Rangkuman Berita Utama Timteng Selasa 9 Juli 2019

kapal british heritageJakarta, ICMES: Kapal tanker minyak Inggris bersembunyi di wilayah Teluk Persia karena khawatir terhadap aksi balasan Iran.

Uni Emirat Arab (UEA) mengumumkan akan mengurangi kehadiran pasukannya di seluruh Yaman dengan dalih demi strategi “militer pertama” ke “damai pertama”.

Surat kabar The Guardian memuat artikel berjudul “Iran tidak mencari krisis ini terjadi, tetapi tidak akan tinggal diam terhadap penindasanTrump”.

Sistem pertahanan udara yang digunakan Saudi itu dinilai gagal mencegat rudal-rudal Yaman yang belakangan ini kerap menyasar berbagai wilayah Saudi.

Berita selengkapnya:

Takut Balasan Iran, Kapal Tanker Minyak Inggris Bersembunyi di Saudi

Sebuah kapal tanker minyak British Heritage yang dijalankan oleh BP (British Petroleum) Plc, perusahaan minyak dan gas multinasional Inggris yang berkantor pusat di London, Inggris, mengamankan diri di wilayah Teluk Persia karena khawatir disita oleh Iran sebagai balasan langsung atas penahanan kapal tanker minyak Iran di  dekat Gibraltar sejak pekan lalu.

Kapal British Heritage, yang mampu mengangkut sekitar 1 juta barel minyak mentah, berlayar menuju terminal minyak Basrah, Irak, namun mendadak berbalik arah pada 6 Juli, dan kini berada di lepas pantai Arab Saudi.

Narasumber yang mengetahui masalahnya menyebutkan bahwa BP khawatir British Heritage menjadi target jika Iran berusaha membalas penahanan kapal tanker Grace 1 yang mengangkut minyak Iran di dekat Gibraltar oleh British Royal Marines pada hari Kamis lalu.

Kapal British Heritage, yang terdaftar di Isle of Man dan berlayar dengan bendera Inggris, telah disewa oleh Royal Dutch Shell Plc untuk mengangkut minyak mentah dari Basrah ke Eropa barat laut.

Kapal tanker itu tidak akan dapat keluar dari Selat Hormuz yang tanpa berlayar di dekat pantai Iran resikonya dinilai sangat besar. (aljazeera)

The Guardian: Iran Tak akan Diam Terhadap Penindasan Trump

Surat kabar The Guardian yang bermarkas di London, Inggris, Ahad (7/7/2019), memuat artikel Hossein Mousavian berjudul “Iran tidak mencari krisis ini terjadi, tetapi tidak akan tinggal diam terhadap penindasanTrump”.

Penulis menyebutkan bahwa keputusan Iran meningkatkan volume pengayaan uraniumnya merupakan reaksi yang tak terelakkan lagi atas keputusan AS yang terjadi belakangan, terutama setelah pemerintahan Presiden AS Donald Trump secara sepihak menyatakan keluar dari perjanjian nuklir Iran yang dinamai Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA).

Dia menjelaskan bahwa sanksi baru ekonomi dan politik AS tidak hanya menyasar berbagai sektor ekonomi Iran, tetapi juga entitas dan figur paling berpengaruh di negara ini, dan sanksi-sanksi ini telah secara efektif merusak upaya-upaya diplomatik untuk menyelesaikan krisis serta memiliki konsekuensi politik tidak hanya untuk Iran dan AS, melainkan juga bagi kawasan secara keseluruhan.

Mousavian yang merupakan mantan anggota tim perunding nuklir Iran mencatat bahwa kembalinya permusuhan antara Iran dan AS setelah periode détente di era Barack Obama adalah salah satu tantangan paling mendesak bagi perdamaian dan keamanan di Timur Tengah.

Mousavian menambahkan bahwa JCPOA merupakan salah satu perjanjian paling komprehensif dalam sejarah non-proliferasi nuklir di mana Iran telah menerima campur tangan yang paling transparan dan pembatasan ketat terhadap program nuklirnya.

Dia mencatat bahwa Badan Energi Atom Internasional (IAEA) baru-baru ini mengakui bahwa Iran sepenuhnya mematuhi syarat dan ketentuan JCPOA. Menurutnya, setelah komitmen kepada perjanjian nuklir itu Iran malah diganjar  dengan sanksi tambahan.

“Dia (Trump) memilih jalur berbahaya berupa kebijakan dan tindakan permusuhan, dan telah meningkatkan kemungkinan bencana konflik di Timur Tengah. Dia tampaknya menyadari bahwa konfrontasi militer dengan Iran akan menjadi bencana dalam segala cara yang memungkinkan. Tapi dia juga harus menyadari fakta bahwa Iran tidak akan pernah menyerah pada penindasan,” tulisnya.

Pada paragraf terakhir dia menuliskan, “Jika Trump benar-benar ingin menyelesaikan krisis yang tidak perlu dan dipaksakan sendiri ini maka dia perlu melakukan perubahan strategi yang cepat, krisis yang akan memungkinkan kedua negara menyelamatkan muka. Hanya dengan demikian diplomasi yang kredibel menjadi mungkin sekali lagi.” (theguardian)

UEA Mengurangi Jumlah Pasukannya di Yaman dengan Dalih Strategi

Uni Emirat Arab (UEA) mengumumkan akan mengurangi kehadiran pasukannya di seluruh Yaman dengan dalih demi strategi “militer pertama” ke “damai pertama”.

Seorang pejabat UEA yang tidak disebutkan namanya, Senin (8/7/2019), mengatakan bahwa negara Arab di Teluk Persia itu menarik sebagian pasukannya dari sejumlah daerah di Yaman, termasuk pelabuhan selatan Aden dan kawasan pesisir barat.

“Kami memang memiliki tingkat pasukan yang turun karena alasan strategis di Hodeidah dan alasan taktis. Ini sangat berkaitan dengan peralihan dari apa yang saya sebut strategi militer pertama ke strategi perdamaian pertama.”

Seorang pejabat militer Yaman yang tidak disebutkan namanya mengkonfirmasi bahwa tentara UEA “benar-benar mengosongkan” pangkalan militer di Khokha, sekitar 130 km selatan pelabuhan utama Hodeidah.

Pergerakan pasukan di daerah lain di Yaman “bersifat taktis dan didasarkan pada kebutuhan kita”, kata pejabat UEA itu.

Dia menambahkan, “Kami tidak khawatir tentang kekosongan di Yaman, karena kami telah melatih total 90.000 pasukan Yaman (loyalis presiden pelarian Abd Rabbuh Mansour Hadi). Ini adalah salah satu kesuksesan besar kami di Yaman.”

Konflik di Yaman pecah pada akhir 2014 ketika kelompok pejuang Ansarullah (Houthi) merebut sebagian besar wilayah negara ini, termasuk ibu kota, Sanaa.

Perang semakin berkobar pada Maret 2015 setelah koalisi militer yang dipimpin oleh Arab Saudi dan UEA melancarkan serangan udara sengit ke Yaman dengan dalih memulihkan pemerintahan Mansour Hadi.

Sembari menyebutkan bahwa UEA tetap mendukung Arab Saudi, pejabat UEA itu mengatakan bahwa pengurangan pasukan itu telah didiskusikan dan dikoordinasikan selama lebih dari setahun.

“Ini bukan keputusan menit terakhir. Ini adalah bagian dari proses dalam koalisi yang telah dibahas secara luas dengan mitra kami, Saudi,” ujarnya.

Penarikan sebagian pasukan UEA itu dilakukan bersamaan dengan meningkatnya ketegangan antara Iran dan AS akibat adanya serangan terhadap kapal tanker minyak di dekat Selat Hormuz, kehadiran militer AS di kawasan itu, dan penolakan Iran atas beberapa kewajibannya berdasarkan kesepakatan nuklir internasional yang dicapai pada 2015. Ketegangan itu melonjak pada Juni setelah Iran menembak jatuh drone pengintai AS.

Para diplomat mengatakan UEA lebih menghendaki kepulangan pasukan dan peralatan militernya ketika ketegangan antara AS dan Iran semakin meningkat di Teluk Persia.

Gamal Gasim, seorang profesor ilmu politik di Grand Valley State University, Michigan, AS, mengatakan bahwa tindakan UEA itu berseberangan dengan strategi Arab Saudi untuk menumpas Ansarullah yang berpihak kepada Iran.

“UEA lebih mungkin bermaksud untuk membagi Yaman menjadi dua negara Selatan dan Utara di mana ia akan memiliki pengaruh dan dominasi atas bagian selatan. Di pihak lain, Arab Saudi lebih tertarik untuk mengalahkan Houthi dan mengakhiri pengaruh Iran,” ujar Gasim. (raialyoum/aljazeera)

Sistem Pertahanan Udara Canggih Saudi Gagal Cegat Rudal Yaman

Jurnalis Yaman Ali al-Darwani menyatakan bahwa Arab Saudi menggunakan sistem pertahanan udara Patriot generasi ketiga dan meminta AS membekalinya dengan sistem pertahanan udara Thaad untuk mencegat rudal pasukan Yaman.

Pada acara “Al-Masyhad Al-Yamani” (Panorama Yaman) di saluran TV al-Alam milik Iran, Senin (8/7/2019), al-Darwani mengatakan bahwa sistem pertahanan udara yang digunakan Saudi itu ternyata gagal mencegat rudal-rudal Yaman yang belakangan ini kerap menghajar bandara Abha di bagian selatan Saudi serta situs-situs militer dan ekonomi di Riyadh.

Sementara itu, Yaman Ahad lalu menggelar pameran industri militer “Syahid Salih al-Samad” di Sana, ibu kota Yaman.

Pada kesempatan itu Ketua Dewan Tinggi Politik Yaman Mahdi al-Mashat bersumbar pada tahap mendatang akan banyak kejutan senjata-senjata baru yang akan menciptakan kondisi baru dalam perimbangan kekuatan militer Yaman melawan pasukan koalisi Arab pimpinan Arab Saudi.  (alalam)