Miko Peled: Membongkar Tiga Mitos Israel

miko peledPengantar:

Miko Peled adalah anak dari seorang jenderal di IDF (tentara Israel). Miko menulis buku “The General’s Son” yang menceritakan pengalaman pribadinya, bagaimana dia akhirnya menyadari kejahatan yang telah dilakukan pemerintah Israel, dan kemudian menjadi aktivis pembela Palestina. Miko berkeliling AS dan Israel untuk berpidato di berbagai forum, berusaha menyadarkan publik apa yang sebenarnya terjadi di Palestina. Berikut ini adalah terjemahan pidatonya tahun 2011 di acara “Pekan Kesadaran Palestina” di San Diego State University. Isinya sangat penting diketahui oleh orang-orang yang ingin mengetahui sejarah konflik ini dan berbagai kehobongan yang meliputinya.

—-

Saya akan mulai dengan berterima kasih kepada anggota AIPAC (America Israel Public Affair), komunitas Zionis Yahudi yang hadir di sini malam ini. Saya senang bahwa mereka mau meluangkan waktu untuk menunjukan solidaritas pada rakyat Palestina. Saya tahu Anda akan mendengarkan dan mencermati rekaman pidato saya malam ini serta mempelajarinya dengan baik dengan harapan Anda akan menyadari bahwa Anda sedang mendukung sesuatu yang jahat. Seperti Anda lihat, saya juga berasal dari latar belakang Zionis yang kuat, jauh lebih Zionis dan lebih Yahudi dari sebagian besar Anda yang ada di sini malam ini. Kakek saya adalah seorang penandatangan  deklarasi kemerdekaan Israel, dan ayah saya, seorang jenderal yang merencanakan dan mengeksekusi kejayaan militer Israel pada tahun 1948 dan 1967. Karena itu saya tahu apa yang telah diajarkan kepada Anda dan saya tahu apa yang Anda pikirkan. Tapi ini saatnya untuk menghapus mitos Zionis dan mengungkap kebenaran sehingga akhirnya kita semua bisa hidup dalam damai.

Mitos-mitos yang akan saya sampaikan malam ini adalah tiga mitos yang paling umum, yaitu (1) mitos tahun 1948 (2) mitos tentang ancaman eksistensi 1967 dan (3) mitos demokrasi Yahudi.

1. MITOS TAHUN 1948

Saya ingin membacakan kepada Anda sebuah kutipan dari buku saya, “Putra Sang Jenderal” (The General’s Son).

Kita tumbuh dewasa dengan diajari untuk percaya bahwa orang-orang Arab telah meninggalkan tanah Israel, sebagian atas keinginan sendiri dan sebagian lagi atas arahan pemimpinnya; karena itu mengambil tanah dan rumah mereka adalah baik-baik saja secara moral. Tidak pernah kita sadari bahwa jikapun mereka pergi atas keinginan sendiri, kita tidak punya hak untuk melarang mereka kembali. Namun kemudian sejarawan Israel menemukan bahwa apa yang dikatakan orang Palestina selama beberapa dekade adalah benar.

Dengan kata lain, ketika orang Palestina mengklaim sesuatu yang benar, kita menyangkalnya. Tetapi ketika orang Israel mengklaim hal yang sama untuk kepentingannya sendiri,  hal itu jadi cerita yang berbeda. Sejarawan Israel menemukan bahwa Israel dan Palestina adalah tempat yang sama persis. Tapi ketika Israel diciptakan, Israel didirikan di atas reruntuhan Palestina.

Saat ini, meski Palestina belum menjadi negara resmi, ia seharusnya telah menjadi negara jika saja tidak dihancurkan [seperti sekarang].  Palestina dulu memiliki kota yang ramai di mana perniagaan dan jual-beli berlangsung, mereka memiliki kelas menengah, memiliki hakim dan orang terpelajar, mempunyai kehidupan politik yang kaya, serta kebudayaan dan identitas unik yang membedakan mereka dengan bangsa Arab lainnya. Satu hal yang tidak dimiliki oleh Palestina adalah investasi pada bidang militer. Meskipun mereka adalah populasi mayoritas, tapi saat milisi-milisi Yahudi menyerang [pra-pembentukan Israel], mereka tidak berdaya.

Komunitas Yahudi di Palestina pada masa itu jumlahnya  kurang dari setengah juta orang, tetapi mereka mengembangkan negaranya sendiri seperti lembaga terpisah dari orang-orang Palestina. Berdasarkan prinsip Hafrada, atau pemisahan diri, mereka telah mengembangkan sekolah khusus, sistem pelayanan kesehatan yang dinasionalisasi, quasi government (lembaga serupa pemerintahan) dan milisi yang kuat dan terlatih, diisi oleh para pemuda seperti ayah saya yang berdedikasi untuk menciptakan negara Yahudi di Palestina tanpa mempedulikan keberadaan sebagian besar penduduk Palestina.

Pada tahun 1948 milisi Yahudi menjadi tentara Israel, tapi antara akhir tahun 1947 dan awal tahun 1949 mereka telah menghancurkan hampir 500 kota dan desa dan mengusir hampir 800.000 orang Palestina yang sampai hari ini tidak diizinkan untuk kembali [ke rumah mereka]. Jadi,  penciptaan negara Israel, bagaimanapun, bukanlah hasil dari pertempuran yang tidak terencana di mana orang-orang Arab meninggalkan rumah mereka karena arahan para pemimpin mereka sendiri. Itu adalah aksi sistematis pembersihan etnis oleh milisi Yahudi yang melibatkan pembantaian, terorisme, dan penjarahan besar-besaran di seluruh negeri.

Ibuku ingat rumah-rumah orang-orang Palestina yang dipaksa meninggalkan Yerusalem Barat. Dia sendiri ditawari salah satu dari rumah yang indah dan luas itu tetapi  menolak. Dia tidak tahan membayangkan tinggal di rumah sebuah keluarga yang dipaksa keluar lalu menetap di kamp pengungsian. Ibuku mengatakan, cangkir kopi di meja [di rumah-rumah itu] masih hangat ketika tentara datang dan mulai menjarah. Dia ingat truk-truk pengangkut barang jarahan yang diambil oleh tentara Israel dari rumah-rumah itu. Setelah negara Israel dibentuk, mereka [tentara] bekerja tanpa lelah menghapus sisa-sisa keberadaan Palestina dengan menghancurkan kota dan desa serta situs-situs bersejarah termasuk sekitar dua ribu masjid.

Saya ingat serial TV Israel Tkuma atau “Kelahiran Kembali” (sebuah serial luar biasa yang menggambarkan kelahiran kembali orang-orang Yahudi dan pendirian negara Yahudi. Dalam satu wawancara, seorang komandan brigade kawakan tahun 1948 ditanya apakah benar bahwa tentara membakar desa-desa Arab. Dia melihat ke atas perlahan menatap kamera dan berkata: “Seperti api unggun,” jawabnya, mereka terbakar seperti api unggun.)

Setelah perang usai, orang-orang Palestina yang tersisa di wilayah negara Yahudi yang baru berdiri dipaksa untuk menjadi warga dari sebuah negara yang dipaksakan atas mereka [orang Palestina] dan mereka ditetapkan sebagai “orang-orang Arab-Israel”; sebuah sebutan yang menyangkal identitas dan hak-hak nasionalnya. Mereka adalah orang Arab di negara Yahudi dan mereka adalah warga negara yang tidak dihargai oleh semua tetangganya.rumah palestina

Rumah milik warga Palestina (sekarang dikuasai orang Israel), sumber

2. MITOS 1967

Mitos Zionis lain yang diterima secara luas adalah bahwa pada 1967 Israel harus mempertahankan diri terhadap ancaman yang datang dari pasukan Arab yang ingin menghapus mereka dari muka bumi. Dan di luar dugaan, orang Israel berhasil menang dan menaklukkan kawasan-kawasan di utara, timur, dan selatan, mengalahkan tiga tentara [negara] besar. Di samping buku-buku yang tak terhitung jumlahnya ditulis dalam bahasa Ibrani, Inggris, Arab dan film-film dokumenter yang tidak mengakui mitos ini dan menunjukkan dengan jelas bahwa Israel-lah yang menyerang untuk menaklukkan,  sebagai bagian dari penelitian untuk buku saya, setiap hari saya duduk membaca arsip tentara Israel, membaca risalah pertemuan staf para jenderal Israel. Ini kutipan lain dari buku saya:

Dalam sebuah pertemuan penting petinggi IDF [tentara Israel] dengan Kabinet Israel yang berlangsung pada tanggal 2 Juni 1967, ayah saya, Jenderal Matti Peled, mengatakan kepada kabinet dengan tegas bahwa Mesir membutuhkan setidaknya satu setengah tahun untuk siap berperang skala penuh. Intinya, waktu untuk melakukan pukulan telak terhadap tentara Mesir adalah sekarang, bukan karena adanya ancaman nyata tetapi karena tentara Mesir TIDAK siap untuk perang. Para jenderal yang lain setuju. Tetapi kabinet ragu-ragu. Anggota kabinet dan Perdana Menteri tarik-menarik membayangkan dampak apa yang akan terjadi. Dalam kesempatan yang sama, ayah saya berkata kepada Perdana Menteri: “Nasser [Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser] tidak menyiapkan pasukan dengan baik karena  karena dia mengandalkan kabinet yang ragu-ragu. Dia yakin bahwa kita tidak akan menyerang Mesir. Sesungguhnya keraguan Anda membawa keuntungan.”

[Rapat itu] Tidak menyebutkan adanya ancaman eksistensial tetapi kesempatan untuk memamerkan kekuatan Israel. Bertahun-tahun kemudian hal ini diakui oleh jenderal lainnya, termasuk si jagal Ariel Sharon. Pada akhirnya Kabinet menyerah karena tekanan besar para jenderal sehingga menyetujui serangan pendahuluan terhadap Mesir, yang dimulai pada 5 Juni 1967. Sekali lagi saya kutip buku saya:

Serangan mendadak itu menyebabkan kehancuran total angkatan udara Mesir, pengurangan personil, dan penaklukan kembali Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai hanya dalam hitungan hari. Tentara Israel juga tahu tentara Suriah berantakan, adapun pasukan Yordania tidak sepadan dengan kekuatan IDF. Setelah serangan terhadap Mesir berjalan dengan mulus, para jenderal mengalihkan perhatian mereka ke Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan, dua wilayah yang telah didambakan Israel selama bertahun-tahun. Keduanya memiliki sumber daya air strategis dan perbukitan yang menghadap wilayah Israel. Tepi Barat adalah jantung Israel menurut Bible, dan permata mahkota kota tua Yerusalem. Dalam enam hari semuanya berakhir. Korban orang Arab diperkirakan mencapai 15.000 orang (15.000 tewas dalam 6 hari!) Korban Israel 700, dan wilayah yang dikuasai oleh Israel telah bertambah hampir tiga kali lipat. Israel tidak hanya memiliki tanah dan sumber daya yang mereka inginkan sejak lama, tetapi juga persediaan senjata terbesar buatan Rusia di luar Rusia. Israel sekali lagi menegaskan dirinya sebagai kekuatan regional utama. 

Sekarang di sini dimana satu bagian yang sangat besar telah berlangsung: ingat ini adalah kejadian 46 tahun yang lalu:

Pada pertemuan para jenderal setelah Perang Enam Hari, Kepala Staf Yitzhak Rabin berseri-seri atas kemenangan ini. Tetapi ketika pertemuan menjelang berakhir, ayah saya mengangkat tangannya. Dia dipersilahkan bicara; dan dia berbicara tentang kesempatan unik yang ditawarkan oleh kemenangan ini, yaitu [kesempatan] untuk menyelesaikan masalah Palestina sekali dan untuk selamanya. Pertama kali dalam sejarah Israel, kita berhadapan langsung dengan orang-orang Palestina, tanpa orang Arab lain di antara kita. Sekarang kita memiliki kesempatan untuk menawarkan negara untuk mereka sendiri di Tepi Barat dan Gaza. Ayah saya menyatakan dengan yakin bahwa menguasai Tepi Barat dan orang-orang yang hidup di dalamnya bertentangan dengan strategi jangka panjang Israel. Perlawanan warga Tepi Barat pasti muncul dan tentara Israel akan digunakan untuk menumpas perlawanan itu, yang akan menghasilkan bencana dan demoralisasi. Itu akan mengubah negara Yahudi menjadi kekuatan penjajah yang semakin brutal dan akhirnya menjadi negara bi-nasional. Dalam hal ini tidak ada ‘kenabian’ karena hari ini kita hidup dalam realitas yang nyata. Saat ayah saya mengatakan ini, para pemimpin Intifada (pemberontakan Palestina) masih berada dalam buaian mereka [masih kecil].

Kata-kata ayah saya diabaikan, klaimnya diabaikan. Sebaliknya, karena dibutakan oleh akses yang baru mereka dapatkan ke tempat-tempat dengan nama-nama mitos/Alkitabiah seperti Hebron dan Bethlehem, Shilo dan Shcem, para pemimpin Israel memulai proyek pemukiman besar-besaran untuk menempatkan orang Yahudi di tanah yang baru ditaklukkan itu. Beberapa tahun kemudian ayah saya meminta Israel untuk bernegosiasi dengan PLO (The Palestinian Liberation Organization). Dia mengklaim bahwa Israel perlu berbicara dengan siapa pun yang mewakili rakyat Palestina, orang-orang yang berbagi tanah ini dengan kami. Dia percaya hanya perdamaian dengan Palestina yang bisa menjamin keberlangsungan Israel sebagai negara Yahudi dan demokratis.

Sekarang, bertahun-tahun kemudian, orang-orang berbicara tentang menciptakan negara Palestina di Tepi Barat (West Bank) tetapi pilihan itu tidak ada lagi.

3. MITOS DEMOKRASI YAHUDI

Mitos tentang adanya demokrasi di Israel masih terus dilanggengkan padahal bukti-bukti kuat menunjukkan hal yang bertolakbelakang. Orang Yahudi di Israel dan anggota AIPAC di sini [AS] berpikir bahwa mereka adalah satu-satunya warga negara yang sah di tanah mereka [Israel] dan berpendapat bahwa mereka hidup dalam demokrasi. Pikiran ini ini jauh dari kebenaran. Israel telah mengendalikan Tepi Barat selama lebih dari empat dekade, telah membangun dan berinvestasi besar-besaran di sanaBarat. Tetapi orang-orang Palestina yang merupakan mayoritas besar penduduk di Tepi Barat tidak dilibatkan dengan semua itu. Dengan kata lain, 100% pembangunan di Tepi Barat dilakukan untuk membawa orang Yahudi ke Tepi Barat dan mengabaikan hampir 3 juta warga Palestina yang memiliki tanah ini sejak awal. Tiga juta orang Palestina ditinggalkan, kehilangan haknya, bahkan ketika mereka menyaksikan tanah mereka dirampas, rumah mereka dihancurkan, sementara jalan, mal, sekolah dan komunitas dibatasi hanya untuk orang Yahudi tanpa akses bagi warga Palestina. Itu yang dikatakan demokrasi [?].

Dan itu bukan yang terburuk. Air, sumber daya yang paling langka dari semuanya dikendalikan dan didistribusikan oleh otoritas air Israel, termasuk sejumlah besar air yang ada di dalam Tepi Barat. Menurut Betselem, organisasi HAM Israel, air tanah dari Gunung Aquifer adalah sumber air bersama untuk Israel dan Palestina. Ini adalah sumber air terbesar dengan kualitas terbaik di daerah tersebut, menghasilkan 600 juta meter kubik air setiap tahunnya. Israel memegang hampir sepenuhnya kendali atas Aquifer dan mengeksploitasi 80 persen dari produksi untuk kebutuhannya, meninggalkan sisanya untuk digunakan Palestina. “Pembagian sumber daya air bersama yang diskriminatif dan tidak adil menciptakan kekurangan air kronis di Tepi Barat, dan menjadi penyebab terganggunya kesehatan warga Palestina.” Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan konsumsi harian per kapita minimal 100 liter. Konsumsi per kapita harian di Israel adalah 242 liter, konsumsi di Tepi Barat adalah 73 liter per orang.

“Di wilayah tertentu, konsumsinya bahkan lebih rendah yaitu 37 liter (Distrik Tubas), 44 (Distrik Jenin), dan 56 (Distrik Hebron).” Jadi orang Palestina harus membeli air mereka sendiri dari Israel, karena Israel tidak mengakui hak-hak Palestina atas air yang ada di bawah tanah Palestina. Lebih tidak masuk akal lagi karena petani Palestina dilarang menggali sumur di tanah mereka sendiri. Jika melihat distribusi per tahun tampak lebih mengkhawatirkan lagi. Israel mendistribusikan air sebagai berikut. Per kapita, Yahudi Israel menerima 300 meter kubik air per tahun. Per kapita Palestina menerima 85 meter kubik per tahun. (Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan 100 meter kubik per tahun). Per kapita, pemukim Yahudi di Tepi Barat dialokasikan 1.500 meter kubik air per tahun. Dengan kata lain, sementara orang Palestina hampir tidak cukup minum, pemukim Yahudi dengan jarak tidak lebih dari 500 yard memiliki kolam renang dan halaman rumput hijau. Apakah ada yang benar-benar mengira bahwa situasi ini bisa berlangsung selamanya? Inikah demokrasi? Sekarang, seiring dengan kebangkitan rakyat Timur Tengah kita dapat berharap tumbangnya rezim-rezim diktator seperti kartu domino. Bisakah kita berharap bahwa 5 juta orang Palestina akan terus hidup di bawah rezim yang demokratis untuk orang Yahudi tetapi sangat opresif terhadap orang Palestina? Kini ada hampir 6 juta orang Yahudi Israel dan 5,5 juta orang Palestina yang berbagi negara yang sama di bawah hukum yang berbeda.

Ayah saya merupakan tokoh besar militer Israel, tetapi ia juga bertahun-tahun berjuang demi keadilan untuk kepentingan Palestina. Ia sering ditanya tentang ‘terorisme Palestina’,  jawabannya tertulis dalam buku saya karena ini adalah masalah klasik. Saya ingat dia mengatakan dalam sebuah wawancara di televisi Israel, “Terorisme adalah hal yang mengerikan. Tetapi kenyataannya tetap sama, ketika sebuah negara kecil diperintah oleh kekuatan yang lebih besar, teror adalah satu-satunya cara bagi mereka menyelesaikan masalah. Hal ini sering terbukti benar, dan saya khawatir ini akan selalu menjadi masalah.” Prediksi ayah saya semuanya menjadi kenyataan. Usaha lobi Israel di negara ini tidak bertahan, orang-orang di seluruh dunia mulai menyadari bahwa sebenarnya ada dua negara yang hidup di antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania dan bahwa rezim brutal yang menguasai kehidupan orang Palestina tidak dapat diterima.

Dan berbicara tentang AIPAC, saya teringat, saya melihat banyak dari Anda -anggota AIPAC San Diego terhormat yang duduk di sini malam ini- pada malam renungan yang diadakan untuk mengenang korban tak berdosa yang dibunuh oleh Israel di Gaza. Acara itu diadakan beberapa bulan lalu di Balboa Park. Anda berbalut bendera Israel, bernyanyi dan menari saat kami yang berada di sana juga -terpisahkan oleh barisan polisi dan rasa moralitas- mencoba mengingat kembali nama-nama lebih dari 1400 orang tewas, warga sipil yang tidak bersalah, petugas polisi, anak-anak, wanita dan orang-orang yang dibunuh oleh negara Israel dalam tiga minggu.

Itu adalah tiga minggu kematian dan kehancuran, hal yang sangat sulit dipahami. Saya ingat cerita tentang pilot angkatan udara Israel yang melakukan serangan mendadak setelah serangan mendadak berulang, membuang ratusan ton bom di Gaza, menghancurkan penduduk sipil, sebuah ketakutan yang tak terbayangkan. Kemudian, para pilot itu kembali ke rumah keluarga mereka untuk merayakan liburan Yahudi Hanukah. Anda tahu bahwa serangan itu terjadi selama perayaan Hanukah. Kemudian para pilot ini, setelah menikmati perayaan itu tidur nyenyak dalam kenyamanan rumah dan tempat tidur mereka hanya untuk bangun keesokan paginya dan melakukan hal itu lagi, dan lagi, dan lagi. Saya ingat bahwa selama malam perenungan itu, Anda yang berbalut bendera Israel memegang tanda-tanda peringatan dari tentara Israel yang diberikan kepada orang-orang Gaza sebelum mereka diserang.

Tentara Israel menjatuhkan ribuan selebaran [tanda peringatan] untuk membiarkan orang-orang yang terkepung di Gaza tahu bahwa mimpi buruk akan segera dimulai. Saya hanya bisa membayangkan ibu-ibu yang membaca peringatan itu. Mengetahui bahwa ini kematian dan kehancuran yang tertunda, tidak ada tempat untuk pergi, tak ada tempat untuk menyembunyikan anak-anaknya dari api, asap, bahan kimia dan fosfor yang melelehkan daging dan tidak bisa dipadamkan, tak ada tempat untuk pergi karena Israel telah memberlakukan pengepungan, penguncian yg tidak pernah berakhir pada orang-orang Gaza. Menjadi pilot angkatan udara Israel, orang-orang muda Israel dan Zionis Yahudi bangga, merasa merekalah yang terbaik. Padahal yang mereka lakukan itu tidak lebih dari menembaki ikan di dalam tong, ketika mereka memulai serangan tanpa belas kasihan pada pukul 11:25 pagi tepat pada tanggal 27 Desember 2008.

Tanggal itu selamanya akan terukir dalam ingatan kita sebagai salah satu hari paling kelam dan paling memalukan dalam sejarah panjang orang-orang Yahudi. Suatu hari ketika negara Yahudi melakukan kejahatan memalukan yang mengerikan dengan menjatuhkan ratusan ton bom tepat pada saat anak-anak Gaza keluar ke jalan. Antara 11 dan 11:30 pagi, 800.000 anak-anak Gaza sedang dalam perjalanan ke sekolah atau kembali ke rumah dari sekolah, pada saat inilah dua giliran pergantian sekolah. Itu adalah waktu yang dipilih oleh para pembuat keputusan lsrael untuk memulai serangan.

Untuk menekankan betapa kriminal serangan ini, saya ingin membacakan untuk Anda kutipan dari Charles Glass, seorang penulis veteran dan reporter Timur Tengah, dalam “The Tribes Triumphant”; ini bisa disebut sebagai salah satu buku terbaik yang pernah ditulis tentang Timur Tengah. Charles Glass menggambarkan anak-anak di Gaza dalam perjalanan ke sekolah di pagi hari. Setiap orang seharusnya membaca buku tersebut , dan inilah yang dia tulis tentang anak-anak di Gaza, “..dengan seragam biru abu-abu dan putih pada kerah untuk para gadis kecil, anak laki-laki menuntun adik-adik kecil mereka … dengan tas kanvas berisi buku di punggung mereka, rambut disisir ke belakang dan wajah digosok .. Ribuan dan ribuan kaki anak-anak melapisi jalan berdebu di antara pintu depan rumah ibu dan sekolah mereka… Gaza adalah tanah kaum anak-anak .. anak-anak muda yang rupawan begitu polos dan mereka masih saja bisa tertawa di Gaza.”

Anak-anak inilah yang diserang Israel pada hari kelam bulan Desember itu. Bagi Anda yang berada di sini karena Anda mendukung kebrutalan Israel, tidak diragukan lagi akan mengklaim bahwa Israel memiliki hak untuk bertindak seperti itu sebagai bentuk membela diri. ‘Pertahanan diri dari roket Qassam yang ditembakkan oleh militan Hamas di Gaza. Ribuan roket yang diluncurkan untuk membunuh warga sipil tak berdosa di Israel.’

Saya tahu satu atau dua hal tentang roket kassam [Qassam]. Saya sedang duduk bersama anak-anak dan kerabat saya di sebuah kibbutz (pemukiman pertanian Israel), sebuah lemparan batu dari Gaza pada Sabtu sore yang tenang ketika roket mulai terbang di atas kami dan alarm berbunyi. Itu menakutkan. Baru pada bulan Desember yang lalu sebuah roket Qassam jatuh di kibbutz yang sama di dekat taman kanak-kanak, ketika anak-anak berada disana. Banyak anak terluka. Ada goresan berdarah, pecahan kaca di mana-mana dan beberapa anak dirawat di rumah sakit dalam keadaan syok. Saya melihat lubang di tanah yang dibuat oleh roket itu, seukuran bola sepak besar. Dan kemudian saya teringat seperti apa kawah yang dibuat oleh bom seberat satu ton [yang dijatuhkan Israel]. Hasilnya adalah kawah seukuran satu blok kota. Anak-anak tidak menderita karena kaget atau tergores, mereka dihancurkan, dibakar dan dikubur di reruntuhan dan mati lemas karena asap.

Sekarang jumlah anak-anak itu bertambah, kalikan dengan 100 dan kalikan itu lagi dan lagi dan perlu diingat bahwa kepadatan populasi Gaza adalah salah satu yang tertinggi di dunia, yaitu 10.000 per mil persegi. Lobi Israel akan membenarkan serangan itu. Orang-orang di antara Anda yang Yahudi terbiasa dengan kisah dalam kitab Kejadian, pasal 18, ayat 23-26: Tuhan memutuskan untuk menghancurkan kota Sodom dan Abraham, sang patriark bertanya pada Tuhan dan berkata, “Engkau juga akan membinasakan orang saleh bersama orang jahat, mungkin ada lima puluh orang saleh di dalam kota.” Dan Tuhan berjanji akan menyelamatkan kota jika dia menemukan 50 orang soleh. Tetapi di Israel saat ini tidak ada Abraham, karena seperti yang kita tahu, ada 800.000 anak di Gaza dan Israel tidak menghindarkan mereka dari rasa takut. Sulit dibayangkan.

Saya sering dituduh berpihak membela satu sisi dan tidak menyebut terorisme Palestina. Nah kali ini saya akan mengatakannya, seperti yang dikatakan ayah saya beberapa dekade lalu: ketika sebuah negara kecil diperintah oleh kekuatan brutal yang lebih besar, perlawanan kekerasan akan terjadi. Dan korbannya selalu warga tidak berdosa. Keluarga saya mengalami kekerasan akibat aksi terorisme dan itulah yang mendorong kami untuk belajar lebih banyak tentang konflik ini dan untuk menjangkau tetangga kami di Palestina. Dan dorongan, pemicu utama bagi saya untuk [bergerak] mendekati orang-orang Palestina adalah tragedi yang menghancurkan kami. Saya mengutip lagi dari buku saya ‘The General’s Son’:

Kemudian, pada musim gugur 1997, terjadi bencana. Keponakan saya, Smadar, terbunuh oleh bom bunuh diri seorang Palestina. Beberapa jam kemudian, kami berkendara sepanjang jalan menuju pemakaman. Polisi mengawal prosesi kami dengan sepeda motor, membuat jalan bagi beberapa van yang membawa anggota keluarga korban jiwa dari keluarga Yahudi yang lain. Ketika kami keluar dari van, seseorang mendekat dan meminta saya untuk membawa peti mati kecil. Hati saya terasa jauh lebih berat daripada beban ringan yang memilukan di pundak saya. Orang-orang Israel dan Palestina, anggota keluarga, dan teman-teman dari berbagai spektrum politik, pemimpin terkenal dan orang-orang biasa, datang untuk memberikan ucapan duka, mengungkapkan belasungkawa mereka atas kehilangan yang tak terkatakan ini. Smadar dibaringkan di dekat ayah saya, kakeknya, di sebuah pemakaman di puncak bukit kecil di luar Yerusalem. Sampai hari ini adik saya, Nurit, tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena membiarkan bayinya sendirian di tanah yang dingin dan basah. Ketika dia keluar dari kamarnya untuk menemui ribuan pelayat, dia tidak meminta pembalasan. Dia tidak memohon untuk membalas dendam. Sebaliknya dia mengatakan ini, “Tidak ada ibu kandung yang menginginkan hal yang mengerikan terjadi pada ibu lain.” 

Sepertinya mustahil untuk melanjutkan [kehidupan]. Tapi ibuku selalu berkata bahwa hidup lebih kuat daripada kematian. Jadi kami melanjutkan kehidupan. Tetapi sesuatu telah berubah. Saya merasa, saya harus melakukan sesuatu dan saya tahu bahwa bertemu dan berbicara dengan orang Palestina adalah hal yang benar untuk dilakukan. Saya melakukannya, dan saya mulai di sini, di San Diego, di mana saya disambut hangat oleh komunitas Palestina lokal. Pengalaman bertemu orang Palestina adalah menghibur, membebaskan dan memilukan. Menghibur karena saya menemukan bahwa kami sangat mirip;  membebaskan karena saya menemukan kami tidak ditakdirkan untuk menjadi musuh selamanya; dan  memilukan karena saya menyadari saya tidak memiliki kepemilikan penuh atas kebenaran– itu dimana Anda, teman-teman pendukung AIPAC, berada sekarang: Anda tidak memiliki kebenaran penuh dan saya menyarankan Anda menerima tawaran untuk bergabung dengan saya, sebagaimana yang digambarkan dengan sangat fasih oleh Clovis Maqsoud sebagai “Konstituensi Hati Nurani”.

Saya hanya bisa membayangkan bahwa orang kulit putih di Afrika Selatan setelah melihat berakhirnya apartheid sangat ingin bertahan pada cara hidup mereka yang usang dan kotor itu. Saya hanya bisa membayangkan bahwa rasis kulit putih di negara-negara bagian selatan AS melakukan hal yang sama ketika rasisme dan diskriminasi diakhiri di negara ini. Kita melihat tirani brutal di mana-mana sekarang ini, dari Libya samapai negara-negara Teluk melakukan hal yang sama. Bertahan dan akhirnya mereka jatuh satu per satu. Sekarang Zionis dan pendukung mereka melakukan hal yang sama, berpegang pada gagasan bahwa rezim rasis dapat bertahan, bahwa ketidakadilan dan kengerian dapat bertahan, bahwa kejahatan terhadap orang lain yang berbeda dapat dibiarkan begitu saja tanpa hukuman. Tapi kita sudah mendekati akhir. Mimpi Zionis tentang sebuah negara yang homogen secara etnis dan religius dihancurkan oleh Zionis sendiri dengan rasa lapar yang tak pernah puas terhadap tanah. Di tangan mereka sendiri mereka menciptakan negara bi-nasional, sebuah negara di mana separuh penduduknya bukan Yahudi atau Israel tetapi Arab Palestina. Benar mereka tidak memiliki hak, benar juga bahwa mereka tidak dihitung, tetapi itu akan berubah bahkan lebih cepat dari yang Anda pikirkan.

Aktivis perdamaian Israel berdemo menentang penjajahan Israel atas Palestina (2015)

Aktivis perdamaian Israel berdemo menentang penjajahan Israel atas Palestina (2015)

Perubahan akan terjadi karena gerakan perlawanan tanpa kekerasan di kota-kota dan desa-desa di seluruh Palestina akan menang. Di Beit-Umar, Di Bil’in, di Nabi Saleh, di Silwan di Ni’ilin, di Shekh Jerrakh, di Maasara. Pertemanan baik Palestina dan Israel yang berkomitmen terhadap keadilan dan demokrasi, menyelenggarakan demo non-kekerasan setiap minggu. Dan inilah mengapa kami yang percaya pada keadilan dan demokrasi semakin optimis. Rakyat, dan pemimpin masyarakat bawah Palestina yang berdedikasi dan pantang menyerah.

Di Yerusalem Timur, tepat di luar tembok kota tua  tidak jauh dari Perempatan Yahudi, ada perkampungan Silwan dengan hampir 50.000 penduduk. Israel ingin mengusir keluarga-keluarga dari Silwan untuk membangun taman arkeologi yang memuliakan masa lalu Yahudi. Mereka mengklaim bahwa Raja Daud membangun sebuah kota di sana sekitar 3000 tahun yang lalu dan mereka berharap menemukan sisa-sisa kota ini di bawah rumah-rumah penduduk Silwan. Ribuan keluarga mungkin harus pergi agar Israel dapat membangun taman arkeologi untuk mengenang penaklukan yang terjadi 3000 tahun yang lalu, tidak peduli bahwa tidak ada sedikit pun bukti ilmiah bahwa Raja Daud pernah hidup disana, lebih dari bukti bahwa dunia diciptakan dalam 6 hari. Masa lalu mengalahkan masa kini di Israel – sebuah negara yang ingin menghilangkan eksistensi orang-orang yang hidup di tanah mereka untuk memantapkan mitos masa lalu yang gemilang.

Tetapi orang Palestina terus-menerus dan dengan keras kepala melawan mitos Zionis ini, sehingga orang-orang Palestina, pria, wanita, anak-anak dan orang tua termasuk sekolah dan masjid, gereja dan pemakaman kuno mereka dan semua bukti keberadaan mereka harus dihancurkan sehingga klaim hak eksklusif Zionis atas tanah ini dapat terbukti.

Jadi, bagi Anda yang ingin mengasosiasikan diri Anda dengan Zionisme dan AIPAC dan mengenakan bendera Zionis, bendera yang menjadi simbol ketidaktoleranan, kebencian, rasisme, dan kebrutalan, silahkan saja melakukannya. Tetapi ketahuilah ini: ketika persidangan dimulai, ketika para hakim mengambil tempat duduk mereka, ketika komisi “kebenaran dan rekonsiliasi” memulai pekerjaannya dan ketika Anda akhirnya dipermalukan untuk mengakui bahwa Anda salah, ingatlah untuk berlutut dan memohon pengampunan dari orang-orang yang telah Anda perlakukan dengan semena-mena. Anda tidak dapat mengklaim bahwa Anda “tidak tahu” karena kami melihat Anda menari saat yang lain mengenang kematian saudara mereka. Ingat dan jangan pernah lupa bahwa Anda dan saya dan saksi-saksi ini ada di sini hari ini. Karena saya tidak akan melupakan Anda, mereka tidak akan melupakan Anda dan yang terburuk dari semuanya, hati nurani Anda tidak akan membiarkan Anda lupa bahwa Anda menghias diri dengan bendera Israel, Anda mendukung pembunuhan dan Anda mencemooh pihak yang berkabung.

Kami semua akan jalan terus, bersama bangsa-bangsa Timur Tengah kami akan mengikuti contoh orang-orang pemberani Mesir untuk menciptakan hal yang tentu menjadi pencapaian luar biasa: negara demokratis, sekuler di tanah air kita bersama, sebuah negara di mana umat Kristen, Yahudi dan Muslim hidup setara. Negara yang dibagi bersama, demokrasi sekuler, di mana setiap suara dihitung dan rakyat dapat  membesarkan anak-anak mereka untuk mencintai keberagaman tanah airnya, dengan banyak budaya, sejarahnya yang kaya dan masa depan yang menjanjikan. Memang ada asumsi bahwa berbagi tanah berarti bangsa-bangsa harus menjadi musuh; tetapi asumsi itu tidak benar. Israel dan Palestina akan bergabung bersama di tanah kelahiran mereka dan membentuk sesuatu yang lebih besar lebih dari sekedar ukuran jumlah pembagian wilayahnya. Terima kasih banyak.

(Diterjemahkan oleh Nita Haryanti)