Rangkuman Berita Utama Timteng, Kamis 6 Juli 2017

kubu saudi anti qatar di kairoJakarta, ICMES: Menlu Arab Saudi Adel al-Jubeir, Menlu Mesir Sameh Shoukry, Menlu Uni Emirat Arab  (UEA) Abdullah bin Zayed al-Nahyan, dan Menlu Bahrain Khalid bin Ahmad bin Mohammad al-Khalifa merilis deklarasi bersama di Kairo mengenai pendirian Qatar terhadap desakan mereka.

Jenderal Khalifa Haftar mengumumkan bahwa kota Benghazi, Libya, telah bebas sepenuhnya dari militan dan bahwa keamanan dan ketentraman kota ini sudah pulih.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan tidak akan menutup pangkalan militernya di Qatar seperti yang diminta oleh kubu Saudi untuk normalisasi hubungan mereka dengan Qatar.

Ketua Majelis Dewan Tinggi Islam Irak yang merupakan partai terbesar di parlemen Negeri 1001 Malam ini, Sayyid Ammar al-Hakim,  menyatakan bahwa setelah ISIS kalah perang di Irak maka tak satupun tentara asing tetap bertahan di Irak, dan tak ada lagi pangkalan militer asing di negara ini.

Berita selengkapnya;

Ini Dia Deklarasi Pertemuan Segi Empat Di Kairo Mengenai Qatar

Menlu Arab Saudi Adel al-Jubeir, Menlu Mesir Sameh Shoukry, Menlu Uni Emirat Arab  (UEA) Abdullah bin Zayed al-Nahyan, dan Menlu Bahrain Khalid bin Ahmad bin Mohammad al-Khalifa merilis deklarasi bersama di Kairo, Rabu (5/7/2017), mengenai pendirian Qatar terhadap desakan mereka.

Dalam deklarasi yang dibacakan oleh Sameh Shoukry pada konferensi pers bersama itu mereka menyatakan prihatin atas tanggapan Qatar terhadap permintaan mereka agar Qatar menghentikan “donasinya kepada teroris dan campurtangan dalam urusan internal negara-negara lain.” Mereka menyebut tanggapan Qatar “negatif” dan “tidak serius”.

Dia menjelaskan bahwa pertemuan segi empat mereka di Kairo pada hari itu adalah untuk membahas upaya-upaya yang sedang berlangsung untuk menghentikan dukungan Qatar kepada kelompok-kelompok radikal dan teroris,  campurtangannya dalam urusan internal negara-negara, dan ancaman yang dihasilkan oleh kebijakan Qatar bagi keamanan nasional Arab serta perdamaian dan keamanan internasional.

Dia menambahkan bahwa sikap empat negara tersebut bertumpu pada komitmen kepada perjanjian dan keputusan internasional serta prinsip-prinsip yang tertanam dalam Piagam PBB, Liga Arab, Organisasi Kerjasama Islam (OKI), kesepakatan pemberantasan terorisme internasional, dan penekanan atas beberapa prinsip sebagai berikut;

Pertama, komitmen kepada pemberantasan radikalisme dan terorisme dalam segala bentuknya dan pencegahan pendanan dan akomodasi bagi keduanya.

Kedua, penghentian semua tindakan provokatif dan ujaran kebencian.

Ketiga, komitmen kepada Perjanjian Riyadh tahun 2013 serta perjanjian komplementer dan sarana impelementasinya pada tahun 2014 dalam bingkai Dewan Kerjasama Teluk (GCC).

Keempat, komitmen kepada semua keputusan KTT Arab-Islam-Amerika Serikat yang telah digelar di Riyadh pada Mei 2017.

Kelima, pencegahan campurtangan urusan internal negara lain dan dukungan kepada organisasi-organisasi ilegal.

Keenam, tanggungjawab seluruh masyarakat internasional dalam perlawanan terhadap segala bentuk ekstrimis dan terorisme yang menjadi ancaman bagi keamanan dan perdamaian internasional.

Deklarasi ini dinyatakan setelah empat negara itu menerima dari Kuwait selaku mediator tanggapan Qatar terhadap desakan empat negara yang telah memutus hubungan dengan Qatar tersebut.

Shoukry mengatakan bahwa musyawarah segi empat mengenai sikap Qatar masih akan berlanjut  dan akan digelar perundingan lagi di Manama, Bahrain, dan mereka menekankan keharusan penghentian segala bentuk dukungan kepada terorisme.

Menlu Saudi Adel al-Jubeir menegaskan kontinyuitas isolasi Qatar secara politik dan ekonomi, dan akan ditempuh langkah-langkah susulan anti Qatar pada saatnya yang tepat.

Menurutnya, pendekatan Qatar kepada Iran akan menimbulkan dampak-dampak buruk, sementara Turki telah menyatakan sikap netralnya dalam krisis Qatar. (rayalyoum)

Haftar Deklarasikan Pembebasan Kota Benghazi

Jenderal Khalifa Haftar mengumumkan bahwa kota Benghazi, Libya, telah bebas sepenuhnya dari militan dan bahwa keamanan dan ketentraman kota ini sudah pulih sejak Rabu kemarin (5/7/2017).

Tokoh kuat di bagian timur Libya ini menjelaskan bahwa Benghazi bebas dari cengkraman militan setelah berlangsung pertempuran selama lebih dari tiga tahun.

Dalam pidato televisi yang ditujukan kepada rakyat Libya Haftar mengatakan, “Setelah pertempuran melawan teroris dan para pendukungnya yang berkelanjutan selama lebih dari tahun berturut-turut, angkatan bersenjata Anda hari ini merayakan pembebasan  kota Benghazi dari kawanan teroris, pembebasan sepenuhnya tanpa ada yang kurang, dan mengumumkan kemenangan tentara nasional Anda dalam perang kemulian melawan terorisme.”

Dia menambahkan, “Sejak hari ini Benghazi memasuki era baru keamanan, perdamaian, keharmonisan, pembangunan, dan kembalinya (warga) ke kampung halaman setelah kami hancurkan belenggu penindasan, kehinanan, dan kendala ketakutan yang hendak dibangun oleh para teroris dalam jiwa kita.”

Haftar juga menyatakan berterima kasih atas “momen historis” ini kepada negara-negara sahabat Libya karena, menurutnya, telah membantu dan berpihak kepada pasukan Haftar.

Deklarasi pembebasan Benghazi disampaikan Haftar beberapa jam setelah pasukannya mengumumkan tuntasnya operasi militer di distrik Suq al-Hut dan gerak maju mereka di distrik al-Sabiri di mana para “jihadis” terkepung.

Pasukan Haftar pada tahun 2014 mulai melancarkan serangan intensif di Benghazi terhadap kelompok-kelompok radikal dan teroris, terutama kelompok yang disebut “Majelis Revolusi Benghazi” yang merupakan aliansi sejumlah kelompok militan, termasuk ISIS dan Ansar al-Sharia.

Libya mengalami kondisi kacau balau sejak rezim mendiang Moammar Ghaddafi terguling pada tahun 2011. Negara ini kemudian terbagi menjadi doa polar, satu adalah pemerintahan Rekonsiliasi Nasional yang berbasis di Tripoli dan diakui oleh internasional, dan yang lain adalah otoritas Libya timur yang terafiliasi dengan Jenderal Haftar dan tidak mendapat pengakuan internasional. (rayalyoum)

Erdogan Menolak Penutupan Pangkalan Militer Turki Di Qatar

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan tidak akan menutup pangkalan militernya di Qatar seperti yang diminta oleh kubu Saudi untuk normalisasi hubungan mereka dengan Qatar.

Dalam wawancara dengan channel berita France 24 milik Perancis, Rabu (5/7/2017), Erdogan mengatakan, “Meskipun penutupan pangkapan militer Turki tercantum dalam 13 persyaratan yang diajukan oleh negara-negara Arab untuk normalisasi hubungan dengan Qatar kami tidak akan menutupnya dengan alasan apapun. Tanpa permintaan Qatar kami tidak akan menutup pangkalan kami, kami konsisten kepada perjanjian kami, dan permintaan supaya pangkalan ini ditutup tidak bisa diterima.”

Dia lantas menyoal, “Mengapa negara-negara Arab tidak meminta dan menuntut penutupan pangkalan militer Amerika dan Perancis di Qatar?”

Dia mengingatkan bahwa di Irak dan Suriah sudah terjadi krisis besar dan perang Saudi sehingga seharusnya menjadi pelajaran agar krisis baru tidak terjadi di wilayah Teluk Persia.

“Untuk menghindari krisis di kawasan ini saya sudah melakukan pembicaraan dengan raja Arab Saudi dan memintanya supaya mencegah terjadinya krisis baru di kawasan ini,” katanya.

Menurutnya, daftar permintaan kubu Arab Saudi yang terdiri atas 13 poin mengabaikan hak dan kedaulatan sebuah negara sehingga tidak bisa diterima.

“Turki dan Qatar sudah meneken perjanjian pertahanan pada tahun 2014, dan pengadaan pangkalan militerpun dilakukan sesuai perjanjian ini. Pada tahun itu pula juga kami mengajukan permintaan serupa untuk membuka pangkalan serupa kepada Arab Saudi, dan merekapun mengatakan akan mempelajarinya, tapi ternyata tidak memberikan respon,” terangnya.

Dia juga menegaskan, “Dengan alasan apapun kami tidak menerima (tuduhan) bahwa Qatar adalah negara teroris atau pendukung terorisme, karena sejak 15 tahun silam kami justru melihat pemerintah Qatar melawan teror dan terorisme.”

Presiden Erdogan kemudian mengaku pihaknya masih optimis krisis Qatar akan dapat diselesaikan. (irna)

Al-Hakim: Pasca ISIS Tak Boleh Ada Lagi Pasukan Asing Di Irak

Ketua Majelis Dewan Tinggi Islam Irak yang merupakan partai terbesar di parlemen Negeri 1001 Malam ini, Sayyid Ammar al-Hakim,  menyatakan bahwa setelah ISIS kalah perang di Irak maka tak satupun tentara asing tetap bertahan di Irak, dan tak ada lagi pangkalan militer asing di negara ini.

Dia menegaskan bahwa Baghdad menolak keberadaan pasukan asing barang satu personil di Irak, dan militer yang boleh eksis di Irak hanyalah pasukan Irak sendiri.

“Kedaulatan Irak mengharuskan resistensi ini dan menuntut pembelaan atas integritas negara, dan keyakinan semua pihak bahwa sesaatpun jangan sampai terlintas bayangan bahwa Irak dapat dibelah,” tegasnya.

Dia menerangkan bahwa prioritas Irak pasca ISIS ialah konsentrasi pada sektor-sektor keamanan dan intelijen, karena meskipun ISIS secara kasat mata sudah kalah, namun pada sesungguhnya masih diperlukan waktu yang masih panjang dakam penumpasan kelompok teroris yang menganut faham Wahabisme ini. (alforatnews)