dalam kebijakan luar negerinya berbeda-beda berdasarkan siapa presidennya, namun Iran telah terlindungi dengan citranya sebagai negara Islam dengan agenda anti-Amerika. Citra ini jelas terlihat di bawah pemerintahan Ahmadinejad. Memburuknya hubungan Iran dengan komunitas internasional selama kepemimpinan Ahmadinejad dengan kebijakan look to the East, dan keinginan Iran untuk menjadi anggota penuh SCO sejalan dengan kebijakan ini.

Akhirnya, ada dua pilar yaitu: bergabung dengan Rusia dan China yang anti-Barat — menjadikan SCO sebagai kendaraan untuk menghadapi tantangan militer AS di kawasan, dan pandangan Iran sebagai negara berpengaruh di kawasan yang memiliki persamaan warisan sejarah, budaya, agama dengan negara-negara Asia Tengah. Hanya saja, merujuk pada gambaran revolusioner, kondisi ini bisa dianggap sebagai deklarasi pro-forma. Kendati para elit politik Asia Tengah mencurigai maksud Iran dan menyatakan keprihatinan tentang agenda tersembunyi Iran untuk mengekspor Islam Syiah, namun Iran tetap mengejar keanggotaan penuh tersebut. Sikap Iran terkait hubungannya dengan negara-negara Asia Tengah dan SCO cukup pragmatis. Pragmatisme yang signifikan dan penuh ironi. Iran sangat ingin bergabung dengan organisasi yang telah memberikan legitimasi kepada rezim otoriter. Pemerintah Uzbekistan yang perlakuannya buruk telah menjadi sasaran kampanye hak asasi manusia secara internasional, atas penganggaran kekuasaan yang dilakukan dengan cara-cara kotor.

Para pemimpin Iran terpengaruh oleh prospek duduk di meja bersama para pemimpin Asia Tengah, dan dengan hati-hati menghindari topik yang memalukan seperti insiden Andijan. Sehubungan dengan China dan Rusia, Iran menyadari pemberontakan Muslim yang mereka hadapi, dan pemberontakan ini menjadi sasaran agenda anti-terorisme SCO. Memang, logika asli dari awal SCO ini terkait erat dengan China sehubungan dengan kekhawatirannya pemberontakan kaum Muslim yang terjadi di Xinjiang. Namun Iran memilih bungkam terhadap masalah tersebut dan, di bawah Presiden Ahmadinejad, Iran terus melobi untuk menjadi anggota penuh SCO. Dengan kata lain, Iran sangat ingin bergabung dan memperkuat suatu organisasi regional yang bertindak sebagai pilar status quo, meskipun sangat kontradiksi dengan pandangan atau ideologi Iran.

Bagaimana menjelaskan sikap yang kontradiksi ini? Di kancah internasional, Iran berperilaku sebagai aktor revolusioner yang menantang status quo, namun, pada tingkat regional, berusaha untuk mengkonsolidasikan posisinya dalam status quo. Apakah Iran telah mengkhianati ideologi dan identitasnya sendiri? Melihat kondisi ini, jelas sekali bahwa Iran adalah negara ideologis yang memiliki keterbatasan. Memang benar bahwa Islamisme anti-Amerika telah menjadi identitas Iran di mata masyarakat internasional. Memang, Presiden Ahmadinejad berkomitmen untuk memproyeksikan ideologi ini agar diserap atau menjadi identitas masyarakat internasional. Tetapi dalam kerangka ideologis, Iran mengejar kebijakan realis. Di bawah kepemimpinan Ahmadinejad, Iran talah diarahkan pada dua tingkat yang berbeda. Sifat kontradiktif kebijakan luar negeri Iran telah menyebabkan kebingungan dan perselisihan bagi pengamat yang berusaha untuk memahami Iran-baik melalui lensa ideologi atau lensa pragmatisme.

Dengan mencatat kerangka ideologis secara menyeruh, ada bukti berlimpah bahwa sikap Iran terkait SCO dimotivasi oleh pertimbangan strategis. Akibatnya, tindakan Iran berbeda dengan analisis para pakar. Kontradiksi Iran adalah mengkhianati ideologi demi keuntungan strategis, dan telah banyak dicatat oleh para pengamat Iran, dan mungkin, Iran akan mencari jalan untuk mempersempit ruang kontradiksi ini. Upaya oleh Presiden Hassan Rouhani untuk mencari solusi dari kebuntuan masalah nuklir dan memulai negosiasi dengan Barat, merupakan kesempatan untuk merevisi gambaran ideologis Iran.

_______________

[1] Shahram Akbarzadeh adalah seorang professor riset di Centre forCitizenship and Globalisation, Deakin University, Australia. Email: shahram.akbarzadeh@deakin.edu.au

Notes:

1. This article was made possible with the generous support of the Australian Research Council
(FT120100032) and the research assistance of Dara Conduit and Fatemeh Nejati.
2. For an insightful assessment of this period, see Anoushirvan Ehteshami (2002).
3. Zogby Research Services traces the rise and fall of Iran’s image on the Arab streets based on
public opinion surveys in 20 Arab and Muslim states, and argues that the recent spike in
sectarianism has seriously undermined Iran’s appeal.
4. For a careful discussion of identity in Iran’s foreign policy choices, see Suzanne Maloney
(2008).
5. Contrast this with President John F. Kennedy’s famous declaration ‘Ich bin ein Berliner’,
delivered in Berlin on June 26, 1963.
6. In 2006, for example, the speaker of the majlis presented bilateral relations with Cambodia in
terms of Iran’s‘Look to the East’ policy. See‘Haddad-Adel Stresses Bolstering’ (2006).

References:

“Ahmadinejad Calls for Regional Security Alliance to Counter US Influence.”2011.Associated
Press, June 16. Accessed February 20, 2014.http://www.theguardian.com/world/2011/jun/15/
ahmadinejad-sco-united-front-against-us.
“Ahmadinejad to SCO: Regional Integration Would Help Create New World Order.” 2012.
Tehran Times, June 9. Accessed February 20, 2014. http://www.tehrantimes.com/politics/
98567-promotion-of-regional-integration-would-help-create-new-world-order-ahmadinejad-.
Akbarzadeh, Shahram. 2005.Uzbekistan and the United States: Authoritarianism, Islamism and
Washington’s Security Agenda. London: Zed Books.
Ambrosio, Thomas. 2008.“Catching the‘Shanghai Spirit’: How the Shanghai Cooperation
Organization Promotes Authoritarian Norms in Central Asia,”Europe-Asia Studies60 (8):
1321–1344. doi:10.1080/09668130802292143.
Ansari, Ali. 2006.Confronting Iran: The Failure of American Foreign Policy and the Next Great
Crisis in the Middle East. New York: Basic Books.
Aris, Stephen. 2011.Eurasian Regionalism: The Shanghai Cooperation Organisation. Basingstoke:
Palgrave.
Bahman, Sho’ayb. 2013.“Give and Takes of Iran’s Participation in Shanghai.”Javan, September 13.
Bailes, Alyson, Pál Dunay, Pan Guang, and Mikhail Troitskiy. 2007.The Shanghai Cooperation
Organization. SIPRI Policy Paper No. 17. Stockholm: Stockholm International Peace
Research Institute.
Beheshtipur, Hasan. 2013.“Iran and the Prospect of Membership in the Shanghai Cooperation
Organization.”Khorasan, September 15.
Blank, Stephen. 2011.“Iran Plays Diplomatic Hardball and Its Neighbours Retaliate.”Central Asia
Analyst, August 31. Accessed February 20, 2014. http://old.cacianalyst.org/?q=node/5618.
“Central Asia needs a cultural approach.” 2010. Press TV. http://www.presstv.ir/detail/137
680.html.
“Central Asian Security Group Urges Deadlines for Pull-Out of Coalition Bases.” 2005.AFP,
July 5.
Cohen, Ariel. 2006.“What to Do about the Shanghai Cooperation Organization’s Rising
Influence.” Eurasianet, September 20. Accessed February 2, 2014. http://www.eurasianet.
org/departments/insight/articles/eav092106.shtml.
Iran and the Shanghai Cooperation Organization 101
Downloaded by [dina yulianti] at 01:40 27 January 2015
“Criticism of the Government’s Position Regarding the Killing of Muslims in China.” 2009.
Etemad, July 11. Accessed February 2, 2014. http://www.etemaad.ir/Released/88-04-20/103.
htm#151627
Dizboni, Ali. 2010.‘Iran and the Shanghai Cooperation Organization (SCO): Counter-hegemony
as common purpose.’ Dynamiques Internationales, June.
“Dr Ahmadinejad in a Meeting with the Kyrgyz Culture Minister.”2011. Website of the President
of Iran.http://www.president.ir/en/27438.
“Dr Ahmadinejad in a Meeting with the Ministers of Water and Energy of Afghanistan and
Tajikistan.” 2010.Iranian President Website, December 28. Accessed February 21, 2014. http://www.president.ir/en/261558.
Dyomkin, Denis. 2010.“Sanctions Affect Iran in C. Asia Security Bloc.”Reuters, June 11. Accessed
February 21, 2014.http://www.reuters.com/article/2010/06/11/us-uzbekistan-sco-idUSTRE65
A3A920100611.
Ehteshami, Anoushirvan. 2002.“The Foreign Policy of Iran.”In The Foreign Policies of Middle
East States, edited by Raymound Hinnebusch and Anoushiravan Ehteshami, 283–310.
London: Lynne Rienner.
Ehteshami, Anoushiravan. 2008.“Iran and its Immediate Neighbourhood.”InIran’s Foreign Policy,
edited by Anoushiravan Ehteshami and Mahjoob Zweiri, 129–139. London: Ithaca Press.
Fatemi, Sahab. 2008.“A Look at the Recent Meeting of the Shanghai Co-operation Organization
that Was Held in Tajikistan; The Shanghai Organization, The Centre for Bypassing the West.”
Resalat, September 2.
“Full Text of Shanghai Cooperation Organisation Declaration.”2001.Xinhua, June 16.
“Haddad-Adel Stresses Bolstering of Ties with Cambodia.”2006.Islamic Republic News Agency,
November 14.
Hiro, Dilip. 1997.“Tajikistan: Iran and Russia Throw Their Arms Round Tajik Factions.”Inter
Press Service (IPS) News Agency, March 11.http://www.ipsnews.net/1997/03/tajikistan-iranand-russia-throw-their-arms-round-tajik-factioons/.
“Iran Makes Move to Join SCO.”2008.Press TV, March 24. Accessed February 21, 2014. http://
edition.presstv.ir/detail/48781.html.
“Iran Says Shanghai Summit ‘Positive.’” 2006.Iranian Republic News Agency, June 18.
“Iran Seeks Influence in Central Asia.”2006.China News Daily, July 27. Accessed February 25,
2014.http://www.chinadaily.com.cn/world/2006-07/27/content_650867.htm.
“Iran’s SCO Membership to be Beneficial.”2010.Press TV, November 24. Accessed February 20,
2014.http://www.presstv.com/detail/152492.html.
“Iran Urges Central Asian Bloc to Counter West.”2006.CBC News, June 15. Accessed February 21,
2014.http://www.cbc.ca/news/world/iran-urges-central-asian-bloc-to-counter-west-1.569790.
“Iran Urges South Korea to Reconsider Decision on US-led Oil Embargo.” 2012.The Korean
Herald, December 17.
“Iranian Vice President Ends Kazakhstan Visit.”2005.Islamic Republic News Agency, July 5.
Jacob, Jayanth. 2014. “India, Iran, Oman to Start Discussing Gas Pipeline.” Hindustan Times,
February 28. Accessed February 21, 2014.http://www.hindustantimes.com/business-news/
for-energy-fix-india-to-talk-gas-pipeline-with-oman-iran/article1-1189138.aspx.
Karimi, Javid. 2011.“Iran and the Shanghai Cooperation Organization: Interview with Javid
Karami.”IRDiplomacy, June 27. Accessed February 21, 2014. http://irdiplomacy.ir/en/page/
14143/Iran+and+the+Shanghai+Cooperation+Organization.html.
“Kazakhstan against Shanghai Cooperation Organization’s Expansion.” 2006. Trend News
Agency, May 16. Accessed February 21, 2014. http://en.trend.az/regions/casia/kazakhstan/
854452.html.
Lentini, Pete. 2004.“The Shanghai Cooperation Organisation and Central Asia.” In Regional
Security in Asia Pacific, edited by Marika Vicziany, David Wright-Neville, and Pete Lentini,
128–148. Cheltenham: Edward Elgar.