Rangkuman Berita Utama Kamis 23 Januari 2025

Jakarta, ICMES. Pemimpin Besar Iran Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menyatakan bahwa Gaza dalam perjuangannya yang “menyerupai legenda” telah meraih kemenangan, dan para pejuang perlawanan telah membuktikan bahwa mereka eksis dan tetap akan eksis.

Pemimpin Muslim Syiah di AS, Syeikh Hisyam Al-Husseini, tidak memenuhi undangan pelantikan Donald Trump sebagai presiden, meskipun namanya tercantum dalam daftar tamu dan dijadwalkan berpidato pada pelantikan.

Berita selengkapnya:

Ayatullah Khamenei: Gaza Menang, dan Menjadi Bak Legenda yang Sulit Dipercaya

Pemimpin Besar Iran Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menyatakan bahwa Gaza dalam perjuangannya yang “menyerupai legenda” telah meraih kemenangan, dan para pejuang perlawanan telah membuktikan bahwa mereka eksis dan tetap akan eksis.

 “Jika kejadian di Gaza ini diceritakan kepada banyak orang, mereka akan meragukan bahwa mesin perang Amerika datang untuk membantu pemerintahan brutal seperti entitas Zionis, dan bahwa Amerika membekali entitas ini dengan bom penghancur bunker untuk mengebom rumah sakit,” tuturnya dalam kata sambutan pada pertemuan dengan sekelompok pengusaha dan pegiat sektor swasta di Teheran, Rabu (22/1).

Ayatullah Khamenei menjelaskan, “Saya ingin mengatakan sesuatu mengenai Gaza. Kami katakan bahwa kubu perlawanan itu masih eksis dan akan tetap eksis. Gaza menang. Kubu perlawanan telah membuktikan bahwa mereka akan tetap eksis. Apa yang terjadi di depan mata dunia bagaikan legenda. Memang, kalau kita baca sejarah tentang hal ini, atau kita dengar, kita tidak akan percaya bahwa mesin perang besar semisal Amerika datang mendukung pemerintahan yang represif dan haus darah seperti entitas Zionis, dan entitas ini menjadi begitu brutal, kejam, dan tak segan-segan membunuh 15.000 anak dalam waktu satu setengah tahun. Pasukan itu tidak peduli terhadap nilai manusia dan konsep kemanusiaan, sampai-sampai memasok entitas pembunuh ini dengan bom penghancur bunker untuk menyerang rumah anak-anak itu dan rumah sakit tempat mereka dirawat. Kalau ini terjadi dalam sejarah, kita tentu tidak akan percaya, dan akan berkata mungkin ada yang salah pada cerita itu.”

Dia menambahkan, “Tapi ini telah terjadi di depan mata kita sekarang. Yakni Amerika memang telah mempersembahkan semua fasilitasnya kepada entitas Zionis. Seandainya Amerika tidak berbuat demikian, niscaya entitas itu sudah bertekuk lutut pada minggu-minggu pertama. Mereka telah melakukan kejahatan selama setahun tiga bulan dengan segala sesuatu yang telah diberikan kepada mereka. Mereka membom rumah sakit, masjid, gereja, rumah, pasar, tempat perkumpulan dan apapun yang terjangkau oleh tangan mereka. Di mana? Di sebidang tanah kecil semisal Gaza. Mereka melakukan kejahatan dengan segala yang telah diberikan kepada mereka, dan juga telah menetapkan suatu tujuan. Mereka mengatakan – ini dikatakan oleh pemimpin entitas Zionis, si hina dina  itu-  “Kami ingin menumpas Hamas, mereka harus ditumpas.”

Pemimpin Besar Iran juga mengatakan, “Lebih jauh dari perang, mereka bahkan juga merencanakan pemerintahan di Gaza pasca perang. Mereka semula sedemikian percaya diri, tapi kemudian entitas Zionis yang zalim dan pembunuh ini malah duduk di meja perundingan dengan Hamas yang hendak mereka tumpas, dan menerima persyaratan Hamas untuk mencapai gencatan senjata. Inilah makna apa yang kami katakan bahwa kubu perlawanan itu eksis. Ini makna ayat suci: ‘Sekiranya orang-orang yang kufur itu memerangi kamu, pastilah mereka akan berbalik melarikan diri (kalah), kemudian mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong (QS. Al-Fath: 22).’ Hal ini tak terbatas pada masa silam, sebab selanjutnya Allah Swt berfirman; ‘(Demikianlah) sunatullah yang sungguh telah berlaku sejak dahulu. Kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada sunatullah itu (QS. Al-Fath: 23).’”

Ayatullah Khamenei lantas menegaskan, “Mereka (para pejuang perlawanan) memang harus menang, dan telah menang. Di mana pun ada perlawanan dari para hamba salih Allah, di sana pasti ada kemenangan.” (alalam)

Pemimpin Syiah di AS Enggan Hadiri Pelantikan Trump, Mengapa?

Donald Trump di usia 78 tahun resmi menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) setelah mengangkat sumpah di Gedung Capitol, Washington DC, Senin (20/1). Beberapa saat sebelumnya, James David Vance lebih dahulu dilantik sebagai Wakil Presiden ke-50 AS.

Upacara pelantikan Trump digelar di ruang tertutup di Ruangan Rotunda, Gedung Capitol, karena cuaca sangat dingin menyelimuti ibu kota Washington DC.

“Masa keemasan Amerika akan dimulai saat ini,” sumbar Trump dalam pidatonya berdurasi sekitar 26 menit.

Dilaporkan bahwa Trump telah mengundang para pemimpin warga Muslim, Kristen dan Yahudi untuk menghadiri acara pelantikannya.   

Sebelum ini, tidak ada kewajiban eksplisit untuk mengundang para pemuka umat beragama ke upacara pelatikan presiden. Presiden hanya diharuskan mengangkat sumpah di atas Alkitab, sebuah tradisi yang dimulai oleh Presiden George Washington pada pelantikan pertama pada tahun 1789.

Namun demikian, pemimpin Muslim Syiah di AS, Syeikh Hisyam Al-Husseini, tidak memenuhi undangan tersebut, meskipun namanya tercantum dalam daftar tamu dan dijadwalkan berpidato pada pelantikan.

Gedung Putih tidak menjelaskan alasan ketidakhadirannya direktur Pusat Studi Islam Karbala di Dearborn, Michigan, AS tersebut. Namun para pegiat di platform X mengatakan bahwa Al-Husseini batal hadir karena “menolak menyebut Hizbullah Lebanon sebagai organisasi teroris pada tahun 2007.”

Al-Husseini seharusnya menjadi pemimpin Muslim pertama yang menyampaikan pidato pada pelantikan presiden AS, menurut Washington Times, sebelum ia mengundurkan diri tanpa memberikan alasan.

Al-Husseini juga mengecam Biden karena “tidak menghentikan pertumpahan darah di Gaza, Lebanon, dan Yaman,” dan mengatakan bahwa keputusannya untuk mendukung Trump “tidak hanya politis tetapi juga pribadi,” menurut surat kabar Amerika tersebut.

Pengguna media sosial menyebarkan rekaman wawancara dengan Al-Husseini pada tahun 2007, di mana ia menolak untuk menyebut Hizbullah Lebanon sebagai “organisasi teroris.”

Di sisi lain, Trump menuai kontroversi atas sumpah jabatannya di mana dia mengangkat tangan kanannya, namun tanpa meletakkan tangan kirinya di atas Alkitab yang dipegang istrinya, Melania, di sampingnya.

Ada perdebatan di kalangan warga Amerika tentang mengapa hal ini terjadi, apakah hal itu membatalkan sumpahnya, dan apakah tindakan itu disengaja, tapi para ahli hukum mengatakan hal itu tidak membatalkan sumpahnya.

Sementara itu, Trump pada hari Senin mengisyaratkan bahwa Arab Saudi akan menormalisasi hubungan dengan Rezim Zionis Israel melalui perjanjian-perjanjian Abraham.

“Saya kira, Saudi pada akhirnya akan bergabung dengan kesepakatan Abraham,” ujarnya dalam pernyataan persnya saat kembali ke Ruang Oval, kantor presiden AS di Gedung Putih.  (raialyoum/bbcarabic)