Rangkuman Berita Utama Timteng Jumat 26 April 2019

mufti libya al-shadiq al-ghoryaniJakarta, ICMES: Mufti Libya Syeikh Al-Sadiq Abdulrahman Ali al-Ghuryani menyatakan bahwa orang yang sudah menunaikan ibadah haji atau umrah satu kali tidak boleh menunaikan ibadah itu lagi.

Gelombang kecaman dan kemarahan terhadap kejahatan terbaru Kerajaan Arab Saudi berupa eskekusi terhadap 37 warganya terus berdatangan dari berbagai kalangan.

Kementerian Luar Negeri Iran mengecam Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain karena tiga negara Arab Teluk Persia ini mendukung sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap sektor perminyakan Iran.

Kepala Dinas Intelijen Luar Negeri Rusia Sergey Naryshkin mengecam keputusan Amerika Serikat (AS) terkait dengan kota Al-Quds (Baitul Maqdis/Yerussalem), Dataran Tinggi Golan, Suriah, yang diduduki Israel, dan perjanjian nuklir Iran.

Berita selengkapnya:

Mufti Libya Tidak Membolehkan Ibadah Haji Dan Umrah Lebih Dari Sekali, Mengapa?

Mufti Libya Syeikh Al-Sadiq Abdulrahman Ali al-Ghuryani menyatakan bahwa orang yang sudah menunaikan ibadah haji atau umrah satu kali tidak boleh menunaikan ibadah itu lagi.

Dia beralasan bahwa penunaian ibadah itu mendatangkan hasil yang sangat besar bagi Kerajaan Arab Saudi, yang kemudian digunakan untuk membantai banyak orang di tengah umat Islam di pelbagai penjuru dunia.

Fatwa itu dinyatakan dalam acara “al-Islam wa al-Hayat” yang disiarkan oleh saluran TV Tanasuh, Rabu (24/4/2019).

Fatwa demikian tergolong langka dan kontroversial, namun dia mengaku bertanggungjawab atas fatwa ini di hadapan Allah SWT, dan menyerukan kepada umat Islam Libya serta seluruh umat Islam lain di dunia agar tidak menunaikan haji atau umrah lebih dari satu kali.

Pada tanya jawab dalam acara itu dan ketika ada penelfon dari Turki, dia memastikan bahwa ibadah haji atau umrah lebih dari satu kali lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.

Dia mengingatkan bahwa dengan dana yang didapatnya dari jemaah haji dan umrah, penguasa Arab Saudi telah membunuhi banyak umat Islam di Libya, Yaman, Aljazair, Tunisia dan Sudan.

Syeikh al-Ghuryani  dalam fatwanya itu juga menyebutkan bahwa Kerajaan Arab Saudi adalah penguasa yang menebar kerusakan di pelbagai penjuru dunia. (alalam)

Gelombang Kemarahan Terhadap Eksekusi Massal Di Saudi Berlanjut

Gelombang kecaman dan kemarahan terhadap kejahatan terbaru Kerajaan Arab Saudi berupa eskekusi terhadap 37 warganya terus berdatangan dari berbagai kalangan.

Berbagai organisasi, partai, dan tokoh memandang eksekusi yang dilakukan otoritas Saudi pada Selasa 23 April 2019 itu sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Mereka juga menilai Amerika Serikat (AS) merupakan sekutu utama Saudi dalam kejahatan ini karena melindungi Riyadh demi menjaga kepentingan AS di bidang minyak dan pengadaan dana.

Abdullah al-Sarih, salah satu korban dari eksekusi massal di Arab Saudi, mengatakan, “Mereka menuduh kami pembuat onar, padahal kami keluar dengan cara damai demi kehidupan yang kami alami, dan jika tidak keluar kami tidak akan mendapat manfaat. Kami keluar (ke jalanan) secara damai, tapi mereka menuduh kami teroris.”

Kasus eksekusi 37 orang oposisi oleh otoritas Saudi memicu reaksi kemarahan di negara ini, sementara Komisaris Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet mengutuk dan menganggapnya berlebihan, apalagi tiga di antara korban eksekusi adalah anak di bawah umur saat menerima vonis hukuman.

Uni Eropa menganggap eksekusi itu pelanggaran serius terhadap HAM serta dapat memicu ketegangan bermotif sektarian.

Amnesty International menegaskan bahwa eksekusi itu mengkonfirmasi tindakan Riyadh menggunakan hukuman mati untuk membasmi oposisi.

Human Rights Watch (HRW) menyebutkan bahwa banyak korban eksekusi itu  di hukum hanya berdasarkan pengakuan yang didapat dengan cara paksa. HRW menekankan bahwa hal ini menunjukkan Riyadh tidak serius berupaya memperbaiki rapor HAM-nya yang buruk.

Hizbullah menyatakan AS adalah mitra bagi rezim Saudi dalam tanggung jawabnya atas kejahatan itu, karena melindungi rezim Saudi, antara lain dengan cara mendesak masyarakat internasional agar menutup mata di depan kejahatan rezim Saudi agar AS dapat menjaga kepentingan finansial dan minyaknya.

Kelompok pejuang Asaib Ahl al-Haq di Irak menyerukan kepada PBB dan lembaga-lembaha peduli kemanusiaan untuk segera turun tangan melindungi warga minoritas Arab Saudi di depan rezim yang menerapkan pola-pola teror sebagaimana terlihat dalam eksekusi tersebut.

Jam’iyyah Al-Wefaq di Bahrain menegaskan bahwa penggunaan eksekusi bermotif politik tidaklah menegakkan keadilan dan stabilitas dan tidak pula membangun kebangsaan. Kelompok besar di Bahrain ini mengingatkan bahwa eksekusi berlatar belakang pemikiran dan keyakinan serta tuntutan politik sangat berbahayalah.

Di depan kedutaan Arab Saudi untuk Inggris di London puluhan aktivis serta tokoh politik dan agama menggelar aksi protes terhadap eksekusi massal tersebut sembari meneriakkan slogan-slogan anti rezim Saudi, dan menegaskan bahwa Riyadh menyebarkan ekstrimisme, faham takfiri, dan terorisme di seluruh dunia. (alalam)

 

Iran Kecam Dukungan Saudi Dan Sekutunya Kepada Sanksi AS

Kementerian Luar Negeri Iran mengecam Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain karena tiga negara Arab Teluk Persia ini mendukung sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap sektor perminyakan Iran.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Mousavi, Kamis (25/4/2019), dalam sebuah statemennya  menegaskan bahwa Arab Saudi, UEA dan Bahrain mendukung sanksi sepihak AS tanpa mengetahui konsekuensi dari dukungan ini.

Mousavi mengingatkan bahwa Teheran tidak akan mengizinkan negara mana pun menggantikan posisi Iran di pasar minyak, dan AS serta negara-negara Arab Teluk itu akan bertanggung jawab atas semua konsekuensi yang mungkin terjadi.

Pada Senin lalu AS memutuskan bahwa pada 2 Mei mendatang   tidak akan memperpanjang pengecualian yang pada Desember 1998 telah diberikan AS kepada delapan negara dunia terkait dengan impor minyak Iran.

Menanggapi keputusan AS ini Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Chavusoglu Senin lalu mengatakan bahwa usulan AS untuk pembelian minyak dari negara lain sebagai pengganti Iran merupakan usulan yang melampaui batas, dan karena itu Turki menentangnya.

Chavusoglu menambahkan bahwa Turki sejak awal sudah menekankan bahwa tindakan AS sedemikian rupa tidak benar, merugikan rakyat Iran, dan tergolong sangat berbahaya bagi stabilitas dan keamanan kawasan.

Pada 5 November 2018, Washington meluncurkan paket sanksi yang mencakup industri minyak Iran dan pembayaran luar negeri, yang memengaruhi produksi dan ekspor minyak mentah.

Washington memberikan pengecualian untuk sementara waktu kepada Turki, Cina, India, Italia, Yunani, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.

Kementerian Luar Negeri Iran juga mengkritik Arab Saudi karena telah mengeksekusi 37 warga Saudi pada Selasa lalu, dan menuduh Riyadh menempuh kebijakan provokatif dengan dukungan AS. (raialyoum)

Rusia Kecam Keputusan AS Mengenai Al-Quds, Golan, Dan Perjanjian Nuklir Iran

Kepala Dinas Intelijen Luar Negeri Rusia Sergey Naryshkin mengecam keputusan Amerika Serikat (AS) terkait dengan kota Al-Quds (Baitul Maqdis/Yerussalem), Dataran Tinggi Golan, Suriah, yang diduduki Israel, dan perjanjian nuklir Iran.

“Keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel bertentangan dengan resolusi PBB, dan penarikan sepihak Washington dari perjanjian nuklir Iran melemahkan upaya kolektif untuk menstabilkan Timur Tengah,” ungkap Naryshkin pada Konferensi Keamanan Internasional Moskow, Kamis (25/4/2019), sebagaimana dilaporkan RT.

Dia menambahkan bahwa keputusan AS ini dapat mengandaskan prinsip negosiasi multilateral dalam upaya penyelesaian krisis Timur Tengah.

Pada awal Desember 2017, Presiden AS Donald Trump mengakui al-Quds sebagai ibu kota Israel, dan kemudian memutuskan pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke al-Quds, yang dilakukan pada Mei 2018.

Pada 25 Maret 2019, di hadapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump  meneken sebuah dekrit presiden yang mengakui kedaulatan Israel atas wilayah pendudukan Golan.

Israel menduduki Dataran Tinggi Golan Suriah pada tahun 1967, dan pada tahun 1981 Knesset mengesahkan undang-undang pencaplokan Golan, tapi masyarakat internasional masih memperlakukan wilayah itu sebagai wilayah Suriah yang diduduki Israel.

Ketegangan antara Washington dan Teheran meningkat sejak Trump mengumumkan penarikan AS dari perjanjian nuklir dengan Iran pada 2015. (raialyoum)