
tank SDF di Raqqa, October 8, 2017 (foto: Erik De Castro / Reuters)
Raqqa, sebuah kota besar di utara Suriah, dikuasai oleh berbagai milisi bersenjata anti-pemerintah Suriah sejak Maret 2013. Pada tahun 2014, ISIS mengambil alih kekuasaan di kota itu. Di Raqqa-lah anggota ISIS yang terkenal kejam, Khaled Sharrouf (asal Australia) tinggal bersama keluarganya, dan teroris lainnya, Mohammed Elomar, menawan gadis-gadis Yazidi untuk diperbudak. Di Raqqa, mereka mendirikan ‘pemerintahan’, antara lain membentuk kantor-kantor birokrasi, menarik pajak dari masyarakat, mendirikan sekolah dengan kurikulum khusus (yang memprovokasi kekerasan kepada kaum “kafir”), serta membentuk pengadilan yang menegakkan hukum “syariah”, termasuk dengan memenggal siapa saja yang dianggap kafir atau anti-ISIS.
Sedemikian buruknya kondisi yang dialami warga Raqqa, sampai-sampai penasehat PBB untuk masalah Suriah, Jan Egeland, pernah mengatakan bahwa sulit dibayangkan ada tempat yang lebih buruk daripada Raqqa di dunia ini.
Pada tahun 2015, AS dan koalisinya yang masuk ke medan tempur Suriah dengan alasan memerangi ISIS, membentuk milisi Syrian Democratic Forces (SDF), yang mayoritasnya diisi milisi Kurdi dan sedikit faksi-faksi Arab. Sejak awal Juni 2017, koalisi ini membombardir Raqqa dengan dalih ingin membebaskan kota itu dari tangan ISIS. Dalam kurun Juni-September, mereka telah melakukan 4.000 bombardir ke kota itu, dan menurut PBB, per hari-nya ada 27 warga sipil yang tewas sebagai akibatnya. PBB juga memperkirakan, 27.000 orang terpaksa mengungsi selama serangan masif SDF ke Raqqa. Di bulan Agustus, berondongan bom, misil atau meriam dari koalisi AS terjadi tiap 8 menit.
Bahkan, SDF juga menyerang kapal-kapal di sungai Eufrat, padahal itu satu-satunya rute penyelamatan warga sipil, demikian dilaporkan PBB.
Pembebasan atau Penguasaan Raqqa?
Berbagai keanehan yang terjadi dalam operasi ‘pembebasan Raqqa’ oleh SDF dengan dibantu AS, memunculkan pertanyaan, apakah mereka ingin membebaskan Raqqa untuk menyelamatkan warga sipil yang terjebak di dalamnya, atau untuk mengosongkan Raqqa agar kota itu sepenuhnya dalam kekuasaan etnis Kurdi?
“Alih-alih menghancurkan para teroris yang sudah membunuh ribuan warga sipil Suriah, koalisi AS-SDF malah berkolusi dengan pimpinan ISIS; ISIS menyerahkan wilayah kekuasaan mereka kepada SDF tanpa pertempuran, lalu mereka pindah ke daerah yang dikontrol tentara Suriah,” demikian dilaporkan Sergey Surovikin, seorang komandan militer Rusia.
BBC juga melaporkan adanya operasi ‘penyelamatan’ militan ISIS dengan sepengetahuan tentara AS, Inggris, dan SDF. BBC mewawancarai orang-orang yang ‘membantu’ evakuasi militan, misalnya sopir lorry, Abu Fawzi, yang awalnya mengira bahwa ia disewa untuk membawa warga sipil keluar dari Raqqa. Namun ternyata, yang dibawa oleh Abu Fawzi adalah ratusan petempur ISIS, keluarga mereka, dan berton-ton senjata dan amunisi.
Etnis Kurdi di Suriah (dengan SDF-nya) selalu digambarkan media massa mainstream sebagai kekuatan yang terdepan melawan ISIS. Bersama AS, SDFmelakukan operasi yang diberi sandi “Operation Inherent Resolve” untuk ‘membebaskan’ Raqqa. Namun dalam prosesnya, mereka melakukan genosida pada warga Suriah non Kurdi.
Ketika akhirnya Raqqa sepenuhnya dikuasai SDF,bendera yang dikibarkan bukanlah bendera Suriah, melainkan bendera Rojava (negara khusus Kurdi yang diimpikan oleh orang-orang Kurdi) dan foto besar Abdullah Ochalan, pimpinan Kurdi-Turki (yang dimasukkan ke list teroris oleh pemerintah Turki).

Foto Ochalan dan bendera-bendera yang dikibarkan setelah SDF menguasai Raqqa
Rekontruksi Raqqa Diserahkan kepada Saudi?
Kini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana membangun kembali kota yang pernah menjadi kubu Daesh tersebut. Tidak pelak lagi, rekonstruksi Raqqa akan memakan waktu lebih lama dari usaha merebutnya, karena ribuan serangan udara AS [dengan alasan membasmi ISIS] telah meluluhlantakkan kota itu menjadi puing-puing.
Ironisnya, pihak yang membuat Raqqa hancur justru berlagak bagai pahlawan. Pemerintah AS menyatakan bahwa mereka akan memimpin upaya membersihkan reruntuhan yang mereka ciptakan dan mengembalikan berbagai fasilitas publik, seperti air dan listrik yang terputus selama dibombardir. Jubir depertemen Luar Negeri AS, Heather Nauert, menyatakan, “Kami akan membantu dan memimpin upaya mengembalikan pengadaan air, listrik dan semua sarana dasar.”
“Menurut saya, pada akhirnya yang menjadi perhatian negara-negara di dunia ialah kepemimpinan di Suriah,” tambah Nauert, menyinggung kenyataan bahwa SDF dan AS sama sekali tidak berniat untuk mengembalikan kekuasaan kepada pemerintah Suriah, melainkan pada ‘Pemerintah Daerah’ [yang tak lain adalah etnis Kurdi dengan cita-cita mendirikan negara khusus Kurdi].
Pemerintah Suriah sendiri kemudian mengambil langkah: menawarkan otonomi khusus untuk warga Kurdi, demi menjaga persatuan Suriah. Menlu Suriah, Walid al-Muallem, memberitahu etnis Kurdi bahwa pemerintah Suriah membuka kemungkinan untuk mengizinkan mereka ‘mendirikan pemerintahan otonomi.’
Meskipun demikian, hal itu tidak akan mencakup keberadaan pasukan bersenjata AS yang kini berada di Raqqa dan daerah lain di Suriah, atau pun kehadiran negara-negara anti pemerintah Suriah. “Kami mendukung siapa pun yang hendak membebaskan kota-kota dari teroris, tapi itu bukan berarti kami dijajah oleh pasukan Amerika misalnya, atau oleh wakil kekuasaan lain, ataupun teroris lain,” demikian pernyataan Presiden Bashar Assad, dikutip kantor berita AFP bulan April lalu.
Namun AS tetap berusaha mempertahankan ‘kekuasaan’-nya di Raqqa. Meskipun berjanji untuk ‘memimpin’ upaya pembangunan kembali Raqqa, pemerintahan Trump terlihat enggan menghabiskan uang untuk memperbaiki kerusakan yang meluas itu. AS malah menawarkan proyek itu kepada Saudi.
Seorang menteri dari Arab Saudi, Thamer al-Sabhan, diberitakan telah datang ke Ayn Issa, kota administratif Raqqa, bertemu dengan Brett McGurk, pemimpin utusan khusus dari Global Coalition to Counter ISIL – proyek yang diluncurkan urusan luar negeri AS pada 2014 untuk ‘menekan dan menumpas ISIS’. Pertemuan ini menunjukkan bahwa Arab Saudi telah dilibatkan untuk mendanai pembangunan ulang Raqqa. Sebagaimana diberitakan kantor berita Raqqa24 dan wartawan pro Kurdi, tajuk pertemuan adalah rekonstruksi.
Penghancur Raqqa Diminta Membantu Membangun Kembali
Menteri Arab Saudi itu, Thamer al-Sabhan, bukan tokoh asing. Selain menjabat sebagai menteri urusan negara Teluk, sebelumnya al Sabhan adalah duta besar di Irak, yang ditarik kembali ke Riyadh tahun lalu. Sabhan dikenal sebagai penganut Wahabisme yang fanatik dan sangat membenci pengikut Syiah.
Pada tahun 2015, Sabhan diangkat menjadi dubes Irak, dubes Saudi pertama yang dikirim ke Irak sejak tahun 1990. Segera setelah tiba, ia menolak keras milliter Syiah Irak, yaitu Popular Mobilization Units, yang menjadi bagian dalam melawan Daesh di Irak, juga menolak Ayatullah Ali al-Sistani, ulama besar Irak yang sering menyuarakan persatuan Irak, serta selalu berupaya mencegah perpecahan antarmazhab. Manuver Sabhan ini akhirnya membuat tokoh-tokoh terkemuka di Irak segera menuntut agar ia diusir dari negara itu.
Bukannya mengurangi desakannya, al-Sabhan malah menuduh kelompok Syiah Irak melakukan percobaan pembunuhan terhadapnya, tuduhan ini dianggap palsu oleh pemerintah Irak. Segera setelah insiden tersebut pemerintah Irak secara resmi meminta Saudi agar menarik al-Sabhan dari posnya sebagai dubes pada Oktober 2016. Sejak saat itu, ia menjabat sebagai menteri pemerintahan Saudi. Awal tahun ini ia menegaskan bahwa agar dapat membasmi terorisme di Irak, maka ‘rezim rusak Iran harus dibasmi’.
Dengan latar belakang ideologi fanatik seperti ini, dapat dibayangkan, seperti apa kelak upaya rekonstruksi yang didanai kerajaan Saudi. Bila Saudi benar mendanai rekonstruksi, Raqqa kemungkinan besar akan dijadikan basis Wahabisme di Suriah. Akibatnya, Raqqa yang sekuler akan menjadi kenangan masa lalu.
Setelah selama 3 tahun menderita di bawah kontrol ISIS, lalu luluh lantak dihancurkan oleh AS dengan alasan membasmi ISIS, sungguh ironis bila kemudian Raqqa dibiarkan dibangun kembali oleh negeri yang membidani kelahiran ISIS (Arab Saudi). []
—-
Diadaptasi dari tulisan Whitney Webb (http://www.mintpressnews.com/us-allows-saudi-arabia-to-plant-wahhabi-seed-in-raqqa-rubble/233719/) oleh tim ICMES.