Jakarta, ICMES. Pasukan pendudukan Israel mengumumkan satu pemukim Zionis tewas dalam serangan yang terjadi di daerah Holon, dekat Tel Aviv

Militer Israel mengumumkan bahwa Israel memutuskan untuk memblokir Tepi Barat dan Jalur Gaza selama tiga hari libur besar Yahudi yang akan dirayakan antara akhir pekan ini dan pertengahan Oktober.
Presiden Iran Ebrahim Raisi mengecam upaya negara-negara Eropa mengeluarkan resolusi mengenai program nuklir Iran di badan pengawas nuklir PBB di tengah upaya diplomatik untuk pemulihan perjanjian nuklir 2015 (Rencana Aksi Komprehensif Bersama).
Pemimpin Gerakan Ansarullah Yaman, Sayid Abdul Malik Badruddin al-Houthi, menyatakan bahwa Amerika Serikat berusaha memperparah kekacauan di Yaman demi mengambil kendali penuh atas negara ini, namun revolusi rakyat pada tahun 2014 telah membuyarkan plot tersebut.
Berita Selengkapnya:
Satu Pendatang Zionis Tewas Terkena Serangan Dekat Tel Aviv
Pasukan pendudukan Israel mengumumkan satu pemukim Zionis tewas dalam serangan yang terjadi di daerah Holon, dekat Tel Aviv, pada Selasa sore (20/9).
Dikutip saluran 7 Israel, komandan polisi pendudukan, Yacoub Shabtai, pada Selasa malam menyatakan, “Penyelidikan menunjukkan bahwa pembunuhan pemukim itu berlatar belakang ras, dan itu dilakukan oleh seorang Palestina yang berhasil kabur dari tempat itu.â€
Pasukan pendudukan sedang melakukanpengejaran dan penyisiran di Holon untuk mencari pelaku, di tengah peringatan bahwa dia berpotensi melakukan serangan lain terhadap pemukim Zionis, menurut kantor berita Safa.
Pemukimitu ditemukan tewas di Jalan Hashmonaim di Holon, dekat daerah yang menjadi tempat banyak area konstruksi.
Media Israel menyebutkan bahwa kamera pengintai di daerah itu merekam detik-detik peristiwa serangan tersebut di mana pelaku menggunakan senjata tajam dan menyerang bagian kepala target. (raialyoum)
Hari Raya Yahudi, Militer Israel Blokir Semua Wilayah Pendudukan
Militer Israel pada Selasa malam (20/9) mengumumkan bahwa Israel memutuskan untuk memblokir Tepi Barat dan Jalur Gaza selama tiga hari libur besar Yahudi yang akan dirayakan antara akhir pekan ini dan pertengahan Oktober.
Warga Palestina dinyatakan dilarang memasuki wilayah Israel (Palestina pendudukan 1948) dari Tepi Barat, yang diduduki oleh rezim Zionis sejak 1967, atau dari Jalur Gaza, selama liburan Rosh Hashanah (25-27 September) dan Yom Kippur (4-5 Oktober) dan Hari Tahta Sukkot (9-10 Oktober dan 16-17 Oktober).
“Selama penutupan, penyeberangan hanya akan diizinkan untuk kasus-kasus kemanusiaan, medis dan luar biasa,” kata sebuah pernyataan dari tentara Israel, yang biasa memberlakukan tindakan tersebut pada hari libur Yahudi.
Israel mengambil langkah demikian setiap tahun. Media lokal belakangan ini melaporkan bahwa pasukan keamanan diberitahu tentang puluhan serangan yang sedang dipersiapkan selama liburan ini.
Dalam gelombang kekerasan yang dimulai pada akhir Maret, 19 orang Israel tewas di dalam wilayah Israel dan di Tepi Barat akibat serangan orang Palestina, yang beberapa di antaranya adalah orang Arab Israel.
Pasukan Israel lantas mengintensifkan operasi militer di Tepi Barat di mana 45 orang Palestina dan seorang perwira Israel terbunuh.
Pada hari Selasa, bentrokan dan kekerasan terjadi di kota Nablus,Tepi Barat, dan menyebabkan seorang pejalan kaki tewas, ketika pasukan keamanan Otoritas Palestina menangkap dua anggota Hamas.
Peristiwa ini cukup mengejutkan, mengingat bahwa konfrontasi jarang terjadi antara kedua belah pihak di Tepi Barat meskipun gerakan Fatah yang dipimpin oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Hamas yang menguasai Jalur Gaza telah lama berselisih pendapat.
Keduanya berselisih sejak 2007 manakala Hamas menguasai Jalur Gaza setelah terjadi konfrontasi dengan Fatah di kawasan ini, dan upaya mengatasi keretakan antara keduanya tidak membuahkan hasil. (raialyoum)
Bertemu Presiden Prancis, Presiden Iran Sikap Eropa terhadap Iran
Presiden Iran Ebrahim Raisi mengecam upaya negara-negara Eropa mengeluarkan resolusi mengenai program nuklir Iran di badan pengawas nuklir PBB di tengah upaya diplomatik untuk pemulihan perjanjian nuklir 2015 (Rencana Aksi Komprehensif Bersama/JCPOA).
Kecaman itu dinyatakan Raisi dalam pertemuan dengan sejawatnya dari Prancis Emmanuel Macron di sela-sela sesi ke-77 Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (20/9).
Presiden Raisi menyebut masalah luar biasa antara Iran dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sebagai “hambatan serius” untuk kesepakatan akhir mengenai pemulihan JCPOA.
“Pendekatan IAEA terhadap masalah ini harus bersifat teknis serta bebas dari tekanan dan pengaruh pihak lain. Kami percaya tidak mungkin mencapai kesepakatan tanpa penutupan dokumen Iran di IAEA,†ujarnya.
Dia mengkritik langkah Prancis, Jerman dan Inggris – tiga penandatangan JCPOA dari pihak Eropa – karena telah menyerukan adopsi resolusi pada pertemuan terakhir Dewan Gubernur IAEA pada awal bulan ini.
Menurut Raisi, seruan itu “tidak konstruktif†dan merupakan pendekatan yang justru memperumit masalah.
Resolusi yang diinginkan Eropa itu gagal menghimpun dukungan yang cukup pada pertemuan dewan tersebut.
“Dengan inspeksi dan pengawasannya, IAEA secara resmi mengakui 15 kali bahwa kegiatan Iran berada dalam komitmen dan jauh dari pengalihan apa pun,†ujar Raisi.
Presiden Iran juga menyebutkan bahwa kebijakan standar ganda IAEA terhadap kegiatan destruktif nuklir rezim Zionis Israel merupakan tanda “politisasi†masalah.
Senin lalu Prancis menyatakan pihaknya berusaha membujuk Iran agar menerima proposal Eropa untuk pemulihan JCPOA.
Presiden Raisi dalam sebuah wawancara dengan “60 Minutes” CBS News mengaku terbuka untuk kesepakatan yang “baik”, namun menuntut jaminan dari Presiden AS Joe Biden bahwa Washington tidak akan lagi meninggalkan kesepakatan nuklir Iran.
Macron telah mengadakan beberapa percakapan telepon dengan Raisi mengenai masalah ini dalam beberapa bulan terakhir.
Senin lalu dia menekankan bahwa tidak akan ada tawaran yang lebih baik bagi Iran untuk pemulihan JCPOA sehingga sekarang terpasrah kepada Teheran untuk membuat keputusan. (presstv)
Al-Houthi: Revolusi 2014 Buyarkan Plot AS di Yaman
Pemimpin Gerakan Ansarullah Yaman, Sayid Abdul Malik Badruddin al-Houthi, menyatakan bahwa Amerika Serikat (AS) berusaha memperparah kekacauan di Yaman demi mengambil kendali penuh atas negara ini, namun revolusi rakyat pada tahun 2014 telah membuyarkan plot tersebut.
Al-Houthi menyatakan demikian dalam pidato yang disiarkan langsung dari Sana’a, ibu kota Yaman, Selasa (20/9), pada peringatan HUT ke-8 Revolusi 21 September yang menggulingkan rezim Abd Rabbuh Mansour Hadi yang didukung Arab Saudi.
Gerakan Ansarullah mengambil alih pemerintahan di Sana’a pada 21 September setelah gelombang protes meluas dan membuat Hadi melarikan diri ke Riyadh, ibu kota Saudi.
“Revolusi 21 September, dari sudut pandang agama, moral, dan nasional, masih merupakan keharusan dan bermanfaat bagi bangsa kita. Gerakan revolusi itu luas dalam tema, tujuan, dan momentum populernya, dan ini bukan milik kelompok tertentu melainkan milik semua orang Yaman,†ungkap Al-Houthi.
Dia menyebutkan bahwa sebelum revolusi itu Dubes AS untuk Yaman tak ubahnya dengan “presiden Yaman†sendiri.
“Amerika mencoba mengeksploitasi kemerdekaan negara kami dan mendominasi negara kami secara tidak langsung dan tanpa perang. Plot Amerika didasarkan pada peningkatan kesenjangan politik yang sejalan dengan disintegrasi negara kita,†terangnya.
Menurutnya, AS menjalankan kebijakan destruktif untuk Yaman tanpa mempedulikan kepentingan rakyat Yaman.
“Washington bekerja untuk meningkatkan kekacauan di Yaman, namun gerakan rakyat Yaman itulah yang menggagalkan plot AS dan sekutunya.â€
Dia juga menegaskan bahwa AS berusaha melucuti tentara Yaman dari kemampuan militernya dan mengubah kedubesnya di Sanaa menjadi markas besar untuk mengelola semua kegiatan sabotase di Yaman.
Al-Houthi juga menyebut agresi koalisi militer yang dipimpin Saudi terhadap Yaman sebagai upaya untuk melanjutkan dominasi mereka atas Yaman.
“Koalisi agresor menghancurkan semua infrastruktur, dan bahkan menyasar pengadilan, penjara, kuburan, sekolah, dan lain-lain,†ungkapnya.
Dia menegaskan, “Koalisi agresor dan pengkhianat di antara orang-orang kami menjarah kekayaan minyak Yaman, dan mengendalikan sumber daya Yaman.â€
Pemimpin Ansarullah Yaman juga mengecam normalisasi hubungan sejumlah negara Arab dengan Rezim Zionis Israel, dan menegaskan bahwa bangsa Yaman menentang normalisasi yang dimotori oleh AS tersebut. (presstv)