Oleh: Philip Weiss
Minggu lalu, media Inggris, The Guardian, mengungkapkan rasa malu atas salah satu kesalahan penilaian terburuknya: bahwa pada tahun 1917 mereka [media ini] mendukung dan memfasilitasi Deklarasi Balfour, dokumen imperialisme yang memberikan “hak” kepada orang Yahudi untuk membuat tanah air di Palestina. Pernyataan Guardian direspons dengan kemarahan dari para pendukung Israel.
Pantas saja mereka marah, karena tulisan the Guardian ini merupakan pukulan tambahan bagi legitimasi Zionisme di Barat. Inilah yang terjadi akhir-akhir ini, pukulan besar ditujukan pada mitos utama yang dibangun Israel: mereka punya hak kolektif sebagai Yahudi untuk menentukan nasib sebagai bangsa di atas tanah yang dihuni oleh orang lain.
Inilah beberapa pukulan kepada Zionis:
- -Human Rights Watch telah merilis laporan yang mengatakan bahwa Israel bersalah atas kejahatan “apartheid dan penganiayaan” terhadap rakyat Palestina, dan jutaan orang Palestina memiliki hak untuk kembali ke rumah mereka dari  pengusiran pada tahun 1948.
- -Kelompok hak asasi manusia terkemuka di Israel, B’Tselem, mengatakan bahwa Israel adalah “rezim apartheid” yang mengutamakan “supremasi Yahudi dari sungai ke laut.â€
- -Carnegie Endowment telah menyerukan pemerintah AS agar menggunakan tekanan untuk persamaan hak bagi semua orang Palestina-Israel, dan penulis laporan itu, Zaha Hassan, juga menyatakan Israel melakukan “apartheid”.
- -Seorang penulis Yahudi terkemuka (mencantumkan AIPAC di profilnya), Peter Beinart, telah benar-benar ‘murtad’ pada tahun lalu setelah menyerukan diakhirinya proposal “dua negara†[karena terbukti gagal -red]  dan menyerukan adanya persamaan hak untuk semua orang yang hidup di “antara sungai dan laut†[Palestina].
- -Di Times hari ini, Beinart mengatakan bahwa pengungsi Palestina “berhak untuk kembali ke rumah mereka.”
Gerakan keadilan sosial (social justice movement) yang mengguncang Amerika Serikat dalam setahun terakhir ini mendobrak pintu apartheid Israel, yang tentu saja semakin menjadi sayap kanan secara politik. Pada konferensi J Street bulan lalu, Isaac Herzog, kepala Jewish Agency (Badan Yahudi), memohon kepada pemuda Yahudi Amerika untuk tidak mengabaikan “negara†mereka, negara Yahudi [Israel]. Tapi pengabaian itu terjadi di depan mata kita. Karena tidak logis bila seseorang  menentang “nasionalisme kulit putih†di Amerika Serikat tapi di saat yang sama mendukung “nasionalisme Yahudi†di Israel [sama-sama rasis -red]. Penyebar propaganda Israel yang paling efektif di Amerika Serikat selama 20 tahun terakhir, Jeffrey Goldberg, telah keluar dari “Hotel Zionisme.â€Â Dia tidak terlihat di mana pun saat Israel menghantam Jalur Gaza untuk ketiga atau keempat atau ke-500 kalinya.
Tentu saja judul-judul berita di media massa adalah sumber pukulan terbesar bagi Israel: tingkah laku brutal Israel sendiri. Benny Gantz, mantan jenderal yang sebelumnya (dalam kampanyenya untuk menjadi perdana menteri) membual akan mengebom Gaza hingga kembali ke zaman batu, mengancam akan melakukan hal yang lebih buruk lagi ke Gaza. Dalam pesan video, ia menyalahkan 2 juta orang yang dikepung atas kehancuran mereka sendiri. Gantz pun dikecam, termasuk oleh sekutunya. “Ini dia, inilah Israel. Mengancam dengan bangga, bahkan mengancam pembunuhan, lalu dengan cerdik mengalihkan semua tanggung jawab itu kepada para korbannya,†tulis seorang sekutunya.
Gantz adalah tokoh Zionis liberal. Tokoh favorit Zionis liberal saat ini, Yair Lapid, jika dia membantu membentuk pemerintahan berikutnya, tidak akan menyimpang sama sekali dari garis Gantz. Zionis liberal ternyata garis keras dan membenarkan pembunuhan.
Ya, inilah Israel. Jika Anda menonton i24 News, Anda akan melihat satu demi satu orang Yahudi Israel membenarkan kekerasan besar-besaran terhadap Gaza karena orang-orang di sana berani melawan blokade Israel. Israel telah memblokade Gaza selama 13 tahun, tanpa kebebasan bergerak, kapal penangkap ikan mereka ditembak, bahkan Israel membuang limbah di persediaan air Gaza.
Inti masalah utama dari keberadaan Israel adalah bahwa Israel tidak pernah menemukan jawaban untuk membela landasan konstitusionalnya: ini adalah “negara Yahudi” meskipun setengah dari populasi yang dikelolanya bukanlah orang Yahudi. Jawaban atas masalah itu adalah tak pernah ada kebebasan yang lebih besar bagi rakyat Palestina, selalu kekerasan. Pembersihan etnis. Menembak para pengungsi yang ingin kembali. Menempatkan mereka di belakang kawat berduri dan lebih buruk lagi. Membom gedung apartemen mereka. Membakar pohon zaitun mereka.
Dan para pemimpin Israel serta pembela-pembelanya di Amerika Serikat telah berjuang untuk menutupi akar masalah ini dengan mengubah topik pembicaraan. Mereka bilang: masalahnya bukanlah apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina, tetapi terorisme Islam, atau keinginan Iran untuk menghancurkan Israel… serta berbagai argumen fiksi lainnya. Akhir-akhir ini mereka berupaya menyatakan bahwa masalah Palestina akan hilang dengan menandatangani beberapa kesepakatan diplomatik Arab-Israel. Mereka menyuap negara-negara Arab yang bersedia mengabaikan hak-hak Palestina.
Kebohongan mereka kini runtuh di depan mata. Kita semua menyaksikan lagi serangan kekerasan oleh Israel terhadap warga dan rakyat Palestina, menunjukkan keapda dunia kegagalan Israel untuk memberikan hak-hak Palestina. Kekerasan dimulai dengan protes yang gagah berani atas berlanjutnya pembersihan etnis di Yerusalem. Dan hari ini, satu hal yang memperlambat kekerasan Israel terhadap Gaza adalah bahwa orang-orang Palestina yang merupakan warga negara Israel telah bangkit dalam solidaritas dengan orang-orang Palestina lainnya, dan karena itu Israel takut akan “perang saudara”.
Israel sedang mengadakan “pertemuan†dengan demokrasi. Di i24 News, wartawan Israel mengungkapkan “keterkejutan” bahwa alih-alih menyatukan Israel, perang ini justru mengungkap ketidakadilan mendasar yang terjadi di tengah masyarakat Israel.
Kita sedang menyaksikan akhir dari delusi Oslo. Para pendukung/pembela Israel di Amerika Serikat akhirnya dipaksa untuk memahami masalah intinya. Peter Beinart telah menjadi pemimpin sejati; dan dia mengakui bahwa yang dilakukan adalah apartheid. Eric Alterman mengatakan itu apartheid. Nicholas Kristof, seorang pejuang hak asasi manusia, menulis di New York Times, menerima istilah apartheid untuk Israel.
Kristof mencerminkan “normal baru†Demokrat: dia mengatakan bahwa bantuan AS seharusnya tidak ditujukan untuk “pemboman terhadap orang-orang Palestina.” Jelas bahwa mengkondisikan miliaran dollar yang dikirim AS ke Israel setiap tahun adalah langkah berikutnya dalam wacana Demokrat Liberal AS. Dan BDS (Boycott, Divestment and Sanction) pasti akan menyusul.
Bahkan pendukung sayap kanan mulai bosan dengan kebohongan narasi “pembelaan diri.â€Â Neocon Max Boot mengakui ini bukan tentang Iran, ini tentang pemerintahan ekspansionis Israel yang mendorong orang-orang Palestina keluar dari rumah mereka. Dia mengatakan, “Israel terus merampas tanah di Yerusalem Timur dan Tepi Barat.”
Sementara Yaacov Lozowick, penulis Israel, mengatakan Israel harus menghadapi masalah konstitusionalnya:
“Ini adalah ide yang belum kami coba dalam 74 tahun: seorang pemimpin partai Yahudi akan muncul dan mengumumkan bahwa jika dia memenangkan pemilihan, dia akan membentuk pemerintahan [kabinet] yang mencakup perwakilan [menteri] warga negara Arab. Tujuannya agar mereka merasakan perlakuan yang setara di negara mereka.â€
Tidak ada kata mundur dalam diskusi global mengenai Israel ini. Zionisme menciptakan aturan apartheid negaranya: elit AS akhirnya mulai mengakui hal ini. Perlawanan Palestina tidak pernah berhenti. Pada akhirnya hanya ada satu jawaban untuk perlawanan itu: persamaan  hak. Kebenaran ini menjadi lebih jelas terlihat oleh dunia di luar Jerusalem, berkat perjuangan gagah berani warga Palestina yang mempertahankan rumah mereka Jerusalem Timur. Seperti yang dikatakan Ali Abunimah, “Kita sedang memasuki fase terakhir dari kisah Zionisme. Zionisme telah mencapai tahap akhir kehidupannya. Tahap permainan akhir [endgame] Zionis telah dimulai.
[]
Diterjemahkan Nita H. Sumber tulisan.