Jakarta, ICMES. . Presiden Iran Masoud Pezeshkian menegaskan negaranya tidak akan “tunduk pada pengganggu mana pun” sebagai tanggapan atas kecaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Iran dalam safarinya yang berlangsung selama empat hari di negara-negara Arab Teluk Persia.

Sejak dimulainya kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Timur Tengah, tentara Israel telah membunuh 118 warga Palestina di Jalur Gaza, termasuk anak-anak, wanita, dan seorang jurnalis.
Tak lama setelah bertemu dengan Presiden sementara Suriah Ahmed al-Sharaa, Presiden AS Donald Trump mengatakan pemerintahannya kini tengah menjajaki kemungkinan menormalisasi hubungan dengan Suriah.
Berita selengkapnya:
Pezeshkian: Mati Syahid itu Manis, Iran Pantang Tunduk pada Intimidasi Trump
Presiden Iran Masoud Pezeshkian menegaskan negaranya tidak akan “tunduk pada pengganggu mana pun” sebagai tanggapan atas kecaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Iran dalam safarinya yang berlangsung selama empat hari di negara-negara Arab Teluk Persia.
“Dia (Trump) mengira dia bisa datang ke sini, meneriakkan slogan-slogan, dan menakut-nakuti kami. Bagi kami, mati syahid jauh lebih manis daripada mati di tempat tidur. Anda datang untuk menakut-nakuti kami? Kami tidak akan tunduk pada pengganggu mana pun,” katanya pada hari Rabu (14/5).
Sebelumnya di hari yang sama, dalampertemuan puncak Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) di Riyadh, Trump mengatakan bahwa meskipun dia ingin membuat kesepakatan dengan Teheran, Iran “harus berhenti mensponsori teror, menghentikan perang proksi berdarahnya, dan secara permanen dan dapat diverifikasi menghentikan upayanya memperoleh senjata nuklir.”
Washington dan Teheran telah mengadakan empat pertemuan yang dimediasi oleh Oman untuk membantu mencapai kesepakatan atas program nuklir Iran. Saat menghadiri jamuan makan malam kenegaraan di ibu kota Qatar, Doha, pada hari Rabu, Trump mengulangi keinginannya yang dinyatakan secara terbuka untuk resolusi damai bagi program nuklir Iran, dan mengisyaratkan bahwa keputusan ada di tangan Teheran.
“Ini situasi yang berbahaya, dan kami ingin melakukan hal yang benar. Kami ingin melakukan sesuatu yang mungkin akan menyelamatkan jutaan nyawa. Karena hal-hal seperti itu dimulai, dan menjadi tidak terkendali,” kata Trump.
Pada hari Selasa, Trump mengaku ingin “membuat kesepakatan dengan Iran”, tapi “jika pimpinan Iran menolak perdamaian ini… kami tidak punya pilihan selain memberikan tekanan maksimum yang besar”.
Dia juga bersumbar tidak akan membiarkan Iran memiliki senjata nuklir.
Presiden Pezeshkian dalam pidatonya pada sebuah pertemuan di Kermanshah berkomentar, “Apa yang dikatakan Trump kemarin menunjukkan bahwa dia tidak mengenal rakyat Iran dan tidak menyadari semangat, kesatriaan, dan pengorbanan mereka. Dia menuduh Iran sebagai sumber kerusuhan dan bahaya.”
Dia menambahkan,”Pada saat lebih dari 60.000 warga sipil tak berdosa, termasuk wanita dan anak-anak, gugur syahid di Gaza, siapa yang telah menutup akses mereka terhadap makanan, air, dan obat-obatan? Mereka mengatakan mereka memiliki bom yang tak terbayangkan, lalu menuduh kami sebagai penghasut perang dan haus darah! Siapa yang mempersenjatai negara-negara di kawasan itu dan mendorong mereka ke arah perang? Siapa yang menebar fitnah?”
Presiden Iran juga mengatakan, “Barat membanggakan perdamaian, tetapi selama 47 tahun mereka telah melakukan segala cara yang mereka bisa untuk membuat rakyat dan rezim mereka bertekuk lutut. Mereka tidak berhasil, dan tidak akan pernah berhasil.”
Pezeshkian menutup pidatonya dengan menegaskan, “Mereka menghendaki perdamaian atau tidak, kami akan membangun dan mengembangkan negeri ini dengan kuat. Kami menyerukan perdamaian, bukan penyeru perang, tapi martabat dan kekuatan kami bukan untuk dijual. Kami pantang tunduk kepada kekuatan manapun, dan pantang menyerah.” (alalam/aljazeera)
Trump ke Timteng, Israel Mengebom Rumah Sakit dan Membunuh 118 Orang Palestina
Sejak dimulainya kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Timur Tengah, tentara Israel telah membunuh 118 warga Palestina di Jalur Gaza, termasuk anak-anak, wanita, dan seorang jurnalis.
Israel juga secara langsung mengebom dua rumah sakit, enam bangunan sekolah dan tiga pusat penampungan pengungsi. Aksi Israel itu dilaporkan sebagai “yang paling kejam” dalam beberapa minggu terakhir.
Kunjungan Trump dibarengi dengan seruan “gencatan senjata” berulang-ulang dari AS, namun kenyataan di lapangan di Gaza justru sebaliknya; Israel melakukan serangkaian aksi pembantaian di dalam rumah sakit dan pusat-pusat penampungan pengungsi.
Menurut sumber medis Palestina, sejak Trump bersafari ke Timur Tengah, yang dimulai di Arab Saudi pada hari Selasa, sedikitnya 118 warga Palestina telah terbunuh, termasuk anak-anak, wanita, dan seorang jurnalis, di samping puluhan lainnya yang terluka dan hilang.
Selama serangan ini, dua rumah sakit menjadi sasaran di Khan Yunis, di Jalur Gaza selatan. Salah satunya, Rumah Sakit Eropa Gaza, dibom dua kali dalam waktu kurang dari 24 jam, hingga menggugurkan enam orang di dalam rumah sakit dan melukai 28 lainnya di rumah di dekatnya.
Pada Selasa pagi, tentara Israel menyerang Komplek Medis Nasser di Khan Yunis, rumah sakit terbesar di Jalur Gaza, hingga menggugurkan dan melukai beberapa warga Palestina yang dirawat di sana, termasuk jurnalis Hassan Aslih, menurut pernyataan dari kantor media pemerintah di Gaza.
Di saat yang sama, serangan udara Israel menyasar sedikitnya enam bangunan sekolah dan pusat pendidikan, serta tiga pusat perumahan bagi para pengungsi, hingga mengakibatkan semakin banyaknya korban jiwa dan meningkatnya pengungsian di Jalur Gaza, yang sedang terdera kekurangan makanan dan obat-obatan yang parah serta runtuhnya layanan dasar.
Pembantaian ini terjadi justru setelah Presiden Trump menyatakan bahwa rakyat Palestina di Gaza “berhak mendapatkan masa depan yang lebih baik.”
Klaim palsu yang terbukti telah beredar di media Israel mengenai pelonggaran perang genosida selama safari Trump ke negara-negara Teluk Persia, yang dimulai pada Selasa dengan kunjungan ke Arab Saudi dan berlanjut hingga Kamis dengan kunjungan ke Qatar dan UEA.
Menurut pernyataan Kantor Media Pemerintah di Gaza pada tanggal 8 Mei, sebanyak 38 rumah sakit, 81 pusat kesehatan, dan 164 fasilitas kesehatan telah dihancurkan, dibakar, atau dihentikan layanannya oleh perang genosida Israel. (raialyoum)
Usai Berjumpa Al-Julani, Trump Mengaku akan Menormalisasi Hubungan dengan Suriah
Tak lama setelah bertemu dengan Presiden sementara Suriah Ahmed al-Sharaa, Presiden AS Donald Trump mengatakan pemerintahannya kini tengah menjajaki kemungkinan menormalisasi hubungan dengan Suriah.
Pertemuan luar biasa itu berlangsung singkat tapi dinilai penting. “Saya pikir ia punya potensi,” kata Trump setelah pertemuannya dengan Ahmed al-Sharaa di Riyadh, selama 37 menit, Rabu (14/5)..
Al-Sharaa semula dikenal dengan panggilan Abu Muhammad al-Julani dan penyandang status pemimpin kelompok teroris Jabhat al-Nusra, sempalan al-Qaeda di Suriah. Belakangan, Jabhat al-Nusra berganti nama menjadi Hay’at Tahrir Sham (HTS), dan berhasil menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad. AS pernah mengumumkan sayembara berhadiah sebesar $10 juta untuk kepala al-Julani, tapi kemudian dicabut pada bulan Desember 2024.
Rekaman video percakapan antara Trump dan al-Sharaa di istana kerajaan Saudi yang mewah memperlihatkan keduanya berbicara melalui penerjemah.
Putra Mahkota Saudi, Mohammad bin Salman (MbS), duduk di sebelah mereka dengan wajah berseri-seri. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bergabung dengan mereka melalui telepon.
Trump mengakui bahwa MbS dan Erdogan adalah dua pemimpin yang telah meyakinkannya untuk mencabut sanksi AS terhadap Suriah.
“Pria tangguh, masa lalu yang sangat kuat,” puji Trump perihal Sharaa di depan wartawan dalam lawatan resmi pertamanya ke sejumlah negara Arab Teluk Persia selama empat hari.
HTS masih ditetapkan sebagai organisasi teroris oleh PBB, AS, dan Inggris. Sejak mengambil alih kekuasaan pada bulan Desember, Sharaa telah mengenakan setelan jas ala Barat sebagai bagian dari lagak dan upaya menampilkan dirinya sebagai presiden bagi semua warga Suriah.
Belakangan, al-Sharaa menyatakan keterbukaannya untuk menormalisasi hubungan dengan Israel dan bergabung dengan Perjanjian Abraham “dalam kondisi yang tepat”. Padahal, ketika masih berstatus sebagai pemimpin HTS, dia pernah bersumbar; “Dengan semangat (juang) ini, dengan izin Allah, kita akan mencapai bukan hanya Damaskus, melainkan Al-Quds juga menanti kita.” (aljazeera/bbc)