Rangkuman Berita Utama Sabtu 13 September 2025

Jakarta, ICMES. Pemimpin baru pemerintah Yaman kubu Ansarullah, Mohammad Ahmad Miftah, berjanji untuk terus memerangi Israel dalam sebuah rapat akbar di Sanaa, Jumat (12/9), setelah pendahulunya gugur dalam serangan udara Israel di Yaman pada akhir Agustus.

Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyerukan kepada negara-negara Muslim untuk meningkatkan kerja sama dan interaksi di semua sektor guna melawan “hukum rimba” rezim Zionis Israel terhadap negara-negara di kawasan Asia Barat (Timteng).

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara mayoritas mengadopsi “Deklarasi New York” pada hari Jumat (12/9), yang menguraikan “langkah-langkah konkret, berjangka waktu, dan tidak dapat diubah” menuju solusi dua negara antara Israel dan Palestina, menjelang pertemuan para pemimpin dunia PBB.

Berita selengkapnya:

Perdana Menteri Baru Yaman Berjanji Lanjutkan Pertempuran Melawan Israel demi Gaza

Pemimpin baru pemerintah Yaman kubu Ansarullah, Mohammad Ahmad Miftah, berjanji untuk terus memerangi Israel dalam sebuah rapat akbar di Sanaa, Jumat (12/9), setelah pendahulunya gugur dalam serangan udara Israel di Yaman pada akhir Agustus.

Sejak dimulainya perang di Gaza, Ansarullah yang didukung Iran gigih melancarkan serangan rudal dan pesawat nirawak terhadap Israel dan kapal-kapal dagang yang terkait dengan Israel di lepas pantai Yaman, dengan alasan bahwa serangan ini dilakukan untuk mendukung Palestina.

Sebagai tanggapan, Israel telah melancarkan serangkaian serangan mematikan di Yaman, yang menyasar pelabuhan, pembangkit listrik, dan Bandara Internasional Sanaa.

Pada tanggal 28 Agustus, Perdana Menteri Yaman Ahmad Ghaleb al-Rahwi, sembilan menteri, dan dua pejabat lain gugur dalam serangan udara Israel yang menyasar pertemuan para pejabat di Sanaa.

Ahmad Miftah berorasi di depan ribuan peserta demo akbar, seperti yang biasa mereka lakukan setiap Jumat, di ibu kota Sanaa. Sebuah spanduk besar terpajang di belakangnya dengan gambar para menteri dan pejabat yang gugur akibat serangan Israel.

Dia, yang mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai penjabat perdana menteri pada akhir bulan lalu, mengatakan, “Merupakan suatu kehormatan besar bagi kami untuk berada di jalur ini, memiliki para pemimpin yang gugur dan seluruh pemerintahan yang menjadi sasaran dalam perjalanan menuju Al-Quds (Yerusalem), insya Allah.”

Dia menambahkan, “Kami mengapresiasi peningkatan operasi militer oleh pasukan kami. Ditujukan kepada penduduk Gaza, dia juga mengatakan, “Kami bersama kalian dan tidak akan meninggalkan kalian, Insya Allah, sebesar apapun pengorbanannya.”

Para demonstran mengangkat poster  foto pemimpin besar mereka, Sayyid Abdul-Malik al-Houthi, dan meneriakkan slogan-slogan mengutuk Israel dan AS.

Hal ini terjadi setelah Israel pada hari Rabu mengklaim telah menyerang “target militer” milik Ansarullah di Sanaa dan Kegubernuran Al-Jawf (utara). Serangan ini menggugurkan 46 orang dan melukai 165 lainnya, menurut data terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan Yaman.

Beberapa jam kemudian, tentara Israel pada hari Kamis mengaku telah mencegat sebuah rudal yang ditembakkan dari Yaman.

Ansarullah menguasai sebagian besar wilayah Yaman yang dilanda perang sejak 2014, termasuk Sanaa, tempat mereka mendirikan lembaga-lembaga politik mereka. (raialyoum)

Iran Serukan Perlawanan Negara-Negara Muslim terhadap “Hukum Rimba” Israel

Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyerukan kepada negara-negara Muslim untuk meningkatkan kerja sama dan interaksi di semua sektor guna melawan “hukum rimba” rezim Zionis Israel terhadap negara-negara di kawasan Asia Barat (Timteng).

Araghchi mengatakan Republik Islam Iran mengajak semua negara Muslim untuk meningkatkan kemitraan dan kerja sama di semua bidang guna mengabdi kepada bangsa mereka dan melawan hukum rimba, yang sedang diterapkan oleh Israel dengan dukungan Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Barat.

Dalam sebuah wawancara dengan situs web berita Arabi 21, dia mendesak negara-negara Muslim dan Asia Barat untuk segera bertindak guna menghentikan perang dan pembantaian serta melawan rencana rezim di Palestina dan seluruh kawasan sekitar.

Dia menyinggung beberapa pertemuan Arab, Islam, dan internasional yang telah diselenggarakan terkait Palestina, yang sejauh ini belum membuahkan hasil. Dia mengatakan bahwa rakyat Palestina tidak hanya membutuhkan retorika, melainkan lebih membutuhkan makanan, obat-obatan, pemenuhan semua kebutuhan mereka, dan diakhirinya penindasan yang mereka alami.

Araghchi mengatakan bahwa agresi Israel baru-baru ini, yang mengincar pimpinan politik  Hamas di Qatar mengingatkan pada serangan dan kejahatan teror serupa yang dilakukan oleh Israel terhadap ilmuwan dan politisi Iran.

“Serangan itu serupa dengan kejahatan Israel terhadap para pemimpin front perlawanan Palestina dan Lebanon selama dua tahun terakhir di Iran, Lebanon, Palestina, Suriah, dan wilayah lainnya,” ujarnya.

Dia mengatakan bahwa tindakan tersebut menandakan bahwa Israel tidak mengindahkan garis merah apa pun.

Pada 9 September, Israel melancarkan serangan udara terhadap markas Hamas di Doha. Serangan ini disebut sebagai “operasi pembunuhan” dan telah merenggut nyawa beberapa anggota Hamas serta seorang petugas keamanan Qatar.

Para petinggi Hamas, termasuk Khalil al-Hayya, Khaled Meshal, dan Zaher Jabarin, selamat dari upaya pembunuhan tersebut.

Qatar telah menjadi mediator regional utama dalam negosiasi antara Hamas dan Israel, yang Perdana Menterinya, Benjamin Netanyahu, pada 10 September mengancam akan mencoba membunuh para pemimpin Hamas di Qatar lagi jika Doha “tidak mengusir” mereka.

Araghchi memperingatkan bahaya agresi Israel terhadap wilayah Suriah dan Lebanon, serta proyek kolonial baru rezim tersebut untuk memecah belah Suriah dan menduduki lebih banyak wilayah negara ini, terutama di wilayah selatan dan daerah pendudukan Dataran Tinggi Golan.

Dia juga menyerukan negara-negara Arab, Muslim, dan Asia untuk mengambil tindakan kolektif guna menggagalkan rencana disintegrasi Suriah dan perluasan wilayah pengaruh rezim Israel dalam mengejar “mitos Israel Raya”. (presstv)

Soal Palestina-Israel, Majelis Umum PBB Deklarasikan Dukungan kepada “Solusi Dua Negara”

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara mayoritas mengadopsi “Deklarasi New York” pada hari Jumat (12/9), yang menguraikan “langkah-langkah konkret, berjangka waktu, dan tidak dapat diubah” menuju solusi dua negara antara Israel dan Palestina, menjelang pertemuan para pemimpin dunia PBB.

Rancangan resolusi yang mendukung deklarasi tersebut mendapat 142 suara mendukung dan 10 suara menentang, termasuk dari Amerika Serikat (AS), Israel, dan Argentina, dengan 12 suara abstain, termasuk Albania, Etiopia, dan Ekuador.

AFP melaporkan bahwa teks yang diadopsi tersebut mengutuk serangan 7 Oktober 2023, menyisihkan Hamas, dan menyerukan kepadanya agar meletakkan senjata.

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyambut baik pengesahan “Deklarasi New York” oleh Majelis Umum, dan menyebutnya sebagai “langkah yang tak terelakkan menuju perdamaian.”

“Di bawah kepemimpinan Prancis dan Kerajaan Arab Saudi, 142 negara telah mengadopsi Deklarasi New York tentang solusi dua negara,” ujar Macron di platform X.

Majelis Umum mengadopsi teks tersebut 10 hari sebelum KTT 22 September yang diketuai bersama oleh Paris dan Riyadh di PBB, di mana Macron berjanji untuk mengakui Negara Palestina.

Deklarasi tujuh halaman tersebut merupakan hasil konferensi internasional di PBB pada Juli lalu, yang diselenggarakan oleh Arab Saudi dan Prancis, mengenai konflik yang telah berlangsung puluhan tahun. AS dan Israel memboikot konferensi tersebut.

Pengakuan Negara Palestina oleh sejumlah negara selama Pekan Pemimpin Dunia di Majelis Umum PBB dipandang sebagai cara tambahan untuk menekan Israel agar mengakhiri perang genosidanya yang memasuki tahun kedua di Jalur Gaza.

Meskipun hampir tiga perempat negara anggota Majelis Umum telah mengakui Negara Palestina sejak dideklarasikan pada tahun 1988, perang yang sedang berlangsung di Gaza dan perluasan permukiman Israel di Tepi Barat mengancam peluang berdirinya negara Palestina.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu beberapa waktu lalu bersumbar, “Tidak akan ada negara Palestina”.  Bersamaan dengan ini, AS menolak memberikan visa masuk kepada pejabat senior Otoritas Palestina, termasuk Presiden Mahmoud Abbas, dan telah mencabut visa yang ada untuk mencegah mereka menghadiri pertemuan Majelis Umum PBB di New York.

Faksi-faksi perlawanan Palestina dalam beberapa bulan terakhir menyatakan bahwa segala upaya internasional untuk mendukung rakyat Palestina dan hak-hak sah mereka dihargai dan disambut baik. Mereka menekankan bahwa hari setelah berakhirnya agresi di Gaza adalah “hari Palestina yang istimewa.” (aljazeera)