Politik Identitas, Antara Indonesia dan Palestina

al quds demo

Demo Al Quds (mendukung pembebasan Palestina) yang diadakan setiap Jumat terakhir di bulan Ramadhan (2017)

Oleh: Dina Y. Sulaeman

Saya berkali-kali menulis atau menyampaikan frasa ini: Palestina adalah kita. Sesungguhnya kalimat ini saya dapatkan dari seorang penulis Yahudi yang lahir dan besar di Israel, Gilad Atzmon. Di masa dewasanya, ia menyadari kejahatan Israel terhadap bangsa Palestina dan memilih pergi keluar, tinggal di Inggris, lalu aktif menulis mengkritik Israel dan membela Palestina. Dia bahkan menyebut diri sebagai orang Palestina. “Saya seorang Palestina yang berbahasa Ibrani,” kata Gilad kepada saya, saat kami berjumpa di Bandung tahun 2017.

Bertemu Gilad, yang sudah saya kenal via medsos beberapa tahun sebelumnya, cukup mendebarkan. Saya membaca bukunya, The Wandering Who, dan bisa merasakan pergulatan batin dan pikirannya terkait ras/leluhur/agama-nya sendiri. Ini perjumpaan kedua saya dengan orang Yahudi; yang pertama kali, bertahun yang lalu, di Tokyo.

Saya mengajak teman baik saya, Syarif, seorang penstudi HI. Kami berbincang akrab di lobby Hotel Papandayan, karena Gilad akan manggung di hotel itu malam harinya. Sikapnya hangat dan menyenangkan.

Yang ingin saya ceritakan di sini adalah penjelasan Gilad mengenai politik identitas yang digunakan oleh elit Yahudi untuk kepentingan mereka. Orang-orang Yahudi dibentuk untuk lebih ‘merasa sebagai Yahudi’, dibanding ‘merasa sebagai yang lain’. Jadi, mereka akan lebih membela ke-Yahudi-an dibanding negara tempat mereka tinggal.

Sikap/pandangan seperti ini diistilahkan dengan ‘politik identitas’. Inilah yang menjelaskan mengapa orang-orang Yahudi seluruh dunia merasa terikat pada Israel, menjadi pembela Israel, dan menyumbangkan uang ‘tzedakah’ untuk kejayaan Israel. Itu pula sebabnya mereka tutup mata dan telinga melihat kebrutalan yang dilakukan tentara Israel di Palestina; karena yang penting adalah ‘mereka’ (kaum Yahudi).

Tentu saja, selalu ada perkecualian, misalnya saja Gilad, atau Miko Peled yang pernah juga saya ceritakan di fanpage ini; atau para Rabi Neturei Karta yang menolak Israel. Banyak juga orang-orang Yahudi yang mendirikan LSM untuk membela Palestina.

dina-gilad1Gilad bertanya pada saya, apa di Indonesia juga ada politik identitas? Ada, jawab saya.

Aksi demo 212 adalah bentuk paling gamblang dari politik identitas di Indonesia. Dengan mengedepankan identitas keislaman (itupun Islam versi sebagian ustad yang berpolitik), publik digalang untuk mendukung kelompok politik tertentu. Sebagian pelaku demo tentu tak sadar; mereka semata-mata hanya merasa sedang membela agama. Perlu kecerdasan politik untuk menyadari adanya politik identitas.

Diskusi dengan Gilad memberi saya inspirasi untuk menuliskan hal-hal berikut ini.

Politik identitas atau memanfaatkan identitas tertentu dalam menggalang dukungan politik, adalah sebuah langkah berbahaya. Sebuah bangsa akan dipecah-pecah oleh identitas itu. Yang diperjuangkan bukan lagi bangsa, tetapi kelompok dengan identitas yang semu, dikonstruksi sesuai kehendak para penyandang dana. Seolah yang syar’i adalah yang ikut demo 212, yang lain tidak. Yang Islam adalah yang dukung si anu, yang lain tidak. Sehingga yang tidak dukung si anu dianggap bukan Islam dan ditolak jenazahnya oleh masjid tertentu.

Padahal kemudian diketahui, kelompok politik yang diusung 212 ternyata juga berbaik-baik dengan taipan etnis China. Lihat betapa semu identitas yang dibangun: etnis China di dalam kelompok ‘kami’ berbeda identitas dengan etnis China yang berada di luar kelompok ‘kami’. Identitas ‘kami’ dan ‘mereka’ telah membuat bangsa ini tercabik-cabik, friksinya meluber kemana-mana. Tidak lagi sebatas pilkada, tapi masuk ke berbagai ranah sosial.

Di Palestina ini pun terjadi. Hamas, yang awalnya pejuang kemerdekaan Palestina, mendapat dukungan luas dari kaum Muslimin dunia, tiba-tiba saja memilih berpihak kepada para pemberontak (teroris) Suriah.  Ketika front pembela Palestina  sudah mati-matian membela dan mendukung Hamas, elit Hamas malah melempar kotoran kepada mereka.

Apa sebabnya? Tak lain: politik identitas. Elit Hamas lebih mengedepankan identitas sebagai anggota Ikhwanul Muslimin, lalu bergabung dengan teroris di Suriah yang juga berasal dari IM.

Front pejuang Palestina pun kocar-kacir. Energi Suriah, Hizbullah, dan Iran, yang selama ini fokus membela Palestina terpaksa dikuras selama 8 tahun terakhir untuk berperang melawan ISIS, Al Qaida, FSA, Jaish al Islam, dll. Palestina terabaikan. Berita-berita kebrutalan tentara Israel terhadap warga Palestina terabaikan. Dunia lebih sibuk ‘mengurus’ Bashar Assad yang dituduh diktator, firaun, kejam, dll. [Tapi sekarang Hamas sudah ‘tobat’ dan lebih fokus mengurus Palestina].

HTIInipun terjadi di Indonesia.  Sebagai bangsa, kita menikmati keleluasaan untuk bergerak sebagai satu kesatuan. Kita punya Pancasila yang menjadi perekat dari berbagai keragaman yang ada. Tentu, masih banyak yang harus dibenahi, terutama di bidang kedaulatan ekonomi.

Tapi, front tertentu tiba-tiba saja menggunakan politik identitas ini dan merobek rekatan itu. Prosesnya berbarengan dengan konflik Suriah, tapi semakin tereskalasi pada pilpres 2014 sampai sekarang. Siapakah orang-orang yang sangat aktif mengusung politik identitas keagamaan ini di Indonesia? Sudah sering saya ceritakan: tak lain, mereka yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok yang angkat senjata di Suriah. Ikhwanul Muslimin, HTI, ISIS, Al Qaida (di Indonesia mereka menjelma dalam berbagai nama).

Saya juga sudah sering tuliskan bahwa para teroris di Suriah itu mendapatkan dana dan senjata dari AS dan sekutunya (terutama Saudi, Turki, Qatar). Para tokoh elit AS sudah mengakui hal ini, media mainstream pun sudah memberitakan.

Kemarin, saya sudah tulis bahwa segala kebijakan perang AS adalah DEMI ISRAEL. Kekacauan di Timteng dilakukan oleh kelompok-kelompok ‘jihad’ yang sebenarnya didanai oleh AS dkk.

Setali tiga uang: di Indonesia, rusaknya atmosfer kebangsaan diprovokasi oleh kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan ‘jihad’ Suriah.  Entah sadar atau tidak sadar, tapi merekalah pelaku utamanya. [Oiya, mereka ini juga hobi mengusung isu Palestina, terutama untuk menggalang dana, semoga kini Anda sudah tahu posisi asli mereka].

Di Indonesia, ketika publik gaduh bertengkar akibat isu agama/sektarian, adakah yang peduli pada manuver kapitalis global dalam mengeruk kekayaan alam kita? Adakah yang mengawasi apa yang terjadi di pegunungan Kendeng, atau pertambangan-pertambangan yang memperkaya segelitir, tetapi menimbulkan dampak ekologi yang sangat buruk bagi masyarakat? Adakah yang peduli pada nasib masyarakat yang kekeringan karena airnya dikuras oleh perusahaan penjual air yang terafiliasi dengan Israel? Siapakah pemilik saham perusahaan-perusahaan transnasional yang mengeruk kekayaan alam Indonesia?

Tidak ada yang peduli. Karena kita sibuk berdebat soal agama. Rakyat sibuk bertengkar, para kapitalis berpesta pora. Alangkah bodohnya kita.

Tapi, ini adalah kebodohan yang dihasilkan oleh proses pembodohan dan pematian daya nalar selama puluhan tahun. Andre Vltchek dengan tajam membahasnya di sini.

Andre menulis:

Inti dari aliansi dan dogma Wahabi/Inggris, dari dulu hingga kini, sangatlah sederhana: “Para pemimpin agama akan memaksa umatnya menjadi orang-orang yang selalu dalam keadaan ketakutan yang parah dan irasional, untuk selanjutnya menjadi orang-orang yang amat patuh. Tidak boleh ada kritik apapun terhadap agama; tidak boleh mempertanyakan esensinya dan khususnya penafsiran Kitab yang konservatif dan kuno. Setelah dikondisikan dengan cara ini, pada awalnya umat berhenti mempertanyakan dan mengkritik feodalisme, kemudian tidak mempertanyakan penindasan kapitalis; mereka juga menerima tanpa syarat perampasan sumber daya alam mereka oleh para elit lokal dan asing. Semua upaya untuk membangun masyarakat sosialis dan egaliter terhalang secara brutal, ‘atas nama Islam’ dan ‘atas nama Tuhan’.

Tentu saja, sebagai akibatnya, kaum imperialis Barat dan para budak ‘elit’ lokalnya tertawa sepanjang jalan menuju bank, dengan mengorbankan jutaan orang miskin yang tertipu di negara-negara yang dikendalikan oleh dogma-dogma Wahhabi dan Barat.

 

Setelah Presiden Sukarno digulingkan, Orde Baru terbentuk. Peristiwa G 30 S pun terjadi. Pro-kontra atas catatan sejarah ini tentu sah-sah saja. Namun, siapapun yang melakukannya, dari pihak manapun korbannya, kenyataannya, ada ratusan ribu anak bangsa yang tewas, baik sebelum G 30 S maupun setelahnya. Inilah perang saudara di Indonesia, yang berawal dari pro-kontra ideologi. Bisa dibayangkan, dalam carut-marut konflik dan perseteruan di antara sesama anak bangsa; di tengah dendam, rasa sakit, kehilangan, dan duka cita, ada hal-hal sangat penting yang terabaikan dari perhatian publik. Di antaranya, segera setelah Sukarno diturunkan dari kekuasaan dan Suharto menjadi presiden, terjadi ‘perampokan’ besar-besaran terhadap kekayaan alam Indonesia.

‘Perampokan’ itu terjadi tahun 1967. John Pilger dalam bukunya yang berjudul “The New Rulers of the World” menulis sebagai berikut.

“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil-alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili: perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top.

Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. “Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler,” kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konperensi. “Mereka membaginya ke dalam lima seksi: pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan: ini yang kami inginkan: ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.”

John Perkins, penulis buku Confessions of an Economic Hit Man, menceritakan dengan gamblang modus operandi lembaga-lembaga keuangan AS dalam mengeruk uang adalah dengan memberikan hutang raksasa kepada negara-negara berkembang. Kata Perkins,

“Salah satu kondisi pinjaman itu –katakanlah US $ 1milyar untuk negara seperti Indonesia atau Ekuador—negara ini kemudian harus memberikan 90% dari uang pinjaman itu kepada satu atau beberapa perusahaan AS untuk membangun infrastruktur—misalnya Halliburton atau Bechtel. Ini adalah perusahaan yang besar. Perusahaan-perusahaan ini kemudian akan membangun sistem listrik atau pelabuhan atau jalan tol, dan pada dasarnya proyek seperti ini hanya melayani sejumlah kecil keluarga-keluarga terkaya di negara-negara itu. Rakyat miskin di negara-negara itu akan terbentur pada hutang yang luar biasa besar, yang tidak mungkin mereka bayar.”

Lalu siapakah pemilik perusahaan-perusahaan yang disebut-sebut oleh Pilger dan Perkins?

Misalnya saja, sebagian saham Halliburton dikuasai Soros, bisnismen Yahudi yang berperan penting dalam ambruknya perekonomian Asia (termasuk Indonesia, tentu saja) tahun 1997. Bechtel pun dimiliki oleh keluarga Yahudi Amerika. Ini baru dua di antara sekian banyak perusahaan transnasional yang mengeruk uang sangat-sangat banyak di seluruh dunia. Bila kita mempelajari bagaimana sepak terjang berbagai perusahaan transnasional yang dikuasai oleh pebisnis Yahudi dalam mengeruk uang (sebagiannya telah ditulis oleh Perkins), kita dapat menyimpulkan bahwa mereka melakukan aktivitas ekonomi yang kotor dan menghalalkan segala cara.

Atzmon pernah menulis, Israel meraup keuntungan besar dari bisnis pencucian uang. Israel merupakan surga untuk mencuci uang haram yang dilakukan mafia-mafia dan pengusaha kotor. Israel juga mendapatkan uang dari industri berlian. Israel mengimpor berlian mentah dari negara-negara miskin Afrika lalu mengolahnya menjadi perhiasan dan mengekspornya ke berbagai  negara dunia. Mengingat bahwa penambangan berlian banyak mengorbankan rakyat miskin di Afrika, dan bahwa berlian menjadi salah satu pilar utama ekonomi Israel yang merupakan penjajah Palestina, maka berlian produksi Israel sering disebut sebagai ‘blood diamond’ (berlian berdarah).

Parahnya, di pasar, konsumen tidak bisa mendeteksi, mana ‘berlian berdarah’ produk Israel, mana berlian produk negara lain. Tak heran bila LSM-LSM pro-boikot produk Israel menyuarakan protes terkait tidak bisa terdeteksinya negara asal produksi berlian.

Israel juga mendapat uang dari penjualan alat-alat militer (dan sayangnya, Indonesia termasuk pembelinya!), bahkan dari penjualan organ tubuh manusia. Pendek kata, Israel memiliki perekonomian yang maju karena melakukan aktivitas ekonomi yang sangat kotor.

Semua uang inilah yang membuat Israel ‘hidup’ hingga hari ini, mampu melanjutkan kejahatannya di Palestina, serta tak pernah bisa diajak bernegosiasi secara adil demi kehidupan damai di Palestina.

 

Jadi, membela Palestina pada hakikatnya adalah membela diri kita. Kita pun adalah korban dari tatanan ekonomi dunia yang tidak adil, yang diatur oleh para pebisnis Yahudi. Karena itu, pembelaan pada Palestina seharusnya tidak sekedar histeria mengutuk serangan fisik di Gaza, tapi melupakan aspek ekonomi-politik internasional.

Tulisan ini sudah terlalu panjang. Tapi semoga bisa dilihat benang merahnya, sehingga bisa paham mengapa Gilad sampai menulis: kita semua adalah Palestina, karena kita menghadapi musuh yang sama. []

Transkrip perbincangan saya dengan Gilad: http://ic-mes.org/politics/interview-with-gilad-atzmon/