AS dan State-Terrorism (Mengenang Qassem Soleimani)

mu'min elminMu’min Elmin (Dosen Hubungan Internasional Univ. Sulawesi Barat)

Ketika dunia sedang disibukkan oleh pandemi Covid-19, ISIS masih melanjutkan aksi-aksi terornya. Menurut data dari Terrorism Research and Analysis Consortium (TRAC), selama bulan Juli 2020, sisa-sisa ISIS di Irak telah mengklaim 100 serangan di negara tersebut. Pada tanggal 24 Agustus lalu, sebuah ledakan besar di pipa gas Suriah terjadi, yang menyebabkan terjadinya pemadaman listrik secara massal di sana. AS (yang saat ini bercokol di Suriah) menyatakan bahwa pelakunya adalah ISIS. Di Indonesia, selama masa pandemi, Densus 88 juga melakukan penangkapan terhadap sejumlah terduga teroris.

Kejadian-kejadian ini mengingatkan penulis pada pahlawan yang berada di garis depan melawan ISIS, Jenderal Qassem Soleimani. Pada 3 Januari 2020, Soleimani dan rekannya, tokoh milisi Irak yang juga berada di garis depan dalam perang melawan ISIS, Abu Mahdi Al Muhandisi dan tujuh pengawal mereka gugur dibom oleh militer AS. Padahal kedatangan Jenderal Soleimani merupakan undangan resmi kenegaraan dari pemerintah Iraq untuk mengupayakan perdamaian di Irak. Dengan demikian kehadirannya di Irak merupakan representasi resmi negara (Iran) untuk misi diplomasi perdamaian, bukan untuk memulai perang.

Aksi AS ini dapat disebut sebagai aksi “terorisme yang dilakukan negara” (state-terrorism). Bila umumnya terorisme dilakukan oleh milisi nonnegara, dalam kasus ini, negaralah yang melakukannya, yaitu AS. Peristiwa yang hampir sama juga pernah terjadi ketika Israel membunuh mantan pemimpin Hizbullah Abbas Al-Musawi dengan helikopter bantuan AS di Lebanon Selatan tahun 1992. Pada tahun 1985 CIA melakukan operasi pembunuhan terhadap Syeikh Mouhammad Hussein Fadhlullah melalui bom mobil yang diletakan di depan sebuah masjid meskipun gagal membunuh targetnya, akan tetapi operasi itu menyebabkan 80 orang meninggal dan 256 terluka.

Aksi-aksi teror yang dilakukan AS tidak hanya terjadi di Timur Tengah. AS juga melakukan teror di Nikaragua. Pada tahun 1980-an, Mahkamah Internasional memerintahkan AS untuk menghentikan penggunaan senjata secara ilegal (unlawful use of force), dan membayarkan ganti rugi secara nyata. Namun, AS tidak menghiraukan bahkan perang terus dilanjutkan. Dewan Keamanan PBB pernah berusaha mengeluarkan resolusi untuk meminta semua negara (maksudnya Amerika Serikat) untuk mematuhi Hukum Internasional, namun resolusi ini diveto oleh AS (Chomsky, 2017).

Setelah AS melakukan pembunuhan terhadap Soleimani, tidak ada langkah hukum yang bisa dilakukan oleh komunitas internasional. Padahal banyak pakar hukum yang sudah menulis pendapat mereka, yaitu bahwa aksi ini melanggar hukum internasional. Ini menunjukkan kelemahan PBB, dimana penggunaan hak veto oleh lima anggota permanen menjadi sesuatu yang kontra produktif terhadap upaya perwujudan keamanan dan perdamaian internasional. Kemampuan eksekutif yang melekat pada Lembaga Internasional seperti PBB menjadi tumpul dan lemah. Hukum Internasional tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya karena besarnya tekanan dan pengaruh kepentingan politik dari lima negara pemegang hak veto, khsusunya Amerika Serikat. Pengabaian secara hukum atas kasus pembunuhan Jenderal Soleimani menjadi bukti lemahnya kemampuan eksekusi yang dimiliki oleh Lembaga Internasional (PBB) untuk menjalankan Hukum Internasional secara konsekuen dan berkeadilan.

Pertanyaannya, mengapa muncul tatanan dunia yang dihegemoni AS seperti ini dan sampai kapan kondisi ini akan terus berlangsung?

American Century

Secara umum American Century adalah sebuah terminologi yang sering digunakan untuk menggambarkan kedigdayaan Amerika Serikat dengan segala keunggulan sumberdaya yang dimilikinya. Istilah American Century juga dimaknai sebagai era dimulainya hegemony Amerika Serikat. Namun, istilah tersebut masih absurd, kabur dan belum definitif. Setidaknya terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab. Diantaranya, bagaimana dan kapan American Century itu dimulai? Variabel apa saja yang digunakan sebagai indikator untuk menandai era American Century?

Joseph Nye menawarkan tiga indikator untuk kategori hegemonic power: economic power, military power dan soft power.

Kebangkitan ekonomi AS pertama kali lahir di akhir abad ke-19, ketika AS menjadi negara industri terbesar melampaui Inggris dan negara-negara industri Eropa lainnya. Pada awal abad ke-20, Amerika Serikat telah menyumbang hampir seperempat dari ekonomi dunia dan kemajuan ekonomi AS terus berlanjut hingga Perang Dunia Kedua. Pada periode setelah perang, besarnya ekonomi Amerika Serikat adalah setengah dari ekonomi dunia. Tidak heran jika banyak menyebut abad ke-20 adalah era Pax Americana, sebagaimana Pax Britannica di abad ke-19 dan Pax Romana di abad ke-15.

Walaupun AS telah menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar sejak akhir abad ke-19, tetap saja AS belum menjadi pemain utama dalam percaturan politik global. Sampai akhirnya, Presiden Theodore Roosevelt dan Woodrow Wilson melakukan investasi besar-besaran untuk memperkuat kekuatan militer AS. Di era Presiden Roosevelt dibuat “The Great White Fleet” sebagai salah satu kapal perang terbesar di masanya. Kapal perang itu semuanya dicat putih dengan membawa bendera, sebelum melaksanakan ekspedisi keliling dunia selama 2 tahun (1907-1909). Dalam diplomasi maritim tujuan ekspedisi ini juga disebut sebagai diplomasi “show the flag”, Roosevelt ingin menunjukan kepada dunia tentang kekuatan militer AS di sektor maritim.

Selanjutnya, Amerika Serikat dianggap sebagai single hegemonic actor, persis setelah runtuhnya Tembok Berlin dan Uni Soviet (1991). Sejak itu, sistem internasional mulai bergeser ke arah unipolar, tidak ada lagi negara yang mampu memberikan perimbangan kekuatan (balance of power) terhadap AS seperti yang dilakukan Soviet di era Perang Dingin. Fukuyama menyebutnya sebagai periode akhir sejarah (the end of the history) dengan kemenangan bagi ideologi Liberalisme. Bahkan Huntington menulis tentang pergeseran karakteristik konflik di masa mendadatang melalui tesisnya “the clash of civilization”. Tesis ini diangkat sebagai proyeksi perubahan bentuk perang konvensional ke bentuk perang baru (new wars) setelah runtuhnya Uni Soviet.

Sejak Perang Dunia Kedua berakhir, Amerika Serikat terus memperluas ekspansi dan pengaruhnya baik secara politik maupun ekonomi. Tahun 1947 Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan baru yang dikenal sebagai “containment policy”. Turunan dari kebijakan itu melahirkan Truman Doctrine dan Marshall Plan. Seperangkat kebijakan ini merupakan strategi AS untuk menangkal perluasan pengaruh komunisme Soviet di Benua Biru. AS memberikan bantuan dana segar kepada negara-negara Eropa Barat, untuk melakukan economy recovery pasca perang. AS juga membantu Turki dan Yunani yang pada saat itu sedang menghadapi pergolakan internal akibat munculnya kelompok komunis secara masif.

Periode 1960-an, Amerika Serikat mulai memperkuat cengkraman pengaruhnya di negara-negara berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Melalui proyek globalisasi ekonomi ala Neolib yang dijalankan oleh IMF dan World Bank (Bretton Woods System). Proyek besar ini cukup berhasil menjebak banyak negara berkembang ke dalam kubangan utang yang membuat mata rantai ketergantungan kepada AS seolah tak berujung. Struktur ekonomi global membentuk pola hirarkis dan AS berada pada puncak hirarki mengendalikan negara-negara di bawahnya. Dalam segitiga Liberalisme, Immanuel Kant menyebutnya sebagai economic interdependence.

Sebagai catatan tambahan, banyak presiden negara-negara berkembang khususnya di Amerika Latin yang digulingkan bahkan dibunuh hanya karena menolak proyek globalisasi ekonomi ini. Kondisi itu masih berlangsung hingga saat ini. Lihat bagaimana di Bolivia, Evo Morales dilengserkan secara tidak wajar. Di Venezuela mulai dari era Hugo Chavez sampai Nicolas Maduro, AS terus melakukan intervensi secara ilegal untuk menggulingkan pemerintahan sah disan.

Sampai Kapan “American Century” Bisa Bertahan?

Konfigurasi politik global abad ke-21 sangat berbeda dan jauh lebih kompleks. Sistem internasional telah bergeser ke arah multipolar. Tidak ada lagi “single hegemonic actor”. Polarisasi kekuasaan tidak lagi membentuk pola yang hirarkis, melainkan tersebar secara divergen dan membentuk keseimbangan baru (balance of power). Terbentuknya negara-negara emerging power di Asia menjadi proses awal transisi kekuasaan dari Barat ke Timur. Lihat saja bagaimana China menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia dan banyak lembaga ekonomi dunia memprediksi bahwa China akan menjadi Top Global Economy di tahun 2030.

China dengan mega proyek OBOR atau Belt Road Initiative telah menunjukkan keberhasilan China menguasai jalur perdagangan internasional. Dimana 70% perdagangan internasional melewati LCS. Di masa pemerintahan Obama, digagas proyek tandingan dengan nama Trans-Pacific Partnership sebagai upaya untuk mengimbangi agresifitas China. Tapi sepertinya negeri Tirai Bambu itu sudah maju terlalu jauh. Hanya perang besar yang bisa menghentikannya. Dan itu pilihan terburuk bagi AS. Apapun juga pilihannya, realitas ini menandakan power transition tengah berlangsung saat ini. Itulah mengapa AS tidak membiarkan China melaju begitu saja tanpa hambatan dan gangguan dan akhirnya kedua negara terlibat dalam trade war.

Di sisi lain, perubahan konfigurasi kekuatan global juga disebabkan oleh power diffusion, yang ditandai dengan munculnya aktor-aktor non-state seperti MNC, NGO, IGO dan terrorism organization. Tidak bisa dipungkiri, aktor non-state memiliki peran dan andil yang sangat besar di abad ini, khususnya dalam membentuk konfigurasi politik global. Lihat bagaimana perusahaan-perusahaan multi-nasional semakin digdaya di hadapan negara. Atau, lihat juga bagaimana kelompok terorisme menjadi kekuatan proxy yang kuat untuk merongrong sebuah negara berdaulat, seperti yang terjadi di Timur tengah.

Di Timur Tengah, pengaruh AS di kawasan Timur tengah mulai melemah. Proyek Timur Tengah Raya yang digagas oleh AS-Israel terus mengalami kebuntuan dan kegagalan akibat perlawanan sengit dari seluruh kelompok muqawamah (Poros Resistensi) di kawasan selama 2 dekade terakhir. Berbagai skenario dan skema jahat Arab Spring, terhenti dan gagal di Suriah, Irak, dan Yaman. Proyek The Greater Israel masih menjadi tumpukan kertas dalam dokumen Yinon Plan. Semua itu tidak terlepas dari peran Iran yang sejak awal berkomitmen dan konsisten berada di garis perlawanan menentang arogansi dan kezaliman poros AS-Israel. Ditambah lagi, gelora perlawanan negara-negara yang menolak tunduk pada arogansi AS terus berkobar dan membentuk poros perlawanan baru secara global, seperti yang sedang terlihat saat ini, poros Iran-Venezuela sudah terbentuk. Jika garis porosnya ditarik lebih luas maka akan terlihat poros yg lebih besar, di dalamnya ada China dan Rusia.

Namun, di saat kelompok muqawamah semakin mendekati keberhasilan dalam mengusir pasukan AS keluar dari Irak dan seluruh kawasan Timur-tengah, AS pun melakukan aksi terorismenya, yaitu membunuh Jenderal Qassem Soleimani. Iran kemudian melakukan serangan balasan, yaitu menggempur pangkalan militer AS terbesar di Timur Tengah, Ain Al Assad, di Irak. Aksi balasan ini tidak mendapatkan respon militer dari AS, namun AS membalasnya dengan berbagai sanksi ekonomi tambahan kepada Iran dan menghalang-halangi negara-negara di dunia untuk bekerja sama ekonomi dengan Iran. Bahkan di era Pandemi Covid-19, AS tetap mengembargo Iran dan menghalangi Iran untuk mengimpor berbagai perlengkapan medis yang dibutuhkannya. Namun demikian, Iran tetap mampu bertahan. Pekan ini sekolah-sekolah di Iran bahkan sudah dimulai kembali dengan menerapkan protokol kesehatan.

Sementara itu, AS mengalami guncangan hebat akibat pandemi: resesi ekonomi, aksi-aksi demonstrasi massa yang masif, dan kisruh politik. Kondisi ini, menunjukkan bahwa “American Century” sebenarnya sudah tinggal mitos belaka. Datangnya karma AS atas kematian Soleimani dan atas aksi-aksi state-terrorism-nya di muka bumi agaknya tinggal menunggu waktu.[]

Â