Tulisan ini telah merupakan tanggapan ilmiah dari jurnal yang dimuat dalam dalam Asian Affair yang berjudul The Al Saud family and the future of Saudi Arabia (Asian Affairs, 37:1, 36-49, DOI: 10.1080/0306837050045741, yang intisarinya telah dipublikasikan di tautan ini: http://ic-mes.org/politics/jurnal-keluarga-dan-masa-depan-kerajaan-arab-saudi/
Colonel Brian Lees begitu yakin bahwa Keluarga Kerajaan Arab Saudi tidak akan runtuh, mengingat bagaimana berakarnya kekuasaan keluarga kerajaan di seluruh sendi masyarakat. Faktor lain yang tak kalah penting, menurut dia, peluang pecahnya kerajaan karena gerakan memisahkan diri yang mungkin datang dari Hijaz dan Provinsi Timur juga sangat kecil lantaran kedua wilayah itu akan merugi jika memisahkan diri dari Arab Saudi. Namun, apa yang terjadi jika runtuhnya kerajaan Arab Saudi tidak disebabkan oleh faktor eksternal, melainkan faktor internal — yaitu kemungkinan perebutan kekuasaan antara para Pangeran Arab Saudi yang merasa berhak mewarisi takhta?
Sejarah mencatat, perebutan takhta Kerajaan Arab Saudi diwarnai dengan pertumpahan darah. Sebagaimana yang dituliskan Colonel Brian Lees dalam jurnalnya yang berjudul Keluarga dan Masa Depan Kerajaan Arab Saudi, “Ia digantikan oleh putranya, Saud, yang memerintah pada tahun 1953-1964, namun kemudian Saud digulingkan oleh saudara tirinya, Faisal, yang memerintah sampai ia dibunuh oleh keponakan pada tahun 1975.” [Faisal melakukan kudeta militer terhadap Saud. Lalu, sebelas tahun kemudian, Faisal dibunuh oleh keponakannya sendiri. Keponakannya akhirnya dihukumi hukuman mati dan disaksikan publik.]
Masa depan Arab Saudi adalah situasi yang kita hadapi saat ini. Raja Abdullah telah mangkat, dan Pangeran Salman diangkat menjadi Raja Arab Saudi. Sebagaimana yang diprediksi oleh para pengamat, naiknya Raja Salman ke tampuk kekuasaan dibarengi dengan semakin kokohnya klan Sudairi.
Baru-baru ini, seorang Pangeran yang tidak menyebutkan identitasnya, menulis surat dan disampaikan kepada The Guardian, media terkemuka Inggris. Ia menyerukan agar seluruh Pangeran bersatu melakukan kudeta terhadap rezim Arab Saudi. Alasannya ada tiga, yaitu: serangan militer atas Yaman, anjloknya harga minyak, dan tragedi Mina. [1]
Pada 26 Maret 2015, Arab Saudi menyerang Yaman. Namun serangan ini ditentang oleh internal keluarga kerajaan. Yang paling keras melawan adalah Pangeran Muqrin, Putera Mahkota. Pangeran Muqrin adalah anak dari Baraka al-Yamaniah, di dalam darahnya, mengalir darah Yaman. Ibunya berasal dari Yaman. [2] Namun protesnya itu diabaikan, malahan ia dicopot dari jabatannya sebagai Putera Mahkota pada 29 Maret 2015, dan digantikan oleh Pangeran Mohammed bin Nayef. Serangan Arab Saudi kepada Yaman, bagaimanapun, telah menuai kecaman dari masyarakat internasional. Rakyat Arab Saudi pun merasa muak, melihat keluarga kerajaan yang terkaya di Tanah Arab menyerang negara yang penduduknya paling miskin. Bibit perpecahan mulai terlihat.
Faktor lainnya adalah anjloknya harga minyak. Awalnya, Arab Saudi memproduksi minyak dalam jumlah besar agar harga jatuh, guna melemahkan Russia, Iran, dan Venezuala. Namun taktiknya ini justru menjadi bumerang. Apa saja efek jatuhnya harga minyak bagi Arab Saudi?
Pertama, menurut IMF, tahun ini Arab Saudi mengalami defisit sebesar 107 miliar USD.
Kedua, menurut Alastair Newton, Direktur Alavan Business Advisory, anggaran belanja Arab Saudi pada yang dirilis pada awal tahun ini didasarkan estimasi harga minyak di kisaran 90 USD per barrel. Artinya, jika minyak dijual seharga 90 USD per barrel barulah cukup untuk membiayai belanja negara. Namun ternyata, akibat perang dan kenaikan harga barang-barang tahun ini, anggaran belanja baru bisa seimbang jika minyak dijual seharga 110 USD per barrel. Namun kita tahu, bahwa harga minyak mentah saat ini dibawah 50 USD per barrel.
Ketiga, karena kekurangan dana, maka mau tak mau, Arab Saudi menarik dana investasi dari luar sebesar 70 miliar USD.
Keempat, karena harga minyak masih di bawah 50 USD per-barrel, indeks Arab Saudi (Tadawul All Share), telah menurun hingga 30% selama 12 bulan terakhir.
Khairallah Khairallah, mantan redaktur pelaksana surat kabar al-Hayat milik Arab Saudi menyatakan, jika kondisinya seperti ini, Arab Saudi hanya bisa bertahan setidaknya satu tahun lagi.
Kemelut yang dihadapi Arab Saudi kian bertambah dengan musibah bertubi-tubi yang terjadi selama musim haji 2015. Tragedi Mina, dilaporkan telah menelan hingga 2.000 korban jiwa, dan Arab Saudi dituding tidak mampu mengelola pelaksanaan haji secara maksimal mengingat musibah seperti ini terjadi berulang kali. Menariknya, ketika banyak pihak mencari kambing hitam untuk menutupi kelalaian Arab Saudi dalam menangani pelaksanaan ibadah haji, dan jamaah haji Iran dituduh sebagai pemicu musibah tersebut, ternyata Ad-Diyar, media berbahasa Arab yang berbasis di Lebanon justru merilis artikel yang menyatakan bahwa pemicu tragedi Mina adalah iring-iringan dari Pangeran Mohammad bin Salman yang menyebabkan jalanan harus ditutup. Ad-Diyar, ternyata adalah media milik Pangeran Al-Waleed bin Talal. [3] Melalui media miliknya, Pangeran Al-Waleed bin Talal melakukan manuver, dan membuka perseteruan di internal kerajaan secara terbuka kepada publik. Jika melihat berbagai kemelut di dalam internal keluarga Kerajaan Arab Saudi hari ini, bukan tidak mungkin, sejarah perebutan kekuasaan dengan menumpahkan darah akan kembali terulang.
[2] http://indonesian.irib.ir/editorial/fokus/item/95131-tiga-poin-penting-statemen-muqrin-bin-abdulaziz