Jakarta, ICMES. Hamas menyatakan bahwa operasi “Gideon 2”, yang pada hari Rabu (20/8) telah diumumkan peluncurannya terhadap Kota Gaza oleh tentara Israel, “akan gagal seperti sebelumnya, dan bahwa pendudukan atas Gaza tidak akan pernah menjadi rekreasi.”

Media Israel berupa situs web Walla melaporkan bahwa para pejuang Hamas “semakin berani dalam upaya mereka menculik tentara Israel” di Jalur Gaza, dan bahwa Hamas ” dapat dengan mudah mempelajari modus operandi pasukan Israel.”
Iran menegaskan negara-negara Troika Eropa (Inggris, Prancis dan Jerman) tidak berhak mengaktifkan “mekanisme pemicu” setelah mereka secara efektif menarik diri dari perjanjian nuklir karena pendirian mereka saat ini.
Berita selengkapnya:
Hamas Pastikan Operasi “Gideon 2” terhadap Gaza Akan Gagal Seperti Sebelumnya
Hamas menyatakan bahwa operasi “Gideon 2”, yang pada hari Rabu (20/8) telah diumumkan peluncurannya terhadap Kota Gaza oleh tentara Israel, “akan gagal seperti sebelumnya, dan bahwa pendudukan atas Gaza tidak akan pernah menjadi rekreasi.”
Hamas menganggap operasi ini “merupakan kelanjutan dari perang genosida dan pengabaian terhadap upaya para mediator.”
Dalam sebuah pernyataan, Hamas menyebutkan, “Pengumuman tentara pendudukan tentang peluncuran apa yang disebutnya Operasi Gideon 2 terhadap Kota Gaza, dan niat (Perdana Menteri Israel Benjamin) Netanyahu untuk menyetujuinya besok (Kamis), merupakan kelanjutan dari perang genosida yang telah berlangsung selama lebih dari 22 bulan.”
Hamas menambahkan bahwa kontinyuitas operasi ini juga merupakan “pengabaian terhadap upaya yang telah dilakukan oleh para mediator untuk mencapai gencatan senjata dan pertukaran tahanan.”
Sebelumnya pada hari Rabu, Menteri Pertahanan Israel Yisrael Katz menyetujui rencana menduduki dan menyerang Kota Gaza dalam operasi militer ber sandi “Operasi Gideon 2,” meskipun para mediator telah berupaya mencapai kesepakatan dan Hamas telah menerima proposal mereka.
Hamas menjelaskan bahwa meskipun pihaknya telah mengumumkan kesediaannya menerima proposal terbaru yang diajukan oleh para mediator, “rezim teroris Zionis bersikeras melanjutkan perang brutalnya terhadap warga sipil tak berdosa dengan meningkatkan operasi kriminalnya di Kota Gaza, dengan tujuan menghancurkan dan menggusur penduduknya, dalam kejahatan perang yang sesungguhnya.”
Hamas menegaskan, “Pengabaian Netanyahu terhadap proposal mediator dan kegagalannya untuk menanggapinya membuktikan bahwa dia adalah pengganggu yang nyata dari setiap kesepakatan, dan bahwa dia tidak peduli dengan nyawa para tahawanan Israel dan tidak serius untuk memulangkan mereka.”
Netanyahu mengabaikan penantian lebih dari 48 jam para mediator atas tanggapan Tel Aviv terhadap proposal gencatan senjata di Jalur Gaza. Pada Rabu malam dia mengaku telah memerintahkan percepatan pendudukan Kota Gaza, di tengah peringatan internasional bahwa hal ini akan menyebabkan kehancuran total Jalur Gaza dan meningkatkan penderitaan serta pengungsian warga Palestina.
Pada hari Rabu, tentara Israel mulai mengirimkan perintah panggilan kepada 60.000 tentara cadangan, yang dikenal sebagai “Perintah 8,” sebagai persiapan untuk pelaksanaan rencana tersebut, menurut Otoritas Penyiaran Israel. (raialyoum)
Media Israel: Pejuang Hamas Makin Nekat Berusaha Menculik Tentara Israel di Gaza
Media Israel berupa situs web Walla melaporkan bahwa para pejuang Hamas “semakin berani dalam upaya mereka menculik tentara Israel” di Jalur Gaza, dan bahwa Hamas ” dapat dengan mudah mempelajari modus operandi pasukan Israel.”
Walla membahas upaya pejuang Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, menculik tentara dari sebuah lokasi militer di Khan Yunis di Jalur Gaza selatan pada hari Rabu pagi (20/8).
Upaya tersebut mengakibatkan tiga tentara terluka, salah satunya parah. Tentara Israel mengklaim dalam sebuah pernyataan bahwa dalam peristiwa ini pihaknya telah membunuh 10 pejuang al-Qassam.
Walla mengutip keterangan sumber-sumber di Komando Selatan tentara Israel bahwa “pasukan lapis baja dan infanteri di Jalur Gaza meninggalkan tugas mereka dan bergegas ke lokasi tersebut untuk menghabisi militan Palestina.”
Salah satu sumber menjelaskan, “Berdasarkan peristiwa hari ini, para pejabat di Komando Selatan telah mengkritik dan memperingatkan bahwa kehadiran pasukan yang berkepanjangan di lokasi-lokasi tertentu, terutama pasukan ini (di Khan Yunis), telah membantu Hamas mempelajari pendekatan defensif pasukan tersebut.”
Dia menambahkan, “Ada banyak pasukan lain di Gaza yang telah berada dalam kondisi stagnan selama beberapa waktu. Mereka tidak benar-benar bermanuver, jadi mudah untuk memahami rutinitas mereka.” Mereka menganggap “hasil serangan ini sangat mengkhawatirkan, karena ini bukan satu-satunya insiden.”
Sumber-sumber itu mengungkap bahwa “insiden serupa, yang tak seorang pun membicarakannya, terjadi dua hari lalu di Beit Hanoun (utara) di bawah komando Divisi ke-99,” di mana anggota Brigade Qassam berusaha menyerang pasukan Brigade Utara.
Menurut sumber yang sama, dalam kasus ini pula, penilaiannya adalah “mereka mencoba memanfaatkan peluang operasional untuk menculik tentara. Keberanian Hamas semakin meningkat.”
Mengenai operasi ini, Brigade Qassam sebelumnya pada hari Rabu mengumumkan bahwa para pejuangnya menyerang tank Merkava 4 dengan alat peledak Shawaz dan Fedayeen serta peluru Yasin 105. Mereka juga menyerbu sebuah rumah tempat tentara Israel bersembunyi dan menyerang mereka dari jarak dekat, hingga mengakibatkan “kematian dan terlukanya sejumlah tentara yang berada di dalamnya.”
Surat kabar Yedioth Ahronoth dan Otoritas Penyiaran Israel melaporkan bahwa sekitar 14 pejuang Palestina muncul dari terowongan bawah tanah dan melakukan operasi “selektif” di Khan Yunis.
Pada hari Rabu, Avi Ashkenazi, kolumnis Israel di surat kabar Maariv, menyebut operasi itu sebagai “insiden sangat serius” yang menunjukkan “kelemahan Dinas Keamanan Umum (Shin Bet).” (raialyoum)
Kepada Eropa, Iran Tegaskan lagi Garis Merah di Bidang Nuklir
Iran sedang berada di persimpangan jalan yang sensitif di tengah meningkatnya ketegangan terkait isu nuklir. Namun, Teheran terus menetapkan batasan yang jelas untuk melindungi kepentingan dan haknya, dan menolak segala tekanan atau upaya pemerasan.
Sementara dunia menunggu langkah selanjutnya di bidang diplomatik, pernyataan Menteri Luar Negeri Abbas Araqchi memperjelas pendirian resmi Teheran terkait hak dan kewajibannya terkait isu nuklir.
Dia menekankan bahwa negara-negara Troika Eropa (Inggris, Prancis dan Jerman) tidak berhak mengaktifkan “mekanisme pemicu” setelah mereka secara efektif menarik diri dari perjanjian nuklir karena pendirian mereka saat ini.
Dia menambahkan bahwa setiap upaya untuk menggunakan mekanisme ini akan sepenuhnya mengakhiri siklus diplomasi Eropa.
Araghchi mengatakan, “Satu-satunya alat yang diyakini Eropa masih mereka miliki adalah penerapan kembali sanksi. Kami telah menjelaskan sikap kami kepada mereka: Pertama, pada dasarnya, Anda tidak berhak menggunakan mekanisme pemicu. Karena, setelah AS menarik diri dari perjanjian nuklir dan lantaran sikap Anda belakangan ini, termasuk mengangkat isu peniadaan pengayaan uranium, Anda secara efektif telah menarik diri dari perjanjian tersebut. Karena itu, Anda tidak lagi menjadi pihak di dalamnya. Hak untuk mengaktifkan mekanisme pemicu hanya dimiliki oleh anggota perjanjian yang tersisa.”
Mengenai Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Araghchi mengklarifikasi bahwa kerja sama dengan IAEA tidak akan terputus, melainkan akan terus berlanjut dalam kerangka hukum dan kedaulatan Iran, dengan tetap menjaga kepentingan rakyat dan hak negara ini. Dia menjelaskan persyaratan yang diperlukan untuk kembalinya inspektur IAEA ke Iran.
Araghchi mengatakan, “Pengembalian inspektur IAEA akan dimungkinkan berdasarkan hukum parlemen, yaitu melalui keputusan Dewan Tinggi Keamanan Nasional. Ini berarti kami tidak mengatakan bahwa kerja sama dengan badan tersebut telah sepenuhnya terputus.”
Mengenai negosiasi dengan AS, Araghchi menekankan bahwa negosiasi harus dilakukan pada waktu yang tepat setelah mencapai kematangan negosiasi yang diperlukan. Dia menyebutkan bahwa Washington melalui negosiasi berusaha mencapai apa yang telah gagal dicapainya melalui kekuatan militer, dan Iran tidak akan memperkenankan hal ini.
Araghchi memastikan tidak ada negosiasi yang akan merugikan hak bangsa Iran. Dengan demikian, Iran menegaskan akan terus melindungi hak-hak nasionalnya, baik dalam menghadapi tekanan Eropa maupun AS, dan bahwa Iran akan terus bertindak sesuai dengan strategi yang matang untuk tetap menjadi pengambil keputusan tertinggi di kancah nuklir dan diplomatik internasional. (alalam)









