Oleh: Dina Y. Sulaeman
Pengantar Redaksi: Pada 27 Januari 2017, Keluarga Mahasiswa NU ITB, serta Komunitas Anak Peduli Bangsa Bandung menyelenggarakan “Pengajian Umum dan Bedah buku HTI, Gagal Paham Khilafah”. Acara diselenggarakan di Galeri Ciumbuleit Hotel, Bandung. Tujuan acara ini adalah memberikan pemahaman kepada peserta mengenai urgensi mempertahankan NKRI dari arus Islam Transnasional danposisi ideologi Pancasila terhadap geopolitik dunia, terutama negara-negara Islam. Pembicara dalam acara ini adalah KH Ir. Sholahudin Wahid (keynote speaker), M. Makmun Rasyid (Penulis buku ‘HTI Gagal Paham Khilafah), Ust. Yuana Ryan T (DPD I HTI Jabar), dan Dr. Dina Y. Sulaeman (pengamat Timteng, Direktur ICMES). Berikut ini adalah tulisan Dina Sulaeman yang memaparkan ulang apa yang ia sampaikan dalam acara tersebut, dengan menambahkan pembahasan baru, terkait polemik ‘bendera Rasulullah’.
Pendahuluan
Konflik Suriah dimulai dengan aksi-aksi demo menentang pemerintah yang mirip dengan aksi demo di berbagai negara Arab dalam gelombang Arab Spring 2011. Isu yang diangkat waktu itu adalah demokratisasi. Namun, demo tidak pernah tereskalasi, yang terjadi hanya demo-demo minor, dan bahkan provokatornya itu-itu lagi sebagaimana tertangkap kamera video.[1] Amnesty International melaporkan bahwa rezim Assad menghadapi demo dengan represif dan telah terjadi kejahatan kemanusiaan. Namun, bila kita menyimak isi teks laporan itu dengan cermat akan terlihat metodologi penelitian yang dilakukan tidak valid, antara lain pengumpulan bukti-bukti tidak dilakukan langsung oleh staf AI di lapangan, melainkan melalui wawancara telepon dan wawancara pada orang Suriah di Lebanon dan Turki. Asas corroboration dan cross-checking juga tidak dilakukan, sehingga laporan ini tidak valid.[2]
Sebaliknya laporan jurnalis-jurnalis independen (tidak bekerja pada media mainstream) justru menunjukkan bahwa di antara para demonstran ada yang angkat senjata sehingga selalu ada polisi yang jatuh korban (misalnya bisa dibaca laporan Thierry Maysan yang sejak awal sudah berada di Suriah). Bahkan sejak demo pertama, Assad sudah memberikan tanggapan yang persuasif, ia mengutus wakilnya, Dr. Buthaina Shaaban untuk bernegosiasi.[3] Selanjutnya, Assad memenuhi berbagai tuntutan demonstran, seperti pencabutan State Emergency Law warisan rezim ayahnya, Hafez Al Assad, perubahan UUD (antara lain membatasi masa jabatan kepresidenan), dll.
Semua upaya demokratis ini diabaikan dan tiba-tiba saja isu berganti menjadi “penegakan khilafah”. Dan sejak itulah Hizbut Tahrir Indonesia terlihat amat gencar mempropagandakan berita tentang ‘kekejaman rezim Assad’ yang penuh nuansa kebencian pada ‘Syiah Nusairiyah’ (publik tidak banyak tahu apa itu, yang ditangkap hanya Syiah-nya saja dan menyamaratakan dengan semua Syiah). Padahal, di media internasional, nama Hizbut Tahrir tak banyak disebut. Kita di Indonesia tahu bahwa anggota HT ikut bertempur di Suriah karena cerita-cerita orang HTI sendiri.
Hal ini rupanya diakui oleh tokoh HT asal Suriah yang tinggal di Libya. “Baba mengkritik media Arab dan Barat yang mengabaikan keberadaan Hizbut Tahrir dan menutup perannya. Baba mengatakan kepada Al-Akhbar, Hizbut Tahrir telah ada di Suriah sejak lama dan telah menjadi target pelarangan rezim Baath,” demikian ditulis dalam berita yang dirilis situs HTI.[4]
Hizbut Tahrir di Suriah
HT berbeda dengan Ikhwanul Muslimin yang rekam jejaknya jelas pernah melakukan pemberontakan terhadap Rezim Assad tahun 1982, lalu sejak awal konflik 2011 sudah bergabung dalam koalisi oposisi di Turki, bahkan mubalig IM bernama Moaz al Khatib pernah menjadi ketua kelompok koalisi tersebut (Syrian National Coalition for Opposition and Revolutionary Forces (SNCORF). Terkait dengan gerakan bersenjata, IM sejak awal menunjukkan keberpihakan pada Free Syrian Army, kemudian Jaish Al Islam dan beberapa afiliasinya.
Para pengamat politik Timteng, khususnya Suriah, memang hampir tak pernah menyebut nama HT sebagai aktor dalam konflik ini. Yang jelas, di Indonesia, aktivis HT sangat ‘berisik’ soal Suriah, tak jauh beda dengan rekan sejalan-tak sepemikiran mereka, Ikhwanul Muslimin.
Situs mediaumat.com menulis, “Hizbut Tahrir memobilisasi para pejuang Islam di sana untuk menandatangani Mitsaq al-‘Amal li Iqamati al-Khilafah. Hizbut Tahrir juga telah menyiapkan RUUD Negara Khilafah yang siap kapan saja diterapkan. Hizbut Tahrir juga telah mempersiapkan para aktivis terbaiknya untuk menjalankan roda pemerintahan.”[5]
Siapa pejuang alias mujahidin yang dimaksud oleh HT? Tidak jelas, tidak pernah ada deklarasi terbuka, HT berpihak kepada siapa. Indikasi awal yang saya temukan adalah situs HT Inggris memuat utuh wawancara majalah Time dengan pejabat resmi Jabhah Al Nusrah dengan tanpa catatan (sanggahan atau komentar). [6]
Lalu pada 2013, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Yusanto mengakui, Hizbut Tahrir pernah mengikuti sumpah setia dengan banyak kelompok mujahidin yang ada di Suriah, termasuk dengan Al Nusra. [7]
Siapa Al Nusra?
Banyak kader Al Nusra yang berasal dari jaringan jihad Abu Mus’ab al-Zarqawi, yang dibangun tahun 2002,menyusul kepulangan Zarqawi dari Afganistan. Pejuang jihad Syria yang bertempur bersama Al-Zarqawi di Herat, Afghanistan pada tahun 2000 dikirim untuk membangun cabang jaringan ini di Syria dan Lebanon, dengan Al-Zarqawi memegang kontrol dari Irak. Pasukan jihad Syria ini membangun semacam tempat persinggahan bagi para jihadis dari berbagai negara yang akan masuk ke Irak. Selama masa ini pula, mereka menjadi saluran utama distribusi dana bantuan yang digalang para jihadis di negara-negara Arab dan Teluk.
In 2007, pemerintah Syria mengambil sikap tegas terhadap aktivis jihad ini dan menangkapi anggota jaringan Al Zarqawi. Dalam operasi ini, Sheikh Abu al-Qaqaa yang berperan dalam pengiriman pasukan jihad dari berbagai negara asing ke Irak, tewas. Banyak di antara pasukan jihad yang berhasil melarikan diri ke Irak lalu mereka kembali ke Syria pada tahun 2011. Di antara mereka yang kembali untuk ‘berjihad’ di Syria adalah Abu Mohammad al-Julani. Dia pun mendirikan Jabhah Al Nusrah, dan menjadi pemimpinnya.[8]
Karena itu, banyak pengamat, serta berbagai tulisan, sering menyebut Al Nusra sebagai Al Qaida. Mereka punya banyak ‘derivasi’ atau ‘keturunan’, namun semua bergabung dalam satu keluarga besar Al Qaida. Al Nusra (dan Al Qaida) masuk dalam daftar teroris internasional. Aksi-aksi mereka memang sangat berbau teror, mulai dari pengeboman, bom bunuh diri, pembantaian massal, dll.
Setelah Al Nusra resmi masuk daftar organisasi teroris internasional, situs HTI memberikan ‘endorsment’ pada kelompok Ahrar al Sham, yang sebenarnya juga masih ‘bersepupu’ dengan Al Qaida. Ahrar al Sham juga mengibarkan bendera khas HT. Aksi-aksi Ahrar al Sham sangat jauh dari pengetahuan kita tentang bagaimana dulu Rasulullah berperang. Salah satu bukti yang jelas, karena ada videonya dan mereka sendiri yang mengunggahnya, pada Mei 2016 Ahrar al Sham melakukan aksi brutal pembantaian massal di desa Zaraa. Dengan bangga mereka berpose di atas mayat perempuan dan anak-anak. Rusia sudah lama menuntut Dewan Keamanan PBB agar kelompok ini dimasukkan juga ke daftar teroris internasional namun selalu diveto AS dengan alasan ‘akan menyulitkan upaya negosiasi’.
Saya sering menulis: jangan dipusingkan dengan nama ratusan kelompok ‘jihad’ di Suriah. Yang perlu dilihat adalah basis ideologi dan cara-cara tempur mereka, semuanya sama. Basis ideologi mereka semua sama yaitu takfirisme (gampang mengkafirkan pihak lain yang tak sepaham serta menghalalkan darahnya). Itulah sebabnya mereka pun akhirnya saling membunuh satu sama lain, seperti yang terjadi di Idlib atau di Hama akhir-akhir ini. Bahkan sesama ‘mujahidin’ pun bisa berubah status jadi kafir.
Hizbut Tahrir dan Ketidakmampuan Menganalisis Konflik
Saya dulu mengikuti tabloid Umat yang diterbitkan HTI, tabloid ini banyak menyuarakan penentangan pada praktik-praktik kapitalisme global yang memang nyatanya menyengsarakan sebagian besar umat dunia dan memperkaya segelintir orang. Tabloid ini bahkan pernah menerbitkan tulisan positif tentang situasi di Iran (ditulis oleh Fahmi Amhar). Sama sekali tidak ada tuduhan kafir atau sesat di dalamnya, terhadap umat Syiah.
Tetapi mengapa hari ini HT bergabung dalam propaganda takfirisme global yang bersamaan dengan pembantaian dan penghancuran Suriah?
Menurut saya, hal ini karena mereka gagal paham soal Suriah dan geopolitik Timteng secara umum. Mereka gagal dalam mengindentifikasi mana musuh, mana lawan di Suriah. Akibatnya, HT menari dalam genderang lawan (seiring dengan irama Israel dan AS) sehingga memecah belah front perlawanan terhadap Israel. Perhatian publik dunia saat ini tertuju pada Suriah, tidak lagi pada Palestina. Padahal HT dulu didirikan di Palestina dengan alasan ingin melawan penjajahan Israel. Tapi di Suriah, mendadak HT gagal paham, melupakan fakta geopolitik bahwa Suriah adalah negara Arab terakhir yang menolak berdamai dengan Israel. Suriah menjadi pelindung Hamas, membuka jalur suplai logistik dan senjata ke Gaza, serta menampung jutaan pengungsi Palestina dengan pelayanan yang terbaik di Timteng. Suriah ikut dalam 3 kali perang Arab-Israel (1967, 1973,1982).
Kesalahan identifikasi ini, menunjukkan bahwa cara berpikir mereka masih doktrinal (bukan pemikiran kritis). Hizbut Tahrir adalah ormas transnasional, boss besarnya ada di luar negeri, entah dimana. Ketika boss di luar sana menginstruksikan untuk membenci dan menyerang, itu pula yang mereka lakukan. Ketika mereka tak mampu menemukan bukti foto atau video tentang ‘pembantaian Assad terhadap Sunni’, mereka tak segan menggunakan foto atau video hoax. [9] Doktrin ditaruh di atas segalanya, melupakan data dan analisis kritis. Miris sekali mengingat bahwa anggota HTI banyak yang sarjana, bahkan doktor. Kegagalan analisis dalam kasus yang sebenarnya sederhana pemetaannya ini jelas memunculkan keraguan: jangan-jangan mereka juga gagal paham soal apa itu khilafah dalam Islam yang sesungguhnya?
Bendera HTI dan Bendera Al Qaida
Begitu juga soal bendera. Mereka mengklaim bahwa bendera yang mereka kibarkan (dan menjadi simbol HT) adalah ‘bendera Rasulullah’. Padahal, jenis huruf yang dipakai di bendera itu belum dikenal pada masa Rasulullah. Hal ini saya buktikan sendiri saat berkunjung ke museum Quran di Mashad Iran yang menyimpan manuskrip-manuskrip Quran kuno (Quran zaman dulu hurufnya masih kaku dan polos, tanpa titik dan syakal). Pakar ilmu Islam, Prof Nadirsyah juga menulis demikian, yang kemudian disanggah oleh penulis pro-HTI, yang menyatakan bahwa yang jadi fokus dalam propaganda bendera ini adalah warna bendera, bukan jenis hurufnya.
Tentu itu apologi yang tidak ‘nyambung’. Bendera itu satu paket dengan segala ideologi di baliknya. Misalnya, mengapa pemberontak Suriah yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin mengibarkan bendera warna hijau-putih-hitam? Karena, itulah bendera saat Suriah dijajah Perancis; tak heran bila tokoh IM, Moaz al Khatib, diundang ke Istana Presiden Perancis untuk membahas agenda penggulingan Assad. Orang yang mengibarkan bendera hitam saja (tanpa tulisan) dengan orang yang mengibarkan bendera hitam bertulisan syahadat ala bendera HTI, hampir dipastikan punya ideologi berbeda. (Tentu ada saja orang-orang alay yang mengibarkan bendera tanpa tahu ideologi; tapi itu tidak masuk bahasan kita.)
Tak dapat dipungkiri, bendera khas HTI digunakan oleh milisi-milisi bersenjata di Suriah. Jauh sebelumnya, tahun 1988, Al Qaida berdiri dan mengibarkan bendera serupa. Di bagian 1 sudah saya jelaskan ‘pertalian persaudaraan’ antara Al Qaida dan milisi-milisi bersenjata di Suriah (yang juga didukung HT). Jadi ini bukan aktivitas mencocok-cocokkan tanpa data.
Jadi, apapun apologi, sanggahan, dan klaim HTI soal ideologi mereka, bisa kita uji dengan kasus Suriah ini. Aktivis HTI sering mengklaim diri sebagai gerakan damai dan anti terorisme, tapi konflik Suriah membuktikan sebaliknya. Mereka mengaku mengusung Islam Rahmatan lil Alamin, tapi dengan berbekal berita hoax mereka sebarkan narasi kebencian yang sangat masif di Indonesia.[10] Mereka menyebut pemerintah Indonesia sebagai rezim thaghut yang harus diganti dengan khilafah. Lalu, bagaimana cara menggantinya? Suriah menjadi bukti bahwa upaya penggantian sebuah rezim demokratis menjadi khilafah versi HT ternyata harus melalui proses penghancuran. Indonesia, mau menyusul? []
Sekilas iklan: untuk memahami lebih lanjut tentang bagaimana kiprah ormas-ormas Islam transnasional (yang buka cabang di Indonesia) dalam konflik Suriah, simak buku “Salju di Aleppo”. Pemesanan: Hatim 0878-8299-8696
—–
[1] https://dinasulaeman.wordpress.com/2016/05/16/kompilasi-video-foto-peran-ngo-dalam-konflik-suriah/
[2] https://edit.justice.gov/sites/default/files/eoir/legacy/2013/11/07/deadly_detention.pdf
[3]http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/middleeast/syria/8404955/Syria-Bashar-al-Assad-offers-concessions-to-protesters-for-first-time.html
[4]http://hizbut-tahrir.or.id/2012/05/09/hizbut-tahrir-suriah-rezim-assad-akan-menyerah-kepada-khilafah-islam/
[5] http://mediaumat.com/wawancara/4085-96-detik-berdirinya-khilafah-kian-dekat.html
[6] HT Inggris http://www.hizb.org.uk/news-watch/interview-with-official-of-jabhat-al-nusra-syrias-islamist-militia-group (terakhir kali diakses oleh penulis tanggal 28 Maret 2013, 20:30. Ketika saat ini diakses, link masih aktif tetapi isi berita dihapus. Dalam wawancara itu jelas Al Nusra mengakui pihaknya menembaki orang yang tak bersenjata.)
[7] http://www.globalmuslim.web.id/2013/06/ismail-yusanto-anggota-hizbut-tahrir.html?m=1
[8] Prahara Suriah, Dina Y. Sulaeman, 2013
[9] Foto hoax yang pernah disebarkan HTI: https://dinasulaeman.wordpress.com/2013/04/20/foto-palsu-mhti/
[10]File PDF kompilasi hoax Suriah (123 hlm) bisa diunduh di sini: https://dinasulaeman.wordpress.com/2016/05/16/kompilasi-video-foto-peran-ngo-dalam-konflik-suriah/