Jakarta, ICMES. Perdana Menteri Pakistan Imran Khan mengaku telah diminta oleh Presiden AS Donald Trump dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohamed bin Salman agar menengahi krisis hubungan AS dan Saudi dengan Iran.
Presiden AS Donald Trump dalam pidatonya pada sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, Selasa, menyalahkan Iran secara blak-blakan terkait dengan serangan yang menimpa kilang minyak Arab Saudi.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel Al-Jubeir mengatakan negaranya tidak menutup kemungkinan menggunakan opsi militer dalam bereaksi terhadap serangan drone dan rudal yang menerjang dua komplek kilang minyak Aramco milik Saudi.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan penerapan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB terkait dengan Israel.
Berita selengkapnya:
PM Pakistan: Trump dan Bin Salman Minta Saya Tengahi Urusan dengan Iran
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan mengaku telah diminta oleh Presiden AS Donald Trump dan Putra Mahkota Arab Saudi Mohamed bin Salman agar menengahi krisis hubungan AS dan Saudi dengan Iran.
Hal itu dikatakan Khan dalam jumpa pers di sela sidang ke-74 Majelis Umum PBB di New York, AS, Selasa (24/9/2019), sembari mengaku bahwa karena itu diapun telah berbicara soal ini dengan Presiden Iran Hassan Rouhani.
Namun demikian, Imran Khan enggan memberikan keterangan lebih lanjut mengenai pembicaraannya dengan Rouhani.
“Saya tak dapat mengungkap lebih jauh lagi. Presiden AS telah meminta saya untuk menengahi dan saya sudah berbicara dengan Presiden Iran Hssan Rouhani kemarin,” tuturnya.
Dia melanjutkan, “Saya telah berkunjung ke Saudi, dan Putra Mahkota Saudi Mohamed bin Salman meminta saya berbicara dengan para pemimpin Iran tentang ini, dan itupun telah saya lakukan.”
Seperti diketahui hubugan antara Iran dan AS memburuk sejak Trump menarik mundur negaranya dari perjanjian nuklir Iran pada tahun lalu, dan kemudian menerapkan embargo minyak dan perbankan terhadap Iran.
Hal ini lantas mendorong Iran agar Eropa memberikan dukungan ekonomi tambahan kepada Iran demi menyelamatkan perjanjian nuklir.
Kawasan Teluk Persia juga diwarnai eskalasi ketegangan antara Iran di satu pihak dan AS dan Arab Saudi di pihak lain menyusul insiden serangan drone yang menerjang pabrik minyak Aramco milik Saudi pada 14 September lalu.
AS dan Saudi menuding Iran bertanggungjawab atas serangan ini, dan Iranpun membantahnya, sementara kelompok pejuang Ansarullah (Houthi) di Yaman menyatakan bertanggungjawab atas serangan itu. (raialyoum)
Trump di PBB Kecam Iran Terkait Insiden Aramco
Presiden AS Donald Trump dalam pidatonya pada sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, Selasa (24/9/2019), menyalahkan Iran secara blak-blakan terkait dengan serangan yang menimpa kilang minyak Arab Saudi.
Trump menuding Iran berambisi “menumpahkan darah”, menyebut Iran sebagai negara yang “gagal selama 40 tahun” sejak kemenangan revolusi Islam Iran pada tahun 1979, dan menyerukan kepada para pemimpin Iran agar “menomor satukan rakyat Iran”.
Presiden AS kemudian mengatakan bahwa siapapun bisa saja terlibat perang, tapi perdamaianlah yang mencerminkan keberanian.
“Siapapun bisa saja terlibat perang, tapi orang yang pemberani hanyalah mereka yang memilih perdamaian… Tujuan AS bukanlah melanjutkan peperangan yang tiada habisnya,” tuturnya.
Dia mengklaim AS sebagai negara terkuat di dunia dengan keunggulan yang jauh melampaui negara-negara lain.
“Kami berharap sama sekali tidak terpaksa menggunakan kekuatan ini. Jika Anda menghendaki kebebasan maka berbanggalah dengan negara Anda, jika Anda menghendaki demokrasi maka konsistenlah pada kedaulatannya, dan jika Anda menghendaki perdamaian maka Anda harus mencintai negara Anda,” ujarnya.
Dia mengimbau kepada masyarakat dunia untuk tidak menyokong pemerintah Iran yang disebutnya “haus darah”, dan menegaskan bahwa sanksi AS terhadap Iran tidak akan dicabut selagi Iran “masih melanjutkan perilakunya yang mengandung ancaman”.
Dia menyerukan kepada negara-negara dunia agar menjalin hubungan sepenuhnya dengan Israel, dan memastikan akan terus meningkatkan sanksinya terhadap Iran selagi negara republik Islam ini tidak meggubris harapan AS. (raialyoum)
Menlu Saudi Nyatakan Ada Opsi Militer untuk Bereaksi terhadap Insiden Aramco
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel Al-Jubeir mengatakan negaranya tidak menutup kemungkinan menggunakan opsi militer dalam bereaksi terhadap serangan drone dan rudal yang menerjang dua komplek kilang minyak Aramco milik Saudi.
Hal tersebut dinyatakan Al-Jubeir dalam jumpa pers di sela sidang ke-74 Majelis Umum PBB di New York, AS, Selasa (24/9/2019).
Dia menjelaskan bahwa Saudi masih terus melakukan penyelidikan untuk memastikan dari mana rudal dan drone itu datang menyerang hingga menimbulkan kebakaran hebat dan melumpuhkan sekira 50 persen volume produksi minyaknya pada tanggal 14 September lalu.
“Setelah diumumkannya hasil penyeledikan mengenai serangan ke Aramco itu kami baru akan menentukan opsi kami, baik militer maupun diplomatik dan ekonomi,” terangnya.
Meski demikian, Menteri Luar Negeri Saudi kembali melontarkan klaimnya bahwa Iran bertanggungjawab atas serangan ke Aramco karena, menurutnya, senjata yang digunakan dalam serangan ini ada buatan Iran.
Dia kemudian menegaskan, “Saudi berusaha menghindari perang dengan harga apapun, tapi kami juga tidak berpangku tangan di depan ancaman Iran.”
Seperti diketahui, Iran sendiri membantah klaim dan tuduhan berbagai pihak bahwa Iran berada di balik serangan itu atau bertanggungjawab atasnya. (raialyoum)
Presiden Turki di PBB Serukan Penerapan Resolusi PBB Terkait dengan Israel
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan penerapan resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB terkait dengan Israel.
Dalam pidatonya pada sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, Selasa (24/9/2019), Erdogan menyoal, “Jika resolusi PBB dan Dewan Keamanan terkait dengan Israel tidak diterapkan lantas apa gunanya organisasi ini? Jika kita melalui keputusan-keputusan yang telah kita ambil ternyata tidak berpengaruh lantas di mana keadialan akan bermanifestasi?”
Erdogan mengimbau PBB agar menyokong rakyat Palestina lebih dari sekedar janji belaka.
“Saya bertanya-tanya di mana Israel, tanah-tanah mana saja yang tercakup Israel. Di mana Israel pada tahun 1947, di mana ia pada tahun 1979 dan tahun 1967, dan di mana pula ia sekarang?” imbuhnya.
Erdogan lantas menunjukkan peta kawasan Palestina sembari mengatakan, “Pada tahun 1947 tidak ada sesuatu bernama Israel. Kawasan itu secara total adalah Palestina. Setelah pemecahan dilakukan di tahun yang sama maka mulailah Palestina menyempit, sedangkan Israel mengalami perluasan sampai tahun 1967.”
Menurut Erdogan, Palestina sekarang “nyaris tidak ada”, karena semua kawasan sudah menjadi Israel.
“Tapi apakah Israel sudah puas? Tidak, ia justru berusaha merebut kawasan yang tersisa,” ungkapnya.
Dia kemudian menekankan bahwa sikap Turki mengenai kota Quds (Yerussalem) sudah jelas dan menekankan keharusan pendirian negara Palestina merdeka dengan wilayah yang setara dengan Israel sesuai perbatasan tahun 1967 dengan ibu kota Quds Timur. (raialyoum)