Rangkuman Berita Utama Kamis Sabtu 27 September 2025

Jakarta, ICMES. Sebuah klip video yang beredar memperlihatkan momen sejumlah besar delegasi melakukan aksi walk out saat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan menyampaikan pidatonya di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pejabat keamanan senior Iran menyatakan negara ini akan menghentikan kerja samanya dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) serta partisipasinya dalam inspeksi senjata internasional jika mekanisme ‘snapback’ diberlakukan dan sanksi PBB diberlakukan kembali.

Berita selengkapnya:

Netanyahu Naik ke Podium Majelis Umum PBB, Sejumlah Besar Delegasi Lakukan Aksi Walk Out

Sebuah klip video yang beredar memperlihatkan momen sejumlah besar delegasi melakukan aksi walk out saat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akan menyampaikan pidatonya di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Jumat (26/9)  .

Mereka serempak meninggalkan aula segera setelah Netanyahu masuk untuk menyampaikan pidatonya, dan segera setelah dia menyelesaikan pidatonya, sebagian besar delegasi yang telah meninggalkan aula kembali ke tempat duduk mereka.

Selama pidato Netanyahu, poster –poster anak-anak yang gugur akibat agresi Israel terhadap Iran dipajang di kursi perwakilan Republik Islam Iran di PBB.

Sebaliknya, para pendukung Israel, berdiri untuk menyemangatinya, memberinya tepuk tangan meriah dan semangat di tengah kemarahan internasional.

Channel 12 Israel melaporkan bahwa aksi walk out tersebut “merupakan bukti pandangan negatif dunia terhadap Israel,” sementara media berbahasa Ibrani lainnya menyebut situasi itu  sebagai “aib publik bagi Netanyahu di hadapan komunitas internasional.”

Dalam peristiwa itu, Ketua Majelis Umum berusaha memperbaiki keadaan dengan mengatakan, “Harap hormati aturan sidang… Silakan duduk,” namun mayoritas delegasi tetap memilih angkat kaki.

Para pemimpin dunia berkumpul di New York, AS, setiap bulan September untuk menyampaikan pidato selama beberapa hari di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang memulai sidang ke-80.

Pidato Netanyahu berlangsung selama 41 menit, melebihi batas waktu 15 menit yang diwajibkan bagi para pemimpin. Seorang penonton dari tribun berusaha mengganggu pidatonya dengan meneriakkan yel-yel yang menentangnya sejak menit pertama.

Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, berkomentar, “Dunia hari ini menyaksikan seorang perdana menteri Israel yang lelah, merengek dalam pidato sarat gimmick yang basi.”

Kantor Netanyahu mengundang tokoh-tokoh Yahudi terkemuka dan rekan-rekannya untuk menghadiri pidato di ruang VIP, termasuk pengacara Alan Dershowitz, untuk memberikan semangat demi mengimbangi ejekan dan protes. Wali Kota New York, Eric Adams, juga hadir, “untuk menghormati” Israel dan Netanyahu sendiri.

Bersamaan dengan pidato Netanyahu, New York dan beberapa kota lain di AS dilanda demonstrasi besar-besaran pro-Palestina di mana massa mengecam kejahatan Israel, dan menolak keterlibatan penjahat perang Netanyahu, yang berstatus buronan Mahkamah Pidana Internasional. Massa membawa spanduk yang menuntut diakhirinya perang dan pertanggungjawaban Israel atas pelanggarannya.

Netanyahu dalam pidatonya di Majelis Umum PBB (UNGA), berusaha membenarkan genosida pasukan Zionis di Gaza dan mengecam sekutu Baratnya seiring meningkatnya kritik global atas perang yang telah berlangsung hampir dua tahun.

Netanyahu yang semakin terisolasi itu mengecam apa yang disebutnya “keputusan memalukan” yang dibuat beberapa negara Barat dalam beberapa hari terakhir untuk mengakui negara Palestina.

“Ini akan menjadi aib bagi kalian semua,” katanya kepada audiens yang sedikit jumlahnya karena banyak delegasi meninggalkan aula sebagai protes saat dia berjalan menuju panggung.

“Keputusan memalukan kalian akan mendorong terorisme terhadap orang Yahudi, dan terhadap orang-orang tak bersalah di mana pun…. Para pemimpin Barat mungkin telah menyerah di bawah tekanan ini. Dan saya jamin satu hal: Israel tidak akan menyerah,” sambungnya.

Netanyahu memaparkan narasi yang sudah lazim, berulang kali merujuk pada serangan tahun 2023 untuk membenarkan kelanjutan perang di Gaza.

Dia juga merinci “perang tujuh front” yang telah dilancarkan Israel sejak saat itu terhadap musuh-musuhnya di wilayah tersebut. Sambil memegang peta berjudul “Kutukan” sebagai alat bantu visual, ia menyebutkan musuh-musuh yang pernah dihadapi Israel di kawasan tersebut, termasuk Gaza, Yaman, Iran, Suriah, Lebanon, dan milisi Irak.

Netanyahu secara khusus mengecam sekutu-sekutu Barat Israel, tapi tidak terhadap AS, yang selama ini menjadi pembela setia negaranya di PBB dan pendukung militer utama Israel. Karena itu, tidaklah aneh ketika anggota delegasi AS yang hadir terlihat bertepuk tangan sepanjang pidato Netanyahu.

Netanyahu membantah Israel melakukan genosida di Gaza, meski kejahatan ini sudah ditemukan oleh penyelidik  PBB dan oleh banyak pakar. Dia juga membantah Israel sengaja membuat penduduk Gaza kelaparan, tempat bencana kelaparan telah dinyatakan, dan menyalahkan Hamas sembari menuduhnya mencuri bantuan ke wilayah tersebut dan menjualnya untuk membiayai perang.

Pada akhir Juni, sebuah laporan internal oleh badan pembangunan AS, USAID, menyimpulkan bahwa tidak ada bukti penjarahan sistematis bantuan yang diberikan AS oleh Hamas.

USAID juga menyoroti bagaimana Netanyahu gagal menyajikan rencana perdamaian untuk menjamin pembebasan tawanan Israel yang ditahan di Gaza.

Pemerintah Gaza juga mengkritik pidato tersebut dan mengatakan bahwa Netanyahu mempromosikan “delapan kebohongan besar” di Sidang Umum PBB dalam upaya untuk membenarkan kejahatan perang dan genosida yang dilakukannya di Gaza.  (alalam/aljazeera)

Iran akan Tangguhkan Kerja Sama dengan IAEA

Pejabat keamanan senior Iran menyatakan negara ini akan menghentikan kerja samanya dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) serta partisipasinya dalam inspeksi senjata internasional jika mekanisme ‘snapback’ diberlakukan dan sanksi PBB diberlakukan kembali.

“Jika mekanisme ‘snapback’ diberlakukan, kami akan mengakhiri partisipasi kami dengan IAEA,” ungkap Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran (SNSC) Ali Larijani menyampaikan pernyataan tersebut dalam wawancara pada 22 September dengan PBS , lembaga penyiaran publik Amerika dan jaringan televisi non-komersial.

Larijani menegaskan kembali tekad kuat Iran untuk tidak mengembangkan senjata nuklir , baik sekarang maupun di masa mendatang . Dia mengatakan bahwa  agresi AS dan Israel terhadap tiga fasilitas nuklir Iran pada bulan Juni telah menjadikan negosiasi sebagai “lelucon”.

AS dan para sekutunya pada hari Jumat (26/9)  memveto rancangan resolusi yang bertujuan menunda “snapback”,  sanksi Dewan Keamanan PBB terhadap Iran yang dicabut pada tahun 2015 sejalan dengan kesepakatan nuklir antara Iran dan negara-negara dunia.

AS, Inggris, Prancis, Denmark, Yunani, Panama, Sierra Leone, Slovenia, dan Somalia memveto rancangan tindakan yang berupaya menunda penerapan langkah-langkah ekonomi koersif selama enam bulan.

Tiongkok, Rusia, Aljazair, dan Pakistan memberikan suara mendukung tindakan yang diajukan oleh Beijing dan Moskow. Korea Selatan dan Guyana abstain.

Menurut PBB, “Apa yang disebut mekanisme ‘snapback’ (sekarang) tetap berlaku, yang akan mengakibatkan sanksi dijatuhkan kembali terhadap Teheran akhir pekan ini, setelah berakhirnya Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).”

JCPOA merujuk pada nama resmi kesepakatan nuklir yang setelah disepakati disahkan oleh Dewan Keamanan dalam bentuk Resolusi 2231.

Perjanjian tersebut mencabut sanksi yang telah dijatuhkan kepada Iran oleh Dewan Keamanan dan AS, Inggris, Prancis, dan Jerman atas tuduhan tidak berdasar mengenai program energi nuklir damai Teheran.

Larangan tersebut telah diberlakukan terhadap negara tersebut, meskipun IAEA secara historis gagal menemukan bukti “pengalihan” program nuklir.

AS meninggalkan JCPOA dalam langkah ilegal dan sepihak pada tahun 2018, kemudian menerapkan kembali sanksi yang telah dicabut oleh kesepakatan tersebut.

Pada tahun 2020, AS melangkah lebih jauh dengan mencoba secara sepihak untuk memicu “snapback”.

Setelah AS menarik diri dari JCPOA, Inggris, Prancis, dan Jerman juga mengambil sikap di luar komitmen mereka terhadap Iran  dengan menghentikan perdagangan mereka dengan Teheran.

Pemungutan suara hari Jumat terjadi setelah ketiga negara tersebut meluncurkan upaya mereka sendiri untuk mengaktifkan “snapback” pada 28 Agustus.

Ketiga negara sekutu AS tersebut telah mengulangi tuduhan mereka mengenai aktivitas energi nuklir Iran, demi membenarkan upaya mereka dalam menerapkan kembali sanksi, sembari mengabaikan ketiadaan bukti yang diberikan oleh IAEA yang telah menjadikan Iran sebagai sasaran inspeksi paling intrusif dalam sejarah badan tersebut. (presstv)