Tulisan ini merupakan tanggapan atas jurnal yang dimuat dalam Asian Affair yang berjudul Iran and the Shanghai Cooperation Organization: Ideology and Realpolitik in Iranian Foreign Policy, Australian Journal of International Affairs, 69:1,88-103, DOI: 10.1080/10357718.2014.934195, yang intisarinya telah dipublikasikan di tautan ini: http://ic-mes.org/politics/iran-dan-sco-antara-ideologi-dan-realitas-kebijakan-luar-negeri-iran/
Kerjasama internasional merupakan suatu keharusan bagi setiap negara. Motif yang menjadi latar belakang terwujudnya kerjasama antar negara adalah untuk memelihara perdamaian, meningkatkan kepentingan nasional dan kesejahteraan ekonomi (Toma & Gorman, 1991:384). Sementara (Kartasasmita, 1998: 3) mengatakan bahwa kerjasama internasional terjadi karena ‘nation understanding’, mempunyai arah dan tujuan yang sama, keinginan di dukung oleh kondisi internasional yang saling membutuhkan kerjasama itu didasari oleh kepentingan bersama di antara negara-negara.
Sebagaimana yang diungkapkan Shahram Akbarzadeh, Mahmoud Ahmadinejad ketika menjadi Presiden Republik Islam Iran, begitu menggebu-gebu ingin bergabung dengan Shanghai Cooperation Organisation (SCO). Yang dikritik Akbarzadeh, mengapa Iran seakan-akan menggadaikan idealismenya untuk duduk satu meja dengan negara-negara yang dipimpin rezim anti-Islam seperti Rusia dan China?
Pernyataan bahwa pemerintah Rusia dan China anti-Islam, harus diluruskan. Baru-baru ini, menjelang Idul Adha, Presiden Rusia Vladimir Putin meresmikan masjid terbesar se- Eropa, yang juga dihadiri oleh Presiden Turki Recep Erdogan dan Presiden Palestina Mahmud Abbas. Dari Indonesia, hadir Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Djauhari Oratmangun. [1]
Dan benarkah Rusia menekan kaum Muslim di Chechnya? Ternyata konfliknya tidak sesederhana itu. Di Chechnya, sejak dulu hingga kini, masih bercokol kaum Wahabi yang identik intoleran, suka mengkafir-kafirkan Muslim lain yang tidak sepaham, dan yang tak kalah penting, mereka kerap membuat kekacauan. Di Chechnya, terjadi perseteruan antara kelompok Wahabi dan Sufi, dan guna membendung paham Wahabi ini, Presiden Chechnya, bersekutu dengan Rusia.
Lalu, bagaimana dengan China? Benarkah Negara Tirai Bambu ini juga bertindak sewenang-wenang kepada kaum Muslim?
Komunitas Muslim di China bisa ditemukan di Hui provinsi Niangxia (10,5 juta jiwa) dan di Uyghur provinsi Xinjiang (10 juta jiwa). Keduanya merupakan daerah otonom China. Kelompok Muslim Hui mayoritas merupakan penganut Sufi, dan mereka dijamin hak-haknya oleh pemerintah China, termasuk dalam melaksanakan ibadahnya seperti shalat, puasa, mendirikan sekolah-sekolah Islam dan masjid. Muslim Hui patuh pada pemerintah China, dan tidak pernah melalukan pemberontakan ataupun sikap-sikap anarkis. Pemerintah China melarang beredarnya buku “Xing Fengsu” (“Sexual Customs”) yang menghina Islam dan memenjarakan pengarangnya tahun 1989 setelah protes di Lanzhou dan Beijing oleh Muslim Hui. Polisi memberikan perlindungan kepada Muslim Hui ketika mereka berdemo di wilayah yang dihuni mayoritas non-Muslim, dan pemerintah China mengorganisir massa untuk membakar buku tersebut. [2]
Melihat fakta-frakta di atas dengan lebih seksama, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa baik Rusia maupun China, memang berlaku tegas kepada kelompok ekstrem – dalam hal ini adalah Wahabi yang selalu mengklaim representasi Islam, kendati tindak-tanduk mereka jauh dari ajaran Islam yang welas asih.
Begitu pula halnya dengan Republik Islam Iran. Kelompok teroris yang menamakan dirinya Jundallah, yang dibentuk oleh Abdolmalek Rigi, secara berkelanjutan telah melakukan terorisme di wilayah Iran sampai akhirnya ia ditangkap pada tahun 2010. Dari pengakuannya, ia bertanggung jawab terhadap pembunuhan terhadap 154 korban, telah melukai 320 orang sejak tahun 2003. Menurut dia, Jundallah memiliki sekitar 2.000 tentara, dan telah menewaskan 400 tentara nasional Iran.[3]
Artinya, baik Iran, Rusia, dan China, memiliki kepentingan yang sama, yaitu menghadapi ancaman terorisme dan ekstremisme dari kelompok Islam radikal. Bukankah bekerjasama dengan negara-negara lainnya yang menghadapi teroris dari kelompok yang sama — merupakan hal yang sangat rasional?
Saat ini, sangat sulit untuk menemukan negara – atau bahkan tidak bisa ditemukan satupun negara yang benar-benar menempatkan idealisme diatas segalanya, apalagi ketika berhubungan dengan kepentingan nasional. Selain masalah dengan terorisme, merupakan keuntungan tersendiri bagi Iran jika bisa bekerjasama dalam bidang ekonomi dengan negara-negara SCO, mengingat Iran memiliki cadangan minyak dan gas yang berlimpah. Seandainya Iran diterima sebagai anggota SCO, maka bisa dipastikan peluang untuk melakukan kontrak kerjasama dengan negara-negara anggota lainnya jauh lebih besar.
____
[1] http://dunia.tempo.co/read/news/2015/09/24/117703479/idul-adha-presiden-putin-resmikan-masjid-agung-rusia
[2] http://time.com/3099950/china-muslim-hui-xinjiang-uighur-islam/
[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Jundallah_%28Iran%29