Oleh : Steven Sahiounie*
Wassim Nasr dari channel TV FRANCE 24, seorang spesialis dalam jaringan jihadis, baru-baru ini berbicara melalui Skype dengan Omar Omsen, pimpinan milisi jihad Furkat-al-Ghuraba, afiliasi Al Qaeda di Idlib yang juga merupakan perekrut petempur dari Prancis.
Ada banyak teroris Prancis di Idlib hari ini, berjuang untuk mendirikan negara Islam di atas sepotong kecil tanah Suriah, sebuah negeri sekuler. Mereka memimpikan sebuah negeri utopia Sunni [tepatnya Wahhabi-pent.] di perbatasan Turki, di mana mereka dapat menikmati dukungan penuh dari Presiden Turki, Erdogan, yang merupakan pimpinan Partai AK yang berideologi Ikhwanul Muslimin yang telah mendominasi Turki selama sekitar 20 tahun.
Berada di perbatasan Turki memberi mereka kemewahan tersendiri, karena mendapatkan makan dan pakaian dari badan-badan bantuan internasional, seperti Program Pangan Dunia PBB, dan kelompok-kelompok kemanusiaan lainnya yang mendistribusikan pasokan kepada warga sipil dan anak, saudara laki-laki, suami, atau ayah mereka yang ada di daftar gaji Al Qaeda yang dibiayai oleh Qatar, dan beberapa kerajaan Teluk lainnya. Kelompok-kelompok kemanusiaan, termasuk PBB, bekerja sebagai ‘enabler’, yaitu memperpanjang penderitaan orang tak berdosa dengan melanjutkan pasokan. Jika suplai untuk kebutuhan sehari-hari keluarga teroris terputus, para teroris akan terpaksa mengungsi ke Turki, dan akhirnya Eropa, untuk mendapatkan lebih banyak bantuan gratis yang ditawarkan oleh “Mother Merkel” alias Kanselir Jerman Angel Merkel.
Teroris Prancis direkrut di Prancis, bukan direkrut online. Jaringan Sevran, sebuah jaringan rekrutmen teroris di Sevran, dekat Paris, beroperasi dari musholla informal, ketika mereka menargetkan para pemuda dengan campuran taktik psikologis yang canggih, dan menurut beberapa orang, juga menggunakan teknik hipnosis yang diperoleh oleh Al Qaeda selama beberapa dekade di Afghanistan. Orang Afghan dikenal dengan memiliki keterampilan hipnosis sebelum datangnya agen CIA; lalu teknik ini digunakan oleh CIA dalam program jihad mereka untuk melawan Soviet.
Perekrut jihadis Perancis, Omar Omsen, memalsukan kematiannya pada Agustus 2015, hanya untuk muncul kembali berbulan-bulan kemudian dalam sebuah wawancara TV. Tidak diketahui berapa banyak teroris yang memalsukan kematian mereka untuk membersihkan identitas mereka dan memunculkan kembali diri mereka nanti di Eropa, atau AS.

Omar Omsen (sumber foto: mintpressnews.com)
Pemerintah Perancis memulai dukungan mereka terhadap para teroris di Suriah mulai tahun 2011 ketika CIA membuka kantor pertama mereka di Adana, Turki tepat di seberang perbatasan Idlib. Presiden Prancis, mulai Sarkozy, Hollande, dan sekarang Macron, semua telah menjalankan agenda ‘penggulingan rezim Suriah’ yang diperintahkan AS. Pada 2017 Presiden AS Trump menutup program dukungan CIA untuk Al Qaeda di Suriah. Namun, Al Qaeda tetap berfungsi penuh di Idlib dengan dukungan level elit, seperti senjata, amunisi, rudal anti-pesawat, drone, dan gaji.

atas: bendera resmi Suriah
bawah: bendera FSA/pemberontak yang merupakan bendera era mandat Prancis

Presiden Prancis, Hollande, dan Moaz Al Khatib (ustadz IM), bertemu di Paris untuk membicarakan proyek penggulingan Assad.
Pemberontak ‘Moderat’ Suriah
Pada September 2015, Presiden Suriah Assad menyalahkan Barat dalam krisis pengungsi dari Suriah ke Eropa. Mengacu pada foto yang viral seorang anak Suriah yang terdampar di pantai Turki, Assad berkata, “Bagaimana Anda bisa merasa sedih atas kematian seorang anak di laut tapi tidak merasakan kesedihan atas ribuan anak-anak yang telah dibunuh oleh para teroris di Suriah? Dan, juga orang tua, wanita dan pria yang dibunuh teroris? Standar ganda Eropa ini tidak lagi dapat diterima. ”
Assad menambahkan, “Barat mendukung teroris sejak awal krisis ini ketika mengatakan bahwa [aksi teroris] itu adalah ‘pemberontakan damai’. Lalu mereka menyebut para teroris itu ‘oposisi moderat’ dan sekarang mereka mengatakan, ini adalah teroris seperti al-Nusra dan ISIS.” Jabhat al-Nusra adalah afiliasi Al Qaeda di Suriah dan mengendalikan Idlib.
Pada Juni 2015 persidangan di London terhadap seorang pria Swedia, Bherlin Gildo, yang dituduh melakukan terorisme di Suriah, bubar setelah menjadi jelas bahwa intelijen Inggris telah mempersenjatai kelompok yang sama dengan yang didukung oleh Gildo. Kejaksaan membatalkan kasus itu, tampaknya agar tidak mempermalukan badan intelijen. Agen intelijen Prancis bekerja sama erat dengan AS dan Inggris di Suriah
Setahun setelah pemberontakan Suriah, AS dan sekutunya tidak hanya mendukung dan mempersenjatai oposisi yang mereka tahu didominasi oleh kelompok-kelompok sektarian ekstrem. AS dan sekutunya siap untuk menyetujui berdirinya “negara Islam”. Kebiasaan Barat bermain-main dengan kelompok-kelompok jihad, yang kemudian berbalik menggigit mereka, berawal dari tahun 1980-an, ketika mereka mendanai Al Qaeda untuk melawan Uni Soviet.
Sochi 2018
Perjanjian tersebut mengharuskan Turki untuk mengusir teroris seperti Jabhat al-Nusra, dan memungkinkan Turki untuk mendirikan 12 pos pengamatan di Idlib untuk memisahkan para teroris dari warga sipil yang tidak bersenjata. Namun, hampir dua tahun setelah kesepakatan dibuat, Turki gagal memenuhi komitmennya dan Moskow secara terbuka menuduh Turki membantu para teroris. Hal ini menyebabkan serangan Tentara Arab Suriah di Idlib yang dimulai pada Desember 2019 untuk membebaskan warga sipil dan mengusir semua teroris. Operasi militer ini sedang berlangsung dan Suriah, dengan bantuan dari kekuatan udara Rusia, telah membuat kemajuan dramatis.
“Pengadilan Hantu” di Prancis
Pada Januari 2020, sebuah ruang sidang di Paris menyidangkan kasus-kasus terhadap teroris Prancis di Suriah, namun sebagian besar terdakwa telah tewas. Media berita Prancis menjulukinya “pengadilan hantu“.
Antoine Ory, salah satu pengacara pembela para terdakwa, mengatakan: “Di Prancis, pada tahun 2020, kami menolak untuk memulangkan yang hidup tetapi kami mengadili yang mati.” Perancis memiliki kebijakan untuk tidak memulangkan para terorisnya dari Suriah, yang berjumlah ribuan orang.
Pementasan di Hatay
Perbatasan Suriah-Turki adalah garis yang relatif lurus dari timur ke barat hingga mencapai sungai Orontes, lalu tiba-tiba menurun dan menuju ke selatan sekitar 80 mil. Bagian tanah ini milik Suriah yang hilang karena diberikan kepada Turki oleh Perancis pada tahun 1939 agar Turki mau berperang membela Prancis dalam melawan Jerman Hitler di PD II.
Wilayah tersebut bernama Liwa Iskanderoun dan sekarang disebut provinsi Hatay, yang berisi kota-kota Antakya dan Iskenderun, yang sebelumnya dikenal sebagai Antiokhia dan Alexandretta. Daerah ini berada di sisi Turki dari Idlib. Hingga tahun 1939, daerah ini dihuni oleh berbagai bangsa, Turki, Turkmen, Arab Sunni, Alawit, Armenia, dan Yunani. Keturunan mereka saat ini masih berbicara bahasa Arab, tidak seperti Turki lainnya yang hanya berbicara bahasa Turki.
Sebelum 2011, Presiden Erdogan dan Presiden Assad memiliki hubungan yang sangat dekat dan mereka telah menandatangani perjanjian untuk membangun bendungan yang dinamai ‘Bendungan Persahabatan’ senilai $ 28 juta di Sungai Orontes. Namun kini Hatay ditransformasikan menjadi lokasi berkumpulnya para teroris internasional, termasuk Prancis, untuk kemudian membanjiri Suriah dan bergabung dalam proyek penggulingan rezim yang diluncurkan AS-NATO-UE terhadap Suriah. Dan hari ini, dunia menyaksikan kemungkinan perang terbuka akan segera diumumkan.
*Steven Sahouni adalah pengamat politik independen Suriah yang tinggal di Lebanon; dia telah meliput krisis Suriah sejak awal tahun 2011 dan telah menerbitkan beberapa artikel di berbagai media. Dia secara teratur diwawancarai oleh media AS, Kanada, dan Jerman.
Artikel ini diterjemahkan dari artikel berjudul “France’s Fingerprints Are All Over Terrorist Groups in Idlib Syria” yang dimuat di mintpressnews.