Jakarta, ICMES: Sekretaris Dewan Kebijakan Iran Mohsen Rezaee menyebut klan al-Saud yang berkuasa di Arab Saudi telah mengubah negeri Haramain ini menjadi Rezim Zionis Israel jilid II.
Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) Anwar Qarqash menegaskan bahwa penyelesaian krisis hubungan Qatar dengan Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir bukan berada di Newyork, AS, maupun London, Inggris, melainkan di Riyadh, Arab Saudi.
Pemerintah Qatar menyatakan prihatin atas dua pernyataan empat negara Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir yang memutus hubungan dengannya. Qatar menilai isi kedua pernyataan itu invalid dan menyalahi prinsip-prinsip yang berlaku dalam hubungan internasional.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson, Jumat (7/7/2017), menyatakan pemerintah negara ini memandang Presiden Suriah Bashar al-Assad dan keluarganya tidak memiliki masa depan di Suriah, dan dalam hal ini pendirian Washington tidak berubah.
Berita selengkapnya;
Iran Sebut Klan al-Saud Jadikan Saudi “Israel Kedua”
Sekretaris Dewan Kebijakan Iran Mohsen Rezaee menyebut klan al-Saud yang berkuasa di Arab Saudi telah mengubah negeri Haramain ini menjadi Rezim Zionis Israel jilid II. Hal ini dia nyatakan di halaman Instagram miliknya, Jumat (7/7/2017), sembari mengingatkan besarnya dampak agresi koalisi Arab pimpinan Saudi terhadap Yaman yang merupakan negara miskin jirannya.
Dia menyinggung laporan dramatis yang dipaparkan oleh parlemen Yaman dalam majelis haul alm. Niri mengenai kondisi negara ini.
Menurut Rezaee, parlemen Yaman telah menjelaskan ihwal serangan udara Saudi selama 800 hari di Yaman yang telah menghancurkan 400,000 unit rumah, dan menggugurkan serta melukai 32,000 warga sipil, termasuk kaum perempuan dan anak kecil. Kondisi ini diperparah oleh merebaknya wabah penyakit kolera yang telah menjangkiti 240,000 orang, sementara banyak fasilitas umum, termasuk gedung sekolah, masjid, dan rumah sakit hancur.
“Klan al-Saudi telah menjadikan Saudi sebagai Israel kedua,” tulisnya.
Dia menambahkan bahwa negara-negara dunia seharusnya membayar “pajak” atas jerih payah Iran dalam memerangi teroris di Irak dan Suriah. (alalam)
Menlu UEA: Solusi Krisis Qatar Ada di Riyadh, Bukan New York Dan London
Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab (UEA) Anwar Qarqash menegaskan bahwa penyelesaian krisis hubungan Qatar dengan Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir bukan berada di Newyork, AS, maupun London, Inggris, melainkan di Riyadh, Arab Saudi.
Di halaman Twitter-nya, Jumat (7/7/2017), dia menulis, “Kebijakan Qatar berlagak sebagai korban tidak akan dapat menutupi dukungannya kepada kekacauan, ekstrimisme, dan terorisme.”
Sehari sebelumnya dia juga membuat beberapa cuitan antara lain; “Adalah ilusi belaka anggapan pihak musuh Arab Saudi bahwa mereka memiliki posisi di Teluk… Memungkiri kerugian yang ditimbulkan oleh kebijakan Qatar terhadap Bahrain, Arab Saudi, dan negara-negara Arab lainny a adalah tindakan yang aneh. Konspirasi yang telah diatur dan darah yang telah tumpah tak dapat diabaikan.”
Dia menambahkan, “Setelah (Qatar) memiliki rapor kelam dan konspiratif kita malah mendengar klaim dizalimi. Ini pada hakikatnya merupakan reaksi yang terlambat terhadap kebijakan keras kepala dan destruktif yang penyelesaiannya ialah mengubah pendekatan.”
Seperti diketahui, Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir sejak 5 Juni lalu memutus hubungan dengan Qatar dan memblokade negara ini dengan klaim bahwa Doha menyokong terorisme dan mencampuri urusan internal negara-negara lain.
Qatar membantah tuduhan itu serta menilai tindakan mereka berlebihan dan tak dapat diterima. (irna)
Aliansi Saudi Rilis Dua Pernyataan, Bagaimana Reaksi Qatar?
Pemerintah Qatar menyatakan prihatin atas dua pernyataan empat negara Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir yang memutus hubungan dengannya. Qatar menilai isi kedua pernyataan itu invalid dan menyalahi prinsip-prinsip yang berlaku dalam hubungan internasional.
Pernyataan pertama dirilis usai pertemuan para menteri luar negeri empat negara tersebut di Kairo, Mesir, Rabu (4/7/2017), sedangkan pernyataan kedua dirilis di Jeddah, Arab Saudi, Kamis (5/7/2017). Keduanya mengecam “tanggapan negatif” Qatar terhadap desakan mereka dan menilainya tidak menghargai mediasi Kuwait.
Mereka lantas menegaskan lagi tuduhan bahwa Qatar menyokong teroris dan mengacaukan keamanan kawasan. Tanpa memberikan penjelasan rinci, mereka berjanji akan meningkatkan sanksi mereka terhadap Qatar “pada saat yang tepat”.
Kantor berita resmi Qatar, QNA, mengutip keterangan sumber anonim Kemlu Qatar bahwa negara ini menegaskan lagi bantahannya atas kandungan dua pernyataan tersebut bahwa Doha mencampuri dalam urusan internal negara lain, dan mendanai teroris.
“Sikap Qatar terhadap teroris sudah solid, dan sudah diketahui menolak dan mencelanya dalam segala bentuk, sebab dan motivasinya,” tuturnya.
Dia mengatakan bahwa khalayak dunia mengetahui bahwa Qatar merupakan anggota yang aktif dan konsisten kepada perjanjian internasional dan semangat pemberantasan terorisme beserta pendanaannya, baik di tingkat regional maupun internasional.
Sumber ini menegaskan bahwa rakyat, pemerintah dan emir Qatar menghargai “ketulusan” Emir Kuwait Syeikh Sabah al-Jabir al-Ahmad al-Sabah dalam upaya mengatasi krisis.
“Qatar siap bekerjasama, melihat, dan mendiskusikan semua klaim yang tidak menyalahi kedaulatan Qatar,” tegasnya.
Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir sejak 5 Juni lalu memutus hubungan dengan Qatar dan memblokade negara ini dengan klaim bahwa Doha menyokong terorisme dan campurtangan dalam urusan internal negara-negara lain, namun Doha membantah keras kaim ini dengan menyebutnya sebagai kedustaan yang ditujukan untuk mendikte keputusan-keputusan nasional Qatar.
Dengan mediasi Kuwait aliansi Saudi pada 22 Juni lalu mengajukan daftar tuntuan berisi 13 poin sebagai syarat pemulihan hubungan mereka dengan Qatar. Mereka menuntut antara lain penutupan stasiun TV Al-Jazeera. Doha memandang tuntutan itu “tidak realistis, tidak seimbang, tidak logis, dan tidak bisa diterapkan.” (rayalyoum)
Tillerson Sebut Al-Assad Tak Punya Masa Depan
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson, Jumat (7/7/2017), menyatakan pemerintah negara ini memandang Presiden Suriah Bashar al-Assad dan keluarganya tidak memiliki masa depan di Suriah, dan dalam hal ini pendirian Washington tidak berubah.
Di saat yang sama, Tillerson juga menyebutkan prediksinya mengenai kesepakatan segi tiga Yordania, AS, dan Rusia yang telah diumumkan berkenaan dengan gencatan senjata di bagian barat daya Suriah dan rinciannya diharapkan akan rampung dalam jangka waktu kurang dari satu minggu.
Hal tersebut dia nyatakan dalam konferensi pers di Hamburg, Jerman, usai pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G-20 yang akan berakhir hari ini.
Tillerson menjelaskan bahwa dalam pertemuan yang berlangsung selama lebih dari dua jam itu keduanya telah membahas berbagai isu, terutama krisis Suriah serta tuduhan AS bahwa Rusia melakukan sabotase terhadap pemilu presiden AS yang berlangsung 8 November 2017.
Ditanya mengenai pendapat AS mengenai masa depan al-Assad, dia mengatakan, “Kami memandang al-Assad dan pemerintahannya tidak memiliki peran jangka panjang, dan pendirian kami dalam hal ini tidak berubah. Kami telah menjelaskannya kepada semua orang, dan kami tegaskan dengan gamblang masalah ini dalam diskusi kami dengan Rusia bahwa masyarakat dunia tidak menerima Suriah dipimpin oleh pemerintahan al-Assad.”
Dia memastikan bahwa Suriah berusaha mendapatkan pengakuan internasional dan masa depan ekonomi yang terjamin sehingga harus mendapat pemimpin baru. Dia mengklaim bahwa rekonstruksi dan bantuan kemanusiaan ke Suriah ke Suriah akan sulit mengalir jika al-Assad tetap bertahan karena kepercayaan orang kepadanya sangat minim.
Sebelumnya di hari yang sama, pemerintah Yordania mengumumkan bahwa telah dicapai kesepakatan segi tiga AS, Rusia dan Yordania mengenai gencatan senjata di barat daya Suriah yang akan diterapkan sejak Minggu (9/7/2017).(rayalyoum)