Jakarta, ICMES. Iran dan beberapa negara besar dunia (Inggris, Prancis, Rusia, China dan Jerman/4+1) dijadwalkan memulai putaran baru perundingan nuklir di Wina, Austria, hari ini, Senin (29/11).
Kepala delegasi perunding dan menteri luar negeri Iran menegaskan bahwa pencabutan penuh sanksi adalah satu-satunya hal yang mengemuka di atas meja perundingan Wina.
Kontak senjata pada dini hari Sabtu (27/11) di jalur perbatasan Sudan-Ethiopia menewaskan lusinan tentara dari kedua belah pihak.
Berita Selengkapnya:
Putaran Baru Perundingan Nuklir, Adu Cengkal antara Iran dan Barat
Iran dan beberapa negara besar dunia (Inggris, Prancis, Rusia, China dan Jerman/4+1) dijadwalkan memulai putaran baru perundingan nuklir di Wina, Austria, Senin (29/11), sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan perjanjian Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang diteken pada tahun 2015 dan kemudian terancam buyar akibat pengkhianatan AS, salah satu penandatangannya.
Para diplomat mengatakan waktu sudah hampir habis untuk upaya pemulihan JCPOS, yang diabaikan oleh AS di masa kepresidenan Donald Trump pada 2018 hingga Iranpun gusar, dan negara-negara lain yang terlibat cemas terhadap kondisi ini.
Enam putaran pembicaraan tidak langsung diadakan pada April dan Juni lalu, dan kemudian putaran baru akan dimulai sekarang setelah sekian lama tertunda oleh pemilihan presiden baru Iran yang dimenangi Sayid Ebrahim Raisi.
Tim perunding baru Iran menetapkan tuntutan yang dianggap tidak realistis oleh diplomat AS dan Eropa. Iran bersikeras menuntut pencabutan semua sanksi yang dijatuhkan oleh AS dan Uni Eropa sejak 2017, termasuk yang tidak terkait dengan program nuklirnya.
Bersamaan dengan ini, perselisihan meningkat antara Teheran dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA), yang memantau program nuklir. Iran melanjutkan program pengayaan uranium, sementara IAEA mengaku tim inspeksinya telah mendapat perlakuan kasar dari Iran dan dilarang memasang kembali kamera pengintai di sebuah situs yang dianggap perlu oleh badan tersebut untuk menghidupkan kembali JCPOA.
“Mereka melakukan apa yang cukup secara teknis agar bisa mengubah hubungan mendasar mereka dengan Barat untuk dapat melakukan dialog yang lebih egaliter di masa mendatang,” kata seorang diplomat Barat yang terlibat dalam pembicaraan tersebut.
Dua diplomat Eropa mengatakan Teheran hanya mencoba mengulur waktu untuk meningkatkan bahan dan keahlian nuklirnya.
Para diplomat Barat mengaku akan melanjutkan pembicaraan pada hari Senin dengan asumsi melanjutkan pembicaraan yang terhenti pada bulan Juni. Mereka memperingatkan bahwa jika Iran terus bersikap berlebihan dan tak kooperatif lagi dengan IAEA maka mereka harus segera pilihan mereka.
Kepala delegasi perunding dan menteri luar negeri Iran Jumat dan Ahad lalu menegaskan bahwa pencabutan penuh sanksi adalah satu-satunya hal yang mengemuka di atas meja perundingan Wina.
Seorang diplomat Eropa berkomentar, “Jika inilah sikap yang terus dipegang Iran pada hari Senin maka saya tidak melihat solusi yang dinegosiasikan.â€
Beberapa diplomat menyebutkan bahwa sekarang hanya tinggal 4-7 minggu lagi dari waktu yang dibutuhkan Iran untuk menimbun bahan fisil yang cukup untuk satu bom nuklir, namun mereka juga menekankan Iran masih perlu waktu dua tahun untuk bisa mengubahnya menjadi senjata yang dapat digunakan.
Jika perundingan itu gagal maka kemungkinan konfrontasi mula-mula akan terjadi di IAEA antara Iran di satu pihak AS dan sekutunya di pihak lain pada bulan depan dengan adanya seruan pertemuan darurat.
Hanya saja, mereka juga berkeinginan untuk mula-mula mengeksplorasi opsi diplomatik alternatif dengan harapan dapat mempertahankan dukungan dari Rusia, yang memiliki pengaruh politik di Iran, serta China, yang memberi Teheran dukungan ekonomi melalui pembelian minyak.
Para diplomat mengatakan bahwa salah satu skenario yang diajukan Washington adalah merundingkan perjanjian sementara terbuka dengan Teheran jika kesepakatan permanen tidak tercapai. Namun, para diplomat menilai itu akan menelan banyak waktu dan tak pasti pula Iran menginginkannya atau tidak. (raialyoum)
Iran: Ancaman Militer Percuma, Tujuan Utama Perundingan Nuklir adalah Pencabutan Semua Sanksi
Kepala delegasi Iran untuk perundingan nuklir di Wina, ibu kota Austria, Ali Bagheri Kani, Ahad (28/11), menegaskan bahwa tujuan utama Teheran dalam negosiasi ini adalah pencabutan semua sanksi terhadap Iran. Bersamaan dengan ini Perdana Menteri Rezim Zionis Israel mengaku cemas terhadap perundingan tersebut.
“Tujuan pertama Teheran dalam negosiasi ialah pembatalan semua sanksi yang dikenakan pada Iran,†ungkapnya dalam sebuah pernyataan pers, sehari menjelang dimulainya babak baru negosiasi nuklir.
Kani yang juga menjabat sebagai asisten menteri luar negeri Iran menyebutkan Teheran “siap berdialog atas dasar memperoleh jaminan konkret dan memverifikasi kewajiban pihak lainâ€.
Dia menjelaskan, “Tujuan pertama delegasi perunding di Wina adalah menghapus semua sanksi terhadap rakyat Iran, sedangkan tujuan kedua adalah memfasilitasi hak-hak rakyat Iran mendapat keuntungan dari sains nuklir.â€
Dia juga mengatakan, “Barat tidak berusaha mencapai kesepakatan, melainkan ingin mendapatkan konsesi dari Iran.”
Mengenai gertakan yang kerap ditujukan terhadap Iran, Kani mengingatkan bahwa negaranya “tak akan tunduk pada ancaman militer maupun sanksi, kesalahan di masa lalu tak seharusnya diulang.â€
Di bagian akhirnya pernyataannya dia memastikan kesiapannya menjalankan perundingan konstruktif.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett di hari yang sama memperlihatkan kecemasannya terhadap perundingan nuklir Wina.
“Israel sangat prihatin dengan kesediaan untuk mencabut sanksi dan mengizinkan aliran miliaran dolar ke Iran sebagai imbalan atas pembatasan yang tidak memadai pada program nuklir,” katanya di awal pertemuan kabinet.
“Ini adalah pesan yang kami sampaikan dalam segala hal, baik ke AS maupun ke negara-negara lain yang sedang bernegosiasi dengan Iran.â€
Bennett menambahkan bahwa Menteri Luar Negeri Yair Lapid akan menyampaikan pesan yang sama kepada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson di London dan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris minggu ini.
Pada awal November lalu Kementerian Luar Negeri Iran mengumumkan bahwa perundingan yang bertujuan memulihkan kesepakatan nuklir Iran dengan sejumlah negara terkemuka dunia akan dimulai pada hari ini, Senin (29/11), di Wina.
Enam putaran pembicaraan telah diadakan di kota yang sama pada April dan Juni lalu dan kemudian terhenti akibat pilpres Iran. (mna/jp)
Kontak Senjata Berat Sudan VS Ethiopia, Lusinan Tentara Tewas
Kontak senjata pada dini hari Sabtu (27/11) di jalur perbatasan Sudan-Ethiopia menewaskan 21 pasukan Sudan dan melukai sedikitnya 30 lainnya, menurut laporan situs berita SudaneseTribune yang mengutip pernyataan sumber-sumber militer yang dapat dipercaya, Ahad (28/11).
Konfrontasi dan kekerasan meletus antara pasukan Sudan dan Ethiopia yang menerobos masuk ke wilayah Sudan di timur Barakat Noreen di pemukiman Melkamo pada kedalaman 17 kilometer.
Berbagai sumber mengatakan bahwa pertempuran sengit terjadi di timur daerah Umm Disa dan Barakat Noreen menuju pemukiman Ethiopia Malkamo, yang dibangun di wilayah Sudan di sebelah timur Sungai Atbara.
Kedua pihak menggunakan artileri berat dan senapan mesin dalam pertempuran selama delapan jam.
Sumber tersebut menambahkan, “21 tentara Sudan tewas, termasuk seorang perwira berpangkat mayor dan seorang letnan satu. Sekitar 30 lainnya terluka dan dipindahkan ke rumah sakit di wilayah Al-Qureisha.â€
Laporan itu juga melaporkan jatuhnya sejumlah besar korban tewas dan terluka di pihak tentara Ethiopia.
Malam sebelumnya, tentara Sudan mengumumkan pihaknya menanggapi serangan pasukan Ethiopia dan kelompok-kelompok bersenjata “yang bertujuan mengintimidasi petani dan menyabot musim panenâ€, “menimbulkan kerugian yang signifikan dalam kehidupan dan peralatanâ€, dan “angkatan bersenjata menghitung sejumlah martir.”
Perbatasan Sudan dan Ethiopia dilanda ketegangan militer sejak November tahun lalu, ketika tentara Sudan mengerahkan kembali pasukannya di tanah Al-Fashqa dan memulihkan sebagian besar lahan pertanian yang telah ditanami kelompok-kelompok Ethiopia di bawah perlindungan milisi selama lebih dari 25 tahun.
Di pihak lain, Ethiopia menuduh angkatan bersenjata Sudan menyulut ketegangan di perbatasan dengan menyerbu wilayahnya dan menduduki lahan pertaniannya. (raialyoum)