Jakarta, ICMES. Hasil Investigasi yang dilakukan oleh pihak Rezim Zionis Israel mengungkapkan bahwa 77 negara, termasuk Indonesia dan Malaysia, telah melakukan boikot dengan cara walk out atau angkat kaki meninggalkan aula Perseikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berpidato di hadapan Majelis Umum di New York, AS,

Utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk urusan Suriah, Tom Barrack, kepada Al Jazeera menyatakan bahwa berusaha meyakinkan Hizbullah untuk menyerahkan senjatanya adalah tugas pemerintah Lebanon. Dia juga mengklaim bahwa AS tidak tertarik untuk menekan siapa pun.
Menteri Luar Negeri Iran melayangkan surat kepada rekan-rekannya di seluruh dunia berisikan penolakan terhadap klaim Amerika Serikat (AS) dan Troika Eropa (E3/Inggris, Prancis dan Jerman) bahwa sanksi Dewan Keamanan PBB – yang sebelumnya telah dicabut terhadap Iran- telah dipulihkan melalui apa yang disebut “snapback mechanism” (mekanisme pemulihan).
Berita selengkapnya:
Israel Ungkap 77 Negara yang Lakukan Aksi Walk Out Saat Netanyahu Berpidato di PBB
TelAviv, LiputanIslam.com – Hasil Investigasi yang dilakukan oleh pihak Rezim Zionis Israel mengungkapkan bahwa 77 negara, termasuk Indonesia dan Malaysia, telah melakukan boikot dengan cara walk out atau angkat kaki meninggalkan aula Perseikatan Bangsa-Bangsa (PBB) saat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berpidato di hadapan Majelis Umum di New York, AS, pada hari Jumat (26/9).
Dikutip Al-Alam pada hari Ahad (28/9), surat kabar Israel Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa setelah ada pemeriksaan negara-negara yang memboikot pidato tersebut, terungkap bahwa “keempat negara tetangga Israel, selain Arab Saudi,” termasuk di antara 77 negara pemboikot, yang menyebabkan Netanyahu berpidato di aula yang nyaris kosong.
Namun demikian, surat kabar berbahasa Ibrani tersebut memuji delegasi Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA), yang tetap berada di aula dan mendengarkan pidato Netanyahu, meskipun terjadi ketegangan antara kedua belah pihak terkait perang yang sedang berlangsung di Gaza dan keinginan beberapa anggota koalisi Netanyahu untuk mencaplok Tepi Barat.
Berikut ini adalah 77 negara pemboikot pidato Netanyahu:
Tuvalu, Turkmenistan, Yaman, Mesir, Panama, Senegal, Palestina, Iran, Sudan, Tunisia, Turki, Venezuela, Antigua dan Barbuda, Belize, Kongo, Oman, Qatar, Arab Saudi, Tonga, Uzbekistan, Angola, Barbados, Kolombia, Komoro, Dominika, Djibouti, Makedonia Utara, San Marino, Afrika Selatan, Somalia, Aljazair, Bangladesh, Brunei Darussalam, Brasil, Chili, Republik Kongo, Lebanon, Liberia, Eritrea, Chad, Republik Afrika Tengah, Libya, Mauritania, Yordania, Nikaragua, Madagaskar, Niger, Peru, Saint Lucia, Slovenia, Afghanistan, Bahama, Bosnia dan Herzegovina, Botswana, Korea Utara, Eswatini, Suriah, Uganda, Pakistan, Lesotho, Bolivia, Spanyol, Kuba, Guinea Khatulistiwa, Kirgistan, Irak, Mozambik, Myanmar, Irlandia, Maladewa, Kuwait, Namibia, Guyana, dan Kenya.
Seperti diketahui, pidato Netanyahu berlangsung selama 41 menit, melebihi batas waktu 15 menit yang diwajibkan bagi para pemimpin. Dalam pidatonya itu, dia berusaha membenarkan genosida pasukan Zionis di Gaza dan mengecam sekutu Baratnya seiring meningkatnya kritik global atas perang yang telah berlangsung hampir dua tahun.
Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, berkomentar, “Dunia hari ini menyaksikan seorang perdana menteri Israel yang lelah, merengek dalam pidato sarat gimmick yang basi.”
Kantor Netanyahu mengundang tokoh-tokoh Yahudi terkemuka dan rekan-rekannya untuk menghadiri pidato di ruang VIP, termasuk pengacara Alan Dershowitz, untuk memberikan semangat demi mengimbangi ejekan dan protes. Wali Kota New York, Eric Adams, juga hadir, “untuk menghormati” Israel dan Netanyahu sendiri.
Bersamaan dengan pidato Netanyahu, New York dan beberapa kota lain di AS dilanda demonstrasi besar-besaran pro-Palestina di mana massa mengecam kejahatan Israel, dan menolak keterlibatan penjahat perang Netanyahu, yang berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional. Massa membawa spanduk yang menuntut diakhirinya perang dan pertanggungjawaban Israel atas pelanggarannya. (mm/alam/aljazeera)
Utusan AS Sebut Hizbullah “Parpol yang Sah” di Lebanon
Utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk urusan Suriah, Tom Barrack, kepada Al Jazeera menyatakan bahwa berusaha meyakinkan Hizbullah untuk menyerahkan senjatanya adalah tugas pemerintah Lebanon. Dia juga mengklaim bahwa AS tidak tertarik untuk menekan siapa pun.
Barrack mengatakan demikian sehari setelah Sekjen Hizbullah, Syeikh Naim Qassem, kembali menyatakan penolakannya terhadap upaya pemerintah Lebanon agar Hizbullah melucuti senjatanya.
“Kami tidak akan pernah menyerahkan senjata kami, dan kami juga tidak akan menyerahkannya,” kata Naim pada hari Sabtu (27/9), sembari menegaskan bahwa Hizbullah akan terus “menentang proyek apa pun yang melayani Israel”.
Dia juga memastikan bahwa rencana pelucutan senjata yang disetujui oleh pemerintah Lebanon hanya melayani kepentingan Israel.
AS dan sekutu regional terdekatnya, Israel, berupaya melucuti senjata Hizbullah, yang mulai menembakkan roket ke Israel sehari setelah Israel melancarkan perang di Gaza pada 7 Oktober 2023.
Dalam wawancara eksklusif dengan Al Jazeera, Barrack mengatakan bahwa Hizbullah adalah “partai politik yang sah di Lebanon”, dan bahwa legitimasinya dalam sistem pembagian kekuasaan konfesional, di mana posisi politik terbagi di antara berbagai sekte sehingga mempersulit penyelesaian konflik yang sedang berlangsung dengan Israel.
Dia menyebut Hizbullah, yang diklasifikasikan AS sebagai organisasi “teroris” asing, sebagai “bagian penting dari sistem politik Lebanon”. Menurutnya, hal ini merupakan “masalah kompleks bagi para pemimpin politik Lebanon”, yang menyetujui tujuan rencana AS untuk perlucutan senjata Hizbullah.
Kabinet Lebanon menyetujui rencana tersebut pada 7 Agustus, meskipun Hizbullah menolaknya, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa Israel dapat mengintensifkan serangan terhadap Lebanon.
Israel terus menduduki beberapa wilayah Lebanon dan melancarkan serangan hampir setiap hari di Lebanon selatan sejak perjanjian gencatan senjata November.
Kantor Berita Nasional, NNA, pemerintah Lebanon pada hari Minggu (28/9) melaporkan “serangkaian” serangan udara Israel di dekat kota Kfar Rumman dan Jarmak, serta serangan pesawat nirawak terhadap sebuah rumah di Humin, semuanya di Lebanon selatan.
Barrack menyatakanAS siap membantu Lebanon “menyelesaikan konflik”, tetapi itu “bukan tanggung jawab kami”.
Dia mengklaim, “Kami tidak menekan siapa pun, dan kami tidak akan mendikte apa yang harus dilakukan Lebanon, begitu pula Israel.”
Dia menambahkan, “Mengenai Lebanon, kami katakan ini masalah internal Anda. Jika Anda menginginkan tentara yang bersatu dan negara yang nyata, Anda harus melucuti senjata partai dan kelompok yang tidak patuh.”
Dia juga mengatakan konflik yang memanas dengan Israel akan terus berlanjut “selama Israel merasa bahwa Hizbullah bersikap bermusuhan, membangun kembali, dan mempersenjatai kembali”. (aljazeera)
Iran Tepis Klaim AS-E3 Ihwal Pemulihan Resolusi Dewan Keamanan
Menteri Luar Negeri Iran melayangkan surat kepada rekan-rekannya di seluruh dunia berisikan penolakan terhadap klaim Amerika Serikat (AS) dan Troika Eropa (E3/Inggris, Prancis dan Jerman) bahwa sanksi Dewan Keamanan PBB – yang sebelumnya telah dicabut terhadap Iran- telah dipulihkan melalui apa yang disebut “snapback mechanism” (mekanisme pemulihan).
Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi menekan bahwa klaim terbaru AS dan E3 tersebut “sama sekali tidak berdasar, melanggar hukum, dan tidak sah.”
Dalam suratnya, Araghchi menegaskan, “Tidak ada tindakan hukum sah yang telah dilakukan dapat memulihkan resolusi yang telah dicabut. Mengklaim sebaliknya merupakan upaya untuk menyesatkan masyarakat internasional dan memaksakan agenda politik sepihak dengan kedok wewenang PBB.”
Araghchi memperingatkan bahwa pernyataan demikian merusak integritas Dewan Keamanan PBB dan menimbulkan ancaman serius bagi diplomasi multilateral. Menurutnya, Resolusi 2231, yang mendukung kesepakatan nuklir 2015, mengakhiri sanksi sebelumnya dan menetapkan jadwal yang jelas untuk berakhirnya sanksi secara permanen pada 18 Oktober 2025.
Dia berargumen bahwa tidak ada negara yang memiliki wewenang sepihak untuk menafsirkan ulang atau memperluas ketentuan-ketentuannya.
Menurut surat tersebut, AS, setelah menarik diri dari JCPOA pada tahun 2018, dan E3, yang “secara substansial tidak memenuhi” komitmen mereka, “sama sekali tidak memenuhi syarat” untuk menggunakan resolusi tersebut.
Araghchi lebih lanjut menekankan bahwa upaya Washington dan E3 tersebut merupakan “penulisan ulang hukum internasional secara sepihak,” melanggar Resolusi 2231 dan mengikis kepercayaan terhadap sifat mengikat keputusan Dewan Keamanan.
Dia juga menegaskan kembali bahwa Iran menolak mentah-mentah anggapan adanya penerapan kembali sanks, dan bahwa baik Iran maupun negara anggota PBB lainnya tidak diwajibkan secara hukum untuk mematuhinya.
Dia mengimbau berbagai negara dunia untuk menolak klaim tersebut, tidak menerapkannya, dan membela multilateralisme dari tekanan apa yang ia sebut sebagai manipulasi politik yang sempit.
Surat itu diakhiri dengan peringatan bahwa jika “klaim-klaim yang melanggar hukum” ini dibiarkan berlaku maka kewenangan Dewan Keamanan dan prinsip-prinsip perjanjian internasional akan sangat terancam.
Araghchi menegaskan kembali kesiapan Iran untuk diplomasi, namun memastikan bahwa Teheran mempertahankan hak-hak kedaulatan dan kepentingan-kepentingan sahnya. (presstv)









