Jakarta, ICMES. Presiden AS Donald Trump mengaku yakin Iran sengaja menunda kesepakatan nuklir dengan AS, dan bahwa Iran harus menghentikan segala upaya untuk mendapatkan senjata nuklir atau jika tidak maka akan menghadapi kemungkinan serangan militer terhadap fasilitas nuklir Teheran.

Iran kembali mengesampingkan kemungkinan terlibat dalam negosiasi langsung dengan AS, dengan mengatakan bahwa penggunaan tekanan dan ancaman yang terus-menerus oleh Washington pada dasarnya tidak sesuai dengan diplomasi yang bermakna.
Kementerian Kesehatan Yaman mengatakan ratusan warga sipil, sebagian besar wanita dan anak-anak, gugur dan terluka dalam serangan yang dilancarkan oleh AS demi mendukung Rezim Zionis Israel.
Berita selengkapnya:
Trump Mengatakan Iran Harus Berhenti Mendambakan Senjata Nuklir
Presiden AS Donald Trump mengaku yakin Iran sengaja menunda kesepakatan nuklir dengan AS, dan bahwa Iran harus menghentikan segala upaya untuk mendapatkan senjata nuklir atau jika tidak maka akan menghadapi kemungkinan serangan militer terhadap fasilitas nuklir Teheran.
“Saya pikir mereka memanfaatkan kita,” kata Trump kepada wartawan, Senin (14/4), setelah utusan khusus AS Steve Witkoff bertemu di Oman pada hari Sabtu dengan seorang pejabat senior Iran.
Baik Iran maupun AS mengatakan pada hari Sabtu bahwa mereka mengadakan pembicaraan “positif” dan “konstruktif” di Oman. Putaran kedua dijadwalkan pada hari Sabtu, dan seorang sumber yang diberi pengarahan tentang perencanaan tersebut mengatakan bahwa pertemuan tersebut kemungkinan akan diadakan di Roma.
Sumber tersebut, yang berbicara kepada Reuters dengan syarat anonim, mengatakan diskusi tersebut ditujukan untuk mengeksplorasi apa yang mungkin, termasuk kerangka kerja yang luas tentang seperti apa kesepakatan potensial itu nantinya.
“Iran harus menyingkirkan konsep senjata nuklir. Mereka tidak boleh memiliki senjata nuklir,” kata Trump.
Ketika ditanya apakah opsi AS untuk menanggapinya termasuk serangan militer terhadap fasilitas nuklir Teheran, Trump bersumbar: “Tentu saja.”
Trump mengatakan Iran perlu bergerak cepat untuk menghindari respon keras karena “mereka cukup dekat” untuk mengembangkan senjata nuklir.
AS dan Iran mengadakan pembicaraan tidak langsung selama masa jabatan mantan Presiden Joe Biden tetapi mereka hanya membuat sedikit kemajuan, jika ada. Negosiasi langsung terakhir yang diketahui antara kedua pemerintah adalah di bawah Presiden Barack Obama saat itu, yang mempelopori kesepakatan nuklir internasional 2015 yang kemudian ditinggalkan Trump.
Para pejabat mengatakan pembicaraan di Oman berlangsung dalam “suasana yang produktif, tenang, dan positif.” Pada hari Sabtu, Trump mengatakan kepada wartawan bahwa pembicaraan AS-Iran berjalan “baik-baik saja”
“Tidak ada yang penting sampai Anda menyelesaikannya, jadi saya tidak suka membicarakannya, tapi semuanya berjalan baik-baik saja. Situasi Iran berjalan cukup baik, menurut saya,” ujarnya. (reuters)
Iran: Pembicaraan AS Fokus Pada Pencabutan ‘Sanksi Kejam’
Iran kembali mengesampingkan kemungkinan terlibat dalam negosiasi langsung dengan AS, dengan mengatakan bahwa penggunaan tekanan dan ancaman yang terus-menerus oleh Washington pada dasarnya tidak sesuai dengan diplomasi yang bermakna.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Esmaeil Baghaei menyatakan demikian dalam jumpa pers mingguan pada hari Selasa (14/4) sembari menekankan keteguhan sikap Teheran mengenai perlunya dialog tidak langsung yang dimediasi mengingat pelanggaran norma-norma internasional yang telah lama dilakukan AS.
“Negosiasi langsung tidak berguna atau dapat diterima oleh Iran,” kata Baghaei. “Selama bahasa tekanan dan ancaman masih ada, negosiasi langsung tidak akan terjadi,” tambahnya
Dia menekankan bahwa kebijakan intimidasi AS secara konsisten telah merusak semangat dan hukum internasional.
Baghaei memperingatkan bahwa retorika permusuhan Washington yang dilakukan secara bersamaan serta sanksi ilegal dan sepihak terhadap Iran “membuka jalan bagi penghancuran norma-norma internasional.”
Dia mengatakan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa secara tegas melarang penggunaan kekuatan dalam hubungan internasional.
“Tekanan dan diplomasi tidak dapat hidup berdampingan. Seseorang tidak dapat mengklaim sedang melakukan negosiasi, sementara pada saat yang sama melanjutkan kebijakan tekanan, sanksi, dan ancaman. Pendekatan ini sama sekali tidak dapat diterima, dan kami telah dengan jelas menyatakan posisi kami,” tegas Baghaei.
Menurutnya, alasan sebenarnya negosiasi tidak langsung saat ini ialah karena Iran menganggap pendekatan koersif AS tidak dapat diterima. Dia juga menekankan bahwa preferensi Teheran untuk perundingan tidak langsung bukanlah hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Negosiasi tidak langsung bukanlah metode yang tidak konvensional. Itu telah terjadi sebelumnya dan didasarkan pada pengalaman yang telah terbukti sebelumnya. Kita harus memilih metode yang kita yakini efektivitasnya,” katanya.
Pernyataan itu mengemuka setelah Iran dan AS mengadakan pembicaraan tidak langsung di ibu kota Oman, Muscat, dengan mediasi menteri luar negeri Oman.
Mengenai topik pembicaraan di Muscat, Baghaei menjelaskan bahwa putaran tersebut menandai dimulainya proses negosiasi baru, di mana para pihak menguraikan kerangka kerja masing-masing.
“Masalah utama kami adalah pencabutan sanksi yang menindas. Ini telah menjadi tuntutan serius dan lama kami, yang telah kami sampaikan dan akan terus kami kejar,” ungkapnya.
Baghaei menambahkan bahwa kebijakan nuklir Iran tetap transparan, menyoroti sifat program energi nuklir Iran yang murni damai. Namun, kebijakan tersebut telah lama disalahartikan oleh negara-negara Barat sebagai dalih untuk meningkatkan ketegangan.
Mengenai kelanjutan pembicaraan tidak langsung, Baghaei mencatat bahwa Oman tetap menjadi mediator dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan putaran negosiasi berikutnya, yang mungkin diadakan di lokasi selain Muscat.
“Kami sedang berhubungan dengan Oman dan akan membuat dan mengumumkan keputusan akhir mengenai tempat tersebut nanti,” katanya. (presstv)
Serangan AS terhadap Yaman Gugurkan 123 Orang dalam Waktu Kurang dari Sebulan
Kementerian Kesehatan Yaman mengatakan ratusan warga sipil, sebagian besar wanita dan anak-anak, gugur dan terluka dalam serangan yang dilancarkan oleh AS demi mendukung Rezim Zionis Israel.
Kementerian itu pada hari Senin (14/4) mengatakan serangan AS terhadap fasilitas sipil di Yaman telah menewaskan 123 orang dan melukai 247 lainnya sejak 16 Maret.
Kementerian itu mengutuk “agresi terang-terangan AS terhadap Yaman dan penargetannya terhadap objek dan warga sipil melalui pemboman langsung”, termasuk serangan terhadap sebuah pabrik di ibu kota Sanaa pada Minggu malam.
Menurutnya, enam orang gugur dan 30 lainnya terluka, termasuk lima anak-anak, dalam serangan itu.
Kementerian Kesehatan Yaman menyebut serangan itu sebagai “kejahatan perang penuh” dan “pelanggaran mencolok terhadap semua hukum dan konvensi internasional”, dan mendesak negara-negara Arab dan Islam serta organisasi hak asasi manusia untuk turun ke jalan untuk mengecam kejahatan AS terhadap rakyat Yaman.
Sejak dimulainya perang genosida Israel di Gaza pada Oktober 2023, pasukan Yaman telah melakukan sejumlah operasi militer untuk mendukung warga Gaza dengan menyerang target di seluruh wilayah Palestina pendudukan serta kapal Israel dan kapal yang terkait dengannya.
Untuk mendukung Israel, AS mengumumkan pembentukan satuan tugas maritim di Laut Merah pada Desember 2023 untuk melindungi jalur kapal yang menuju Palestina pendudukan.
Pasukan Yaman menanggapi dengan meningkatkan serangan mereka terhadap target strategis dan sensitif Israel dan AS, termasuk kapal perang dan kapal induk AS yang dikerahkan di lepas pantai Yaman.
Pasukan Yaman menghentikan serangan balasan mereka untuk mendukung gencatan senjata yang berlaku di Gaza pada 19 Januari, sebelum Israel melanggarnya pada bulan Maret. (presstv)